Jangan Lagi

1882 Words
Bab 34 Jangan Lagi Hari berlalu dengan cepat. Hari ini adalah hari Senin. Seperti biasa, kelas Dina dimulai jam tujuh pagi. Hari ini juga Oscar akan mulai bekerja kembali setelah libur dua hari yang ia dapatkan sebelumnya. Dina berangkat dari rumah jam enam pagi sehingga ia tidak sempat sarapan. Saat Dina berangkat, Oscar sedang memakai sepatunya di ruang tamu sementara Gladys, ibu mereka, masih sedang berbenah di dapur dan belum bersiap untuk ke kantor. Dina tiba tepat waktu di kampus. Kelasnya akan dimulai sepuluh menit lagi. Dina berjalan santai dari gerbang menuju ke kelasnya. Saat tengah berjalan menuju ke kelas, Dina mendengar namanya dipanggil. “Dina…” panggil seseorang yang dari suaranya dapat dikenali kalau itu adalah suara seorang laki-laki. Dina spontan berbalik dan mendapati Kevin sedang berlari ke arahnya. “Din, aku ingin bicara hal yang penting denganmu!” Katanya dengan terengah-engah karena berlari mengejar Dina. “Apa lagi yang harus kita bicarakan?” Tanya Dina dengan kesal. “Soal laki-laki yang kemarin bersamamu.” “Hah sudah kuduga!” “Kamu tidak tahu apa-apa tentang dia, sebaiknya kamu berhati-hati!” “Apa maksudmu?” Tanya Dina sambil mengangkat sebelah alisnya. “Dia tidak sebaik kelihatannya.” Ujar Kevin. “Kamu sedang membicarakan Gilbert atau dirimu sendiri?” Tanya Dina dengan nada meremehkan. “Dina, aku serius!” Kevin berkeras. “Baiklah.” Balas Dina dengan enggan. “Apa yang kamu tahu tentang Gilbert?” “Dia sudah punya seorang anak berumur dua tahun!” Dina kemudian tertawa dengan keras untuk waktu yang cukup lama. “Kegilaan macam apa lagi ini?” Kata Dina kemudian. “Dia menghamili pacarnya saat masih di SMA. Pacarnya sampai tidak bisa mengikuti ujian akhir dan baru ditamatkan setahun setelah Gilbert lulus.” “Kamu mendapat gosip ini dari mana?” “Aku berasal dari SMA yang sama dengan mereka, bagaimana mungkin aku tidak tahu, pacarnya baru saja ditamatkan bersama dengan angkatanku!” Dina sangat terkejut mendengar kabar yang dibawa oleh Kevin itu. “Kevin, aku tidak bisa mempercayaimu!” Dina menolak mentah-mentah kabar yang dibawa oleh Kevin. “Kamu hanya tidak ingin melihatku melanjutkan hidupku dengan orang lain!” Dina pun berbalik dan melangkah pergi. Kevin mengejar Dina sekali lagi. “Aku tidak peduli meskipun kamu tidak berpacaran denganku. Setidaknya jangan dengan dia!” Setelah mengatakan itu, Kevin pun pergi meninggalkan Dina. Dina berjalan memasuki kelasnya dengan gontai. Ia benar-benar shock mendengar kabar yang dibawa oleh Kevin itu. Siang harinya Dina bertemu dengan Helen untuk makan siang bersama. Dina memeluk Helen dengan erat karena merindukan sahabatnya itu. Wajah Helen tampak sudah lebih baik dari sebelumnya. Lebam di mata dan luka di sudut bibirnya sudah tidak terlihat lagi. Mereka berdua pergi keluar untuk makan siang di warung depan kampus. “Aku mau lihat seperti apa rupa seorang Gilbert.” Kata Helen dengan penasaran. “Nanti juga kamu akan melihatnya.” Jawab Dina sambil cekikikan. Dina mengesampingkan kecemasannya terkait kabar yang dibawa oleh Kevin kepadanya tadi pagi. Ia hanya ingin membahas tentang hal-hal yang baik saja bersama Helen. “Weekend ini kita jalan yuk…” ajak Dina. “Ini baru juga hari Senin, Din, sudah ngomongin weekend lagi…” balas Helen kemudian tertawa. “Habis mau bagaimana lagi, aku sangat merindukanmu ketika kamu tidak ada.” Jawab Dina dengan manja. “Hahaha…” Tawa Helen meledak. “Dasar anak kecil!” Dina ikut tertawa mendengar perkataan Helen. “Nanti saat kamu sudah mulai berpacaran, kamu tidak akan merindukanku lagi.” Ujar Helen. “Kenapa?” “Karena kamu sudah punya orang lain untuk dirindukan.” “Ahhhh… Itu dua jenis rindu yang berbeda!” Bantah Dina. “Hari ini pulang bareng kan? Atau kamu mau pulang bareng Gilbert?” “Dia belum bilang apa-apa sih, tapi sepertinya aku mau pulang denganmu saja. Aku masih rindu soalnya.” “Orang-orang yang mendengar perkataanmu sejak tadi lama-lama akan mengira kalau kita berdua pasangan penyuka sesama jenis.” “Iiiiih… Helen!” “Ya iyalah, habis kamu dari tadi ngomongnya begitu terus…” Goda Helen. “Nggak lagi deh kalau begitu.” Balas Dina. “Hey… Aku hanya bercanda!” Kata Helen kemudian tertawa lagi. Sore harinya setelah menyelesaikan semua kelas mereka, Helen dan Dina bertemu di pelataran parkir untuk pulang bersama. Namun mereka tidak sendiri, Kevin juga muncul di tempat itu. “Kevin!” Seru Helen yang terkejut. “Sedang apa kamu di sini?” “Helen, aku harus bicara dengan Dina!” Sergah Kevin. “Apakah masih ada urusan kalian yang belum selesai?” Tanya Helen. “Aku jelaskan nanti di mobil, ayo pulang bersamaku.” “Wow… Wow… Wow… Tunggu sebentar!” Potong Helen. “Jangan terburu-buru. Kita harus dengar dari Dina dulu, apakah dia mau atau tidak!” “Dina, ayolah!” Kevin mencoba membujuk Dina. Dina pun mengangguk. Helen sampai terkejut melihat reaksi sahabatnya itu. Helen jadi bertanya-tanya dalam hatinya, hal apa sebenarnya yang membawa Kevin kembali menemui Dina. Mereka bertiga memasuki mobil merah milik Kevin. Dina menolak duduk di depan bersama Kevin sehingga terpaksa Helen yang duduk di depan. Kevin menyalakan mesin dan mulai menjalankan mobilnya. “Kevin, sekarang ceritakan padaku!” Perintah Helen. “Jadi begini Len,” Kevin memulai penjelasannya. “Sabtu kemarin aku melihat Dina pergi menonton di bioskop bersama Gilbert. Aku mencoba memperingatkan Dina bahwa laki-laki itu bukan orang yang baik. Dia pernah menghamili pacarnya dan tidak bertanggung jawab hingga hari ini anaknya sudah berumur dua tahun.” “Dari mana kamu tahu?” Tanya Helen dengan penasaran. “Dia satu SMA dengan mereka.” Dina menjawab dari belakang. “Aku ingin bukti!” Kata Helen kemudian. Kevin tiba-tiba menepikan mobilnya. Ia lantas mengeluarkan ponselnya dari dalam tas ransel yang selalu dibawanya ke kampus. “Aku akan membuka halaman f*******: milik pacar Gilbert dan akan aku tunjukkan kepada kalian.” Kevin lalu menunjukkan kepada Dina dan Helen beberapa foto yang menunjukkan kedekatan Gilbert dengan seorang perempuan muda. Keduanya mengenakan seragam SMA di hampir semua foto mereka. Kemudian foto Gilbert tidak pernah muncul lagi, yang ada hanya foto perempuan itu bersama seorang bayi. “Bayi ini adalah anak Gilbert!” Seru Kevin dengan ngotot. “Itu masih tidak membuktikan apa-apa!” Bantah Helen. Perempuan itu cukup cantik dengan kulit putih dan rambut dicat dengan warna latte. Ia suka menggunakan lensa kontak sehingga matanya berbeda warna di setiap kesempatan. “Beritanya tersebar luas di sekolah kami. Orang tua Gilbert menafkahi anak itu sehingga keluarga si perempuan tidak mengajukan tuntutan hukum terhadap Gilbert. Namun Gilbert sendiri tidak pernah mengakui secara terang-terangan kalau bayi itu adalah anaknya.” Di otak Dina berputar semua kenangannya bersama Gilbert pada hari Sabtu yang lalu. Semua tampak indah. Ia tidak ingin semuanya berakhir begitu saja apalagi hanya karena kabar yang belum terbukti kebenarannya. “Aku mau bertemu perempuan itu!” Kata Dina tiba-tiba. Kevin dan Helen bahkan terkejut karena ucapan Dina yang begitu mendadak itu. “Aku bisa mempertemukan kalian kalau itu yang kamu mau.” Kevin menyanggupi. “Aku mau!” Ujar Helen. Dina terkejut mendengar reaksi Helen yang begitu penasaran akan kebenaran cerita Kevin. “Sebentar, aku telepon Claudia dulu.” “Jadi namanya Claudia?” Tanya Helen. “Iya.” Kevin mencoba menghubungi nomor ponsel Claudia namun telah dua kali ia mencoba panggilannya tidak dijawab. “Dia tidak menjawab teleponku. Kita langsung ke rumahnya saja!” Putus Kevin. Kevin kemudian mengarahkan mobilnya ke rumah Claudia. Jalan menuju ke rumah Claudia ternyata melalui jalan yang sama dengan yang menuju ke perumahan dinas tempat Dina tinggal. “Rumahnya tidak jauh dari sini.” Demikian kata Kevin. Sekitar lima belas menit setelah melewati depan gerbang perumahan Dina, mereka tiba di sebuah kompleks perumahan lain yang terlihat cukup megah. “Dia tinggal di sini?” Tanya Helen. “Iya.” Ponsel Kevin tiba-tiba berdering. Kevin memeriksanya dan melihat kalau panggilan itu berasal dari Claudia. Kevin segera menepikan mobilnya untuk menjawab telepon itu. “Clau…” kata Kevin memulai pembicaraan. “Iya tadi aku meneleponmu. Apa kamu ada di rumah?” “Ada seseorang yang ingin aku pertemukan denganmu. Kami akan tiba dalam lima menit.” “Okay. Sampai jumpa di rumahmu!” Dina dan Helen mendengar semua yang dikatakan Kevin dengan jelas. Kevin segera menjalankan mobilnya kembali dan tidak lama berselang mereka berhenti di depan sebuah rumah yang megah. Rumah itu terdiri dari tiga lantai dan bergaya victorian seperti kebanyakan rumah di dalam perumahan itu. Kevin kembali menghubungi Claudia untuk mengatakan bahwa ia sudah berada di depan rumahnya. Kevin mengajak Dina dan Helen untuk turun dan Claudia menyambut mereka di teras depan rumahnya. “Siapa mereka, Kev?” Tanya Claudia. Wajah Claudia cantik, persis seperti yang ada di foto, namun kali ini ia tidak mengenakan lensa kontak. “Yang ini Helen,” Kata Kevin sambil menunjuk kepada Helen. “dan ini Dina.” Katanya sambil menunjuk kepada Dina. “Ada perlu apa ya?” Tanya Claudia kebingungan. “Gilbert saat ini sedang mendekati Dina.” Jawab Kevin tanpa basa-basi. Claudia tersenyum kecut. “Tidak apa-apa dekat dengannya,” balas Claudia. “yang penting kamu hati-hati. Jangan terlena ucapannya yang mengatakan kamu cantik, kamu baik, kamu tidak seperti wanita-wanita mantan kekasihnya yang materialistis yang dulu memorotinya.” Dina seketika teringat kalau Gilbert memang mengatakan hal semacam itu. “Dia memang mengenal Gilbert dengan baik!” Kata Dina dalam hatinya. “Dia akan mengatakan bahwa orang tuanya hanya pemilik toko sembako yang tidak kaya, padahal sebenarnya mereka itu sangat kaya. Ia berdusta agar ia terlihat rendah hati. Ia menggunakan kekayaan milik orang tuanya untuk membereskan masalah demi masalah yang ia buat di luar rumah.” Dina kembali teringat bahwa Gilbert mengatakan bahwa orang tuanya memiliki toko sembako dan mereka bukan orang kaya. Persis seperti yang Claudia katakan barusan. “Anak kami sudah berumur dua tahun namun ia tidak pernah mengakuinya. Padahal orang tuanya selalu mampir kemari setiap weekend untuk menengok cucu mereka. Logikanya, jika itu bukan anak Gilbert, kenapa orang tuanya selalu datang untuk menengoknya?” Dina dan Helen menganggukan kepalanya. “Dia akan datang menemuimu dengan sepeda motor padahal itu adalah motor milik pegawainya. Dia tidak punya motor, dia punya mobil yang harganya mungkin dua kali lipat dari mobil Kevin. Gilbert bukan tipe yang suka memancing wanita dengan kekayaan, dia suka bermain peran seolah-olah ia adalah pria sederhana yang baik hati kemudian ia akan mendapatkan mangsanya!” Claudia kemudian masuk ke dalam rumah dan keluar kembali dengan membawa anaknya yang didudukkan di kereta dorong untuk diperlihatkan kepada Helen dan Dina. “Anak kami ini umurnya sudah lebih dari dua tahun namun hingga kini masih belum bisa berjalan. Saat masih mengandung, Gilbert memaksaku untuk mengonsumsi banyak obat untuk menggugurkan kandungan, aku menurutinya namun janinku tidak gugur juga. Mungkin itulah yang memicu keterlambatan pada tumbuh kembangnya.” Helen dan Dina menatap anak Claudia itu dengan prihatin. “Sekali lagi aku tekankan, tidak apa-apa menjalin hubungan dengan Gilbert asal kamu bisa menjaga diri sehingga kamu tidak masuk ke dalam perangkapnya seperti aku!” Dina menganggukkan kepala. Setelah mendengarkan semua penjelasan dari Claudia, mereka bertiga pun pamit pulang. Kevin mengantar Dina terlebih dahulu karena jarak rumahnya yang paling dekat barulah kemudian Kevin mengantar Helen. Setelah meninggalkan rumah Claudia, Dina tidak berbicara sepatah kata pun lagi. Helen bisa menangkap ekspresi kesedihan dari wajah Dina. Namun Helen tidak mengatakan apapun. Ia bermaksud untuk memberi Dina waktu merenung sebelum akhirnya membuat keputusan yang terbaik untuk dirinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD