Maret 2004
Waktu berlalu tanpa terasa. Dina kini berusia empat belas tahun, siswa kelas 2 SMP, sementara Oscar berusia tujuh belas tahun, siswa kelas 2 SMA. Dina bertubuh bongsor karena kegemarannya akan makanan manis. Bobot tubuhnya kini enam puluh kilogram. Ia mengalami peningkatan berat badan sebanyak dua puluh kilogram dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
Gladys mencemaskan kondisi Dina. Ia takut Dina tidak bisa menurunkan berat badannya lagi dan kemudian kehilangan rasa percaya dirinya saat ia beranjak dewasa. Sedangkan Oscar tubuhnya sangat proporsional. Ia telah rajin berolahraga sejak ia masih SMP karena ia bercita-cita untuk bergabung menjadi anggota kepolisian saat ia lulus dari SMA nanti. Oscar menjelma menjadi pemuda yang sangat tampan dengan wajah khas Indonesia timur seperti Herman, ayahnya, dengan tubuh tinggi dan atletis yang membuatnya tampak semakin menawan.
Di suatu siang yang hujan, Dina yang biasa pulang dari sekolah dengan berjalan kaki lupa membawa payung. Ia terpaksa mampir untuk berteduh di depan sebuah warung. Jika hari sedang cerah biasanya ada beberapa teman Dina yang ikut pulang bersamanya dengan berjalan kaki, namun sejak jam pelajaran terakhir di sekolah langit sudah terlihat sangat mendung sehingga teman-teman yang biasa pulang berjalan kaki memutuskan untuk pulang dengan naik angkot meninggalkan Dina yang tetap memilih untuk pulang jalan kaki. Alasan Dina tetap memilih pulang dengan berjalan kaki bukan karena ada hal khusus melainkan karena uang saku yang diberikan oleh ibunya memang tidak cukup jika dipakai untuk naik angkot. Mereka tidak punya banyak uang, jadi Gladys terpaksa memangkas uang saku anak-anaknya.
Saat tengah menunggu hujan berhenti, pandangan Dina tidak sengaja tertuju pada deretan koran yang tergantung pada seutas tali di salah satu sudut warung. Ada beberapa koran yang tergantung di sana, tetapi pandangan Dina tertuju pada koran khusus berita kriminal. Dina membaca tajuk berita yang dicetak dengan tinta merah itu, “Istri anggota TNI ditemukan tewas, diduga karena masalah hutang piutang!” Baca Dina dari kejauhan. Dina mencoba mendekat untuk melihat isi berita itu. Pemilik warung memperhatikan tingkah laku Dina itu. Ia lantas bertanya kepada Dina,
“Ada apa, dik?” Dina tersentak mendengar pertanyaan itu. Ia mengira pemilik warung sedang tidak berada di situ.
“Ini Bu, ada berita pembunuhan di koran ini,” jawab Dina sambil menunjuk koran yang dimaksud.
“Oh yang itu, itu koran kemarin. Turunkan saja kalau mau dibaca. Nanti ditaruh di situ lagi ya kalau sudah selesai dibaca,” kata Ibu pemilik warung dengan ramah.
Dina mengambil koran itu dan buru-buru membacanya, “Seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun ditemukan tewas dengan luka tikaman di bagian perut, berlokasi di salah satu gudang tua yang telah lama kosong di kompleks pergudangan Kawijaya. Gudang itu kini dilingkari dengan garis polisi untuk memudahkan polisi melakukan pencarian barang bukti lebih lanjut. Wanita tersebut yang diketahui berinisial A adalah istri dari seorang anggota TNI berpangkat Sersan Satu berinisial H. Ia memiliki seorang puteri berusia empat tahun. Salah satu ciri fisik yang mencolok dari wanita itu adalah sebuah bekas luka yang tampak sudah lama di pipi kanannya. Pelakunya sudah berhasil diamankan oleh pihak kepolisian berkat keterangan dari suami korban yang mengatakan bahwa korban memang memiliki janji untuk bertemu dengan pelaku pada satu hari sebelumnya. Namun korban tidak kunjung pulang hingga keesokan harinya sehingga suami korban meminta bantuan dari kepolisian agar dilakukan pencarian. Menurut pengakuan pelaku, korban meminjam uang sejumlah lima belas juta rupiah, yang terbagi dalam tiga kali transaksi kepada pelaku sejak beberapa tahun silam dan tidak kunjung dibayarkan hingga kini. Pelaku yang sedang kesulitan keuangan telah berkali-kali menagih hutang tersebut namun korban hanya memberi janji tanpa kepastian sehingga membuat pelaku gelap mata dan kemudian membunuh korban. Polisi juga menduga bahwa pelaku sakit hati dengan perkataan korban yang menghina pelaku dengan sebutan waria. Pelaku sendiri memang waria yang berprofesi sebagai penata rambut di sebuah salon. Polisi masih mendalami kasus ini sehingga untuk sementara tidak banyak informasi yang dapat diberikan kepada media.”
Dina mencurigai bahwa yang ada dalam berita itu adalah istri muda ayahnya karena inisial dan ciri fisik yang mencolok dari wanita itu sama dengan yang mereka ketahui tentang Anissa. Dina tidak sabar untuk memberitahukan hal tersebut kepada ibu dan kakaknya. Ketika hujan reda, Dina mengembalikan koran itu ke tempat semula, mengucapkan terima kasih kepada ibu pemilik warung dan berlari pulang ke rumah.
Napas Dina terengah-engah ketika tiba di rumah, Oscar memandangnya dengan tatapan tidak biasa, “Kenapa ngos-ngosan begitu?” tanyanya.
Dina melangkah menuju dapur untuk mengambil segelas air dan langsung meneguknya. “Tadi waktu berteduh di warung, Dina baca beritanya lho kak.” Oscar menggaruk kepalanya karena tidak mengerti dengan apa yang sedang dibicarakan oleh Dina.
“Berita apa sih?” Tanya Oscar yang kebingungan.
“Istrinya papa dibunuh orang,” jawab Dina sambil memandang serius kepada kakaknya.
“Tahu dari mana itu istrinya papa?”
“Kan mama pernah cerita kalau wanita itu namanya Anissa. Inisial korban pembunuhan itu juga A. Terus ditulis juga kalau wanita itu punya bekas luka yang sudah lama di pipi kanan. Terus ditulis juga kalau suami wanita itu anggota TNI berpangkat sersan satu berinisial H.”
“Kamu tidak beli korannya?” Tanya Oscar.
“Mana bisa, Dina kan tidak punya uang lagi, pulang saja harus jalan kaki mana ada uang untuk beli koran, kak…”
“Nanti tanya mama sajalah kalau mama sudah pulang,” jawab Oscar dengan cuek.
Dina masih diliputi rasa penasaran tentang berita yang dibacanya di warung tadi itu. Ia berharap ibunya segera pulang agar ia bisa menanyakan hal itu langsung pada ibunya. Namun Dina tetap menunggu dengan sabar hingga ibunya pulang. Saat ibunya sudah di rumah, ia pun menunggu hingga ibunya selesai memasak makan malam. Ketika mereka semua sudah berada di meja makan untuk makan malam bersama, barulah Dina memulai pembicaraan. “Ma, tadi Dina baca berita di koran,”
“Berita pembunuhan kan?” Tanya Gladys.
“Mama sudah tahu ya?” Oscar balik bertanya.
“Iya. Bagian mananya yang ingin kalian tanyakan?”
“Apa itu benar dia, Ma?” Tanya Dina dengan hati-hati.
“Iya, itu memang dia.” Jawab Gladys singkat.
“Ya syukur kalau itu memang dia!” Oscar spontan menjawab.
Dina dan Gladys ibunya terkejut mendengar jawaban spontan dari Oscar itu. Mereka tidak menyangka Oscar yang cuek bisa mengatakan hal semacam itu.
“Oscar, kenapa bicara seperti itu? Itu tidak baik, kamu tahu!” Gladys menasihati Oscar sambil melotot ke arah anaknya itu.
“Mungkin itu adalah balasan yang harus dia terima Ma, setelah apa yang dia lakukan kepada kita.”
“Mama tidak suka kalau kalian berbicara seperti itu,” Gladys sedikit meninggikan suaranya. “Orang itu mungkin jahat, tetapi bukan kita yang berhak menghakiminya. Penghakiman itu urusan Tuhan!” Dina dan Oscar menunduk mendengarkan ibu mereka yang sedang menasihati mereka.
“Mulai hari ini mama harap tidak ada yang membahas tentang pembunuhan itu lagi. Orangnya sudah meninggal, tidak baik membahas keburukan orang yang sudah meninggal. Kalian mengerti?”
“Iya Ma,” jawab Dina dan Oscar kompak.
Berita pembunuhan itu sebenarnya sudah ramai dibicarakan di kantor Gladys sejak kemarin karena rata-rata pegawai di kantor Gladys berlangganan surat kabar. Rekan-rekan seruangan Gladys sudah riuh membicarakan hal itu sejak pagi hari ketika koran baru diantarkan. Mereka semua sudah tahu tentang Anissa sejak lama. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa itu adalah karma yang harus diterima Anissa. Ada yang mengatakan bahwa kini tidak ada lagi penghalang di antara Gladys dan Herman, mereka dapat rujuk kembali jika Gladys bersedia. Namun ada juga yang mengatakan bahwa Herman mungkin akan mengulangi perilaku buruknya itu jadi lebih baik kalau Gladys tidak memberinya kesempatan kedua.
* * *
Enam bulan berlalu. Tidak ada lagi orang yang membahas tentang kejadian itu. Berita itu hanya hangat pada minggu pertamanya saja setelah itu menguap begitu saja seakan tidak pernah terjadi. Di suatu sore yang cerah di bulan September, Gladys dan Marinka menyelesaikan pekerjaan kantornya sedikit lebih lama, sehingga semua rekan kerjanya sudah meninggalkan kantor lebih dulu dari mereka. Seperti biasa, Robby sang atasan, akan menunggu jika ada bawahannya yang belum selesai.
Saat mereka selesai, Robby menawari untuk mengantar mereka berdua pulang. Gladys dan Marinka menerima tawaran baik atasan mereka itu. Mereka bertiga berjalan keluar dari gedung kantor dan menuju ke pelataran parkir. Mereka sedikit terkejut ketika melihat Herman sedang berdiri sambil merokok di bawah pohon mangga yang ada di halaman kantor.
“Gladys, kamu ada janji dengan orang itu?” Tanya Robby sambil menunjuk ke arah Herman. Gladys mengarahkan pandangannya dan seketika menjadi terkejut. Herman yang sudah lebih dari dua tahun tidak pernah ia lihat kini berdiri di sana.
“Gladys…” Panggil Herman sambil melambaikan tangan. Gladys melirik sedikit kemudian memalingkan wajah ke arah yang lain. Herman dengan sigap berlari ke arah Gladys.
“Dia menuju ke sini lho kak Gladys,” bisik Marinka.
Gladys tidak punya pilihan. Ia terpaksa berpamitan kepada Robby dan Marinka serta membatalkan rencana mereka untuk pulang bersama. Marinka dan Robby langsung berbalik dan berjalan ke arah mobil Robby terparkir.
“Ada apa?” Tanya Gladys. Kini ia dan Herman berdiri berhadap-hadapan.
“Aku ingin bicara,” jawab Herman.
“Silakan,”
“Apa kita harus berbicara di sini?” Herman bertanya lagi.
“Aku harus cepat pulang untuk membuatkan makan malam untuk Dina dan Oscar. Katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan,”
“Aku ingin kembali bersamamu,” jawab Herman tanpa basa-basi.
Mata Gladys terbelalak lebar mendengar perkataan Herman itu. “Jangan bercanda,” katanya kemudian dibarengi senyum kecut.
“Aku serius,” balas Herman sambil mencoba meraih tangan Gladys namun buru-buru ditepis oleh Gladys.
“Aku akan bicarakan ini dengan anak-anak dulu,” kata Gladys dan berlalu pergi. Ia mengejar Marinka dan Robby yang masih berjalan menuju ke mobil Robby. “Pak Robby, saya ikut pulang bareng…” teriak Gladys.
Gladys kemudian pulang bersama Robby dan Marinka. Robby mengantar Gladys terlebih dahulu dan menurunkannya di depan gerbang kompleks perumahan dinas TNI, selanjutnya pergi untuk mengantar Marinka pulang.
Gladys turun dari mobil dan berjalan masuk melalui gerbang perumahan. Sepanjang jalan ia tidak terlalu memikirkan apa yang ada di sekitarnya. Ia terus memikirkan apa yang baru saja terjadi antara ia dan Herman. Ia mengakui bahwa ia memang masih mencintai Herman dan tidak pernah berhenti merindukan suaminya itu. Namun jika Herman tiba-tiba kembali dengan cara seperti ini, ia merasa sedikit tidak siap.
Selesai makan malam bersama kedua anaknya, ia memanggil mereka untuk diajak bicara di dalam kamarnya.
“Mama mau bicara apa?” Tanya Oscar sambil menjatuhkan dirinya di ranjang Gladys. Gladys duduk sambil bersandar di sandaran kepala ranjang itu. Dina berbaring tertelungkup di bagian kaki.
“Tadi papa datang ke kantor mama,”
“Dia mau apa?” Tanya Oscar dengan ketus.
“Oscar itu papa lho, jangan menyebutnya dengan tidak sopan begitu…”
“Iya, Oscar minta maaf…”
“Jadi tadi papa datang untuk meminta mama menerima papa kembali,”
“Setelah wanita itu mati, baru ingat mama lagi!” celetuk Dina dengan kesal.
Gladys bisa membaca arah pembicaraan ini. Kedua anaknya tidak akan setuju jika ia kembali rujuk dengan Herman.
“Oscar tidak setuju, Oscar tidak mau papa kembali kemari,” kata Oscar lalu bangkit dari ranjang dan keluar meninggalkan kamar ibunya.
“Dina juga sama Ma, Dina tidak mau…” Dina menatap ibunya dengan wajah serius.
Luka yang ditorehkan Herman di hati kedua anaknya memang sangat dalam sehingga tidak mudah untuk disembuhkan. Kini Herman tiba-tiba mengatakan ingin kembali, tentu saja hal ini memancing kemarahan kedua anaknya. Herman terkesan bertindak seenak jidatnya. Setelah melukai mereka semua kini ia ingin kembali seakan-akan tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
Malam itu Gladys tidak bisa tidur nyenyak. Ia mondar-mandir di dalam kamarnya sepanjang malam. Dina sudah terlelap dalam mimpinya. Sejak Oscar mengalami akil baligh di usia lima belas tahun, Gladys mengajak Dina untuk tidur bersamanya saja. Karena ia pikir tidak baik bagi mereka berdua yang sudah menginjak remaja untuk tetap berada di kamar yang sama.
Keesokan harinya Gladys pergi ke kantor dalam keadaan tidak fit. Ia menghabiskan waktu semalaman untuk berpikir apa yang terbaik untuk masa depan rumah tangganya. Ia tidak mungkin membuat keputusan tanpa mempertimbangkan perasaan kedua anaknya, namun ia juga tidak bisa mengabaikan perasaannya sendiri.
Ia benar-benar tidak menyangka jika Herman akan berpikir untuk kembali. Itulah alasan mengapa Gladys sangat berpasrah diri pada keadaan selama ini. Keinginan Herman untuk rujuk kembali terlalu tiba-tiba. Gladys dan anak-anaknya sudah terlanjur berdamai dengan luka hati mereka.
Ucapan Oscar dan Dina terus terngiang-ngiang di telinga Gladys. Mereka tidak ingin ayah mereka kembali lagi untuk hidup bersama dengan mereka. Sore harinya sepulang kantor, Gladys kembali dicegat oleh Herman di tengah jalan. Herman kembali mengutarakan keinginannya untuk rujuk. Gladys tidak memberi jawaban.
“Aku akan ke rumah untuk bertemu dengan anak-anak,” ujar Herman.
“Tidak boleh!” jawab Gladys dengan tegas.
“Mereka pasti sangat senang mengetahui hal ini,” kata Herman penuh percaya diri.
“Jangan pernah berpikir untuk melakukan itu!” Gladys meninggikan suaranya.
“Aku tahu anak-anakku sangat menyayangiku,”
“Dengar Herman, semalam aku sudah memberitahu mereka, dan mereka menolak keinginanmu itu,” Herman sedikit terkejut mendengar perkataan Gladys. Mungkin ia tidak menyangka kalau anak-anak yang dulu menyanjungnya kini tidak bersedia lagi menerima kehadirannya. “Aku pulang dulu, tolong jangan ikuti aku lagi…” Gladys pun berlalu dari hadapan Herman.
Tiba di rumah, Gladys disambut oleh kedua anaknya yang sedang menonton TV. Oscar memperhatikan penampilan Gladys yang tampak lesu. “Dia datang menemui mama lagi?” tanyanya.
“Oscar, sudah mama bilangkan jangan menyebut papamu dengan tidak sopan begitu!”
“Baik, Ma. Jadi apa papa datang menemui mama lagi?”
“Iya. Masih dengan pembahasan yang sama,”
“Mama, apa mama tahu apa tujuan papa ingin kembali bersama mama?” Gladys terdiam mendengar pertanyaan dari Oscar itu. Ia kemudian melanjutkan, “Papa kini punya anak balita, ia mungkin hanya ingin agar anak balitanya itu memiliki ibu yang mengasuh,” Gladys terkejut dengan pernyataan Oscar itu. Ia bahkan tidak berpikir sampai di situ.
“Papa mungkin hanya ingin memperalat mama untuk mengurus anaknya dari wanita itu.” Dina menimpali. Gladys benar-benar tidak menyangka jika ada kemungkinan semacam itu. Ia terlalu tergoda untuk rujuk kembali bersama Herman tanpa mempertimbangkan jika mungkin ada maksud lain yang disembunyikan oleh Herman.
Gladys lantas berpikir bahwa anak Herman dan Anissa juga tidak terdaftar dalam kartu keluarga manapun karena mereka berdua tidak menikah secara resmi. Mungkin Herman berniat untuk memasukkan anak itu dalam kartu keluarga mereka agar anak itu memiliki identitas resmi. Malam itu Gladys memantapkan hatinya untuk mengeliminasi kemungkinan rujuk kembali dengan Herman. Ia kini mengerti bahwa suaminya itu hanya ingin memperalatnya saja. Itu tidak boleh terjadi. Ia tidak bodoh dan tidak akan bisa dibodohi oleh Herman.
“Kalau dipikir-pikir, sudah dua kali juga Herman datang menemuiku tetapi dia tidak pernah meminta maaf atas kesalahannya. Ia selalu hanya mengatakan ingin kembali.” Kata Gladys kepada Wanda di suatu sore sambil menyiram tanaman. Wanda rutin mengunjungi Gladys di sore hari pada akhir pekan karena hanya itulah hari di mana Gladys ada di rumah sebelum malam hari.
“Dulu aku selalu menyarankanmu untuk rujuk, tetapi kali ini situasinya sudah berbeda. Dia sudah memiliki anak dari wanita itu. Jadi kupikir perkataan Oscar ada benarnya,” balas Wanda.
“Iya, kuakui aku memang sempat tergoda untuk kembali rujuk bersamanya, entah karena aku masih cinta, kesepian, atau keduanya, syukurlah anak-anakku sudah mulai berpikir dewasa dan segera menyadarkanku,”
“Kamu sudah membuktikan kalau kamu sangat kuat selama hampir enam tahun terakhir ini. Kali ini kamu tidak boleh kalah ya,” Wanda memberi semangat kepada Gladys sambil mengusap punggung kawannya itu beberapa kali.
“Terima kasih ya, Wan…”
“Manusia hidup di dunia memang ada saja masalahnya, tetapi lihat saja, setidaknya kita masih hidup dengan baik sampai hari ini.” Wajah Wanda tiba-tiba menjadi sedih.
“Kenapa kamu terlihat sedih begitu?”
“Yah begitulah,” jawabnya singkat. “Barusan aku sudah telat datang bulan, kupikir aku sudah hamil tetapi ternyata tidak,”
Wanda dan Carlos sudah menikah lebih dari sepuluh tahun, namun mereka masih belum juga dikaruniai anak. Mereka sangat menginginkan anak. Mereka sudah periksa ke dokter dan hasilnya normal, baik bagi Wanda maupun Carlos. Entah mengapa Wanda masih belum juga hamil padahal usianya sudah menjelang akhir tiga puluhan.
Hari-hari berganti tanpa adanya Herman yang datang mengusik kehidupan Gladys lagi. Gladys sudah merasa lega ketika sebuah kekacauan tiba-tiba menghampiri kehidupannya lagi.
Sore itu ia pulang kantor seperti biasa, ia tidak lembur sehingga bisa pulang saat matahari sore masih bersinar. Saat ia tiba di rumah, ia terkejut melihat Herman ada di sana. Herman sedang duduk di ruang tamu di sofa panjang yang dulu sering ia gunakan untuk tidur. Ia melihat Herman hanya sendiri di situ, ia langsung memeriksa ke kamar Oscar ternyata Dina dan Oscar ada di sana.
“Ada apa?” Tanya Gladys memulai percakapan.
“Aku sudah satu jam lebih berada di sini dan anak-anak malah terus berada di kamar tidak mau bertemu denganku,”
“Bukankah aku sudah mengatakan ini kepadamu sebelumnya?”
“Panggil mereka keluar, aku ingin bicara…”
Gladys menurut dan memanggil kedua anaknya keluar dari kamar. Awalnya mereka menolak, tetapi lama kelamaan Gladys berhasil membujuk mereka untuk keluar.
“Papa ada disini sekarang, kenapa kalian tampak tidak senang?” Tanya Herman.
Oscar dan Dina diam seribu bahasa. Mereka tidak bereaksi sama sekali. Mereka hanya menundukan kepala dan diam.
“Papa ingin kembali kemari, bagaimana menurut kalian?”
“Tidak perlu!” Oscar menampik dengan suara keras. Herman terkejut dengan reaksi anaknya itu. “Papa sudah pergi hampir enam tahun, papa sudah memiliki keluarga yang baru, kenapa tiba-tiba ingin kembali kemari? Kami tidak bodoh Pa, kami bukan Tuhan yang Maha Pemaaf yang bisa semudah itu menganggap habis kesalahan papa dan langsung menerima papa kembali,”
Herman menjadi marah karena mendengar perkataan Oscar dan dengan spontan bangkit dari tempat duduknya dan menampar Oscar dengan keras. Oscar pun refleks berdiri lalu mendorong ayahnya hingga terjatuh kembali ke kursinya setelah menampar Oscar.
“Papa masih belum berubah, papa bahkan lebih buruk dari sebelumnya…” kata Oscar dan kembali masuk ke kamarnya.
Gladys terdiam tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi di depan matanya. Ia menjadi geram dengan tindakan Herman. “Herman, aku minta kamu pergi dari sini sekarang juga…”
“Ini rumahku, kalian bisa tinggal di sini dan tidak menjadi gelandangan di bawah kolong jembatan karena aku tidak mengusir kalian dari sini,” Herman mulai berteriak.
Dina mulai menangis dan memeluk ibunya. “Ayo masuk ke kamar,” bisik Gladys. Dina segera berlari masuk ke kamar Oscar.
“Aku bisa mengusir kalian kalau aku mau, karena ini rumah dinasku bukan kalian,” demikian kata Herman lalu pergi meninggalkan rumah itu.
Gladys menangis setelah itu. Dina dan Oscar keluar lagi dari kamar dan menemui ibu mereka yang tengah menangis di ruang tamu. Gladys buru-buru menghapus air matanya.
“Kalau kita di usir kita harus tinggal di mana Ma?” Tanya Dina dengan lirih.
“Kita akan membeli sebuah rumah,” jawab Gladys mantap. “Jangan sedih lagi ya, kita pasti bisa melewati ini,”
Gladys semakin yakin bahwa ia tidak boleh rujuk kembali dengan Herman. Herman berubah menjadi orang dengan tempramen tinggi. Ia bahkan tega memukul anaknya padahal itu tidak pernah terjadi sejak dulu, bahkan ketika Oscar bersikap sangat nakal sekalipun.
Tidak hidup bersama lagi selama enam tahun membuat Gladys sudah tidak mengenal Herman yang sekarang. Ia bersyukur bahwa ia tidak menerima Herman kembali. Beberapa hari setelah kejadian itu, Wanda datang menemui Gladys di rumahnya pada malam hari. Wanda datang untuk memberitahukan bahwa Herman sekarang sangat kerepotan untuk mengurus anak balitanya itu. Jika Herman harus pergi bekerja atau berpiket di malam hari, anak itu terpaksa dititipkan pada tetangga sebelah rumah kontrakan Herman. Bahkan pernah suatu kali Herman membawa anak itu ke kantor dan menyebabkan ia kena tegur dari Kapten Nugroho.
Carlos baru saja menceritakan hal itu kepada Wanda makanya ia langsung datang menemui Gladys untuk memberitahukannya. Sekarang segala sesuatunya menjadi masuk di akal bagi Gladys. Herman ingin rujuk kembali dengan Gladys karena ingin ada sosok ibu yang mengasuh anaknya itu. Ternyata benar yang disangkakan Oscar kepada ayahnya bahwa ia ingin rujuk hanya karena ingin memperalat ibunya. Gladys senang hal itu tidak sampai terjadi.