Aku Baik-Baik Saja

4674 Words
Februari 2001 Empat bulan berlalu sejak pertemuan terakhir antara Gladys dan Herman untuk membuat kesepakatan damai itu. Mereka belum saling bertemu lagi dan Herman juga belum sekalipun datang untuk mengunjungi kedua anaknya, tidak di hari Natal, tahun baru maupun pada hari ulang tahun Dina. Tidak mengunjungi serta tidak memberi biaya hidup untuk mereka, situasi benar-benar masih sama seperti saat sebelum kesepakatan damai itu dibuat. Gladys belum menuntut biaya kepada Herman karena sejauh ini ia masih bisa mencukupi semuanya sendiri. Namun ia diliputi kecemasan karena mengingat tahun depan Dina akan lulus dari Sekolah Dasar dan akan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama, sementara Oscar juga akan lulus dari Sekolah Menengah Pertama dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas. Itu membutuhkan uang dalam jumlah yang besar dan Gladys mungkin harus mengeruk isi tabungannya. Ia bahkan sampai berpikiran barangkali ia harus menangguhkan dahulu mimpinya untuk membeli rumah. Di suatu sore saat Gladys tengah berkebun, Wanda datang untuk mengunjunginya. Gladys menyambut Wanda dan menawarinya untuk dibuatkan secangkir teh, namun Wanda menolaknya. Sebenarnya Wanda datang untuk memberitahu Gladys bahwa Anissa sudah melahirkan seorang anak perempuan pagi tadi. Wanda mengetahui hal itu dari Carlos, suaminya. Carlos bertutur bahwa pagi tadi saat sedang di kantor, Herman mendapat panggilan telepon dari seseorang yang mengabarkan bahwa Anissa akan segera melahirkan, sehingga Herman terpaksa meninggalkan pekerjaannya dan langsung menuju ke rumah sakit yang dimaksud. Wanda lalu bertanya apa Gladys tidak sedih mendengar berita semacam itu. Gladys tersenyum kecil mendengar pertanyaan Wanda itu. Ia lantas memegang pundak Wanda, lalu berkata “Aku sudah baik-baik saja. Herman sudah berada di sisi lain dari kehidupanku, sehingga hal seperti ini tidak akan melukaiku lagi,” ia lantas kembali berkebun sambil mengobrol santai dengan Wanda. Wanda merasa lega karena Gladys kini sudah tidak berlarut-larut dalam kesedihannya lagi. Meskipun menurut Wanda cara Gladys untuk merelakan Herman sedikit keliru namun jika Gladys merasa bahwa itu adalah cara terbaik yang dapat ia lakukan untuk menjaga hatinya dari luka yang berkelanjutan, maka Wanda sebagai sahabat Gladys satu-satunya, hanya bisa mendukung pilihannya itu dengan sepenuh hati.   * * * Suatu hari Gladys tengah sibuk dengan pekerjaan di kantornya, ia bolak balik membawa berkas dari ruang arsip ke meja kerjanya kemudian kembali lagi ke ruang arsip, demikian hal yang sama berlangsung selama beberapa kali. Ia tengah berkonsentrasi untuk mengerjakan laporan untuk periode lima tahun terakhir yang diminta oleh Robby, atasannya, dan harus diselesaikan dalam minggu ini. Tiba-tiba telepon di meja kerja Robby bordering. Setelah mengangkat telepon itu, Robby lantas memanggil Gladys. Gladys buru-buru menghampiri meja Robby untuk menerima panggilan telepon itu. Di ruangan itu, hanya di meja Robby yang ada pesawat teleponnya, sementara di meja yang lain tidak ada. Telepon yang ditujukan untuk Gladys itu ternyata berasal dari sekolah Oscar. Guru Oscar meminta Gladys untuk datang karena Oscar terlibat perkelahian dengan teman sekelasnya. Teman sekelasnya itu mengalami luka yang cukup serius dan sudah mendapatkan penanganan dari Puskesmas terdekat, dan saat ini orang tua dari anak itu menunggu Gladys untuk membicarakan masalah tersebut. Begitu telepon ditutup, Gladys meminta izin kepada Robby untuk pergi ke sekolah Oscar sebentar, namun karena jarak sekolah Oscar yang sekarang lumayan jauh Robby pun menawarkan untuk mengantar Gladys dengan mobilnya. Tidak punya pilihan karena memang sedang buru-buru, Gladys pun menyetujui tawaran dari Robby itu. Mereka tiba di sekolah Oscar hanya dalam sepuluh menit karena Robby mengemudi dengan sangat cepat. Gladys mengucapkan terima kasih dan meminta Robby agar tidak perlu menunggunya, mengingat Robby juga masih memiliki banyak pekerjaan di kantor. Setelah itu Gladys langsung berlari masuk ke dalam bangunan sekolah Oscar. Begitu Gladys masuk, mereka semua telah berada di sana dan menunggu kedatangan Gladys di ruang kepala sekolah. Di sana ada bapak kepala sekolah, ibu wali kelas, ibu guru BP, anak yang dipukul Oscar dan kedua orang tuanya, serta Oscar. Kepala Sekolah lalu memulai pembicaraan, “Baiklah, karena semua sudah berada di sini, saya akan langsung saja menjelaskan kejadian yang terjadi saat jam istirahat tadi,” Gladys mengambil posisi berdiri di samping Oscar yang sedang duduk. “Jadi Oscar yang menyerang Kevin terlebih dahulu karena menurut Oscar, Kevin mengejeknya dan itu membuat ia sangat marah,” kata Kepala Sekolah lagi. “Bisa Oscar jelaskan ejekan seperti apa yang dikatakan oleh Kevin?” Oscar menundukkan kepala, ia menutup mulutnya rapat-rapat seolah tidak ingin menjawab. Ia kemudian menggelengkan kepala sebagai pertanda bahwa ia tidak ingin menjawab. “Baik kalau Oscar memilih untuk tetap diam. Bagaimana dengan Kevin, bisa jelaskan kejadiannya?” Tanya Kepala Sekolah. Gladys menatap ke arah anak yang bernama Kevin itu. Tampak ada perban yang menempel di pelipis kanannya, bibirnya juga tampak bengkak mungkin karena terkena tonjokan, kemeja sekolahnya yang berwarna putih tampak lusuh dan kotor terkena noda darah di beberapa tempat. “Saya hanya mengejek Oscar sedikit tetapi dia langsung marah,” jawab Kevin sambil menunduk. “Kalau begitu, ejekan apa yang kamu katakan?” Tanya wali kelas mereka. “Saya mengatakan kalau Oscar jelek,” jawab Kevin dengan pelan. “Dia berbohong,” Oscar seketika menyergah, membantah perkataan Kevin. “Kalau demikian, apa sekarang Oscar mau menceritakan kejadian yang sebenarnya?” Tanya ibu wali kelas. Oscar tampak menarik napas panjang, sebelum akhirnya ia mulai bercerita. “Sebenarnya tadi saat sedang berjalan menuju kantin, Kevin meneriaki saya anak terlantar,” semua orang yang berada di ruangan itu memasang telinga siap untuk mendengarkan penjelasan Oscar, “Saya mengatakan bahwa saya tidak terlantar, namun ia terus mengatakan bahwa saya anak terlantar, ayah saya tidak menginginkan saya lagi karena sudah memiliki anak baru yang lebih ia sayangi,” Semua yang berada di ruangan itu spontan terbelalak mendengar kata-kata Oscar. “Saya mengatakan bahwa itu tidak benar, dan Kevin terus meneriakan hal yang sama sampai semua orang mulai keluar dari kelas dan memandangi saya dengan tatapan aneh,” Kevin terdiam dan tidak membantah ucapan Oscar sama sekali. Oscar kembali melanjutkan penjelasannya, “Saya merasa sangat marah dan mulai memukulinya,” Gladys merasa sangat sedih karena anaknya harus melalui hal semacam itu di sekolahnya. “Dari mana kamu mendapatkan berita seperti itu, Kevin?” Tanya kepala sekolah. “Ibu saya yang mengatakan itu, Pak.” Jawab Kevin dengan polos seraya menunjuk pada Ibunya yang berdiri di sisi lain dari ruangan itu. Kepala Sekolah melotot ke arah kedua orang tua Kevin, “Ibu dan Bapak, saya bukannya mau membela Oscar, tetapi sekarang Ibu dan Bapak bisa melihat sendiri akibatnya bukan jika anda membiarkan anak menguping pembicaraan orang dewasa?” Kedua orang tua Kevin tertunduk malu mendengar perkataan kepala sekolah itu. Mereka ketahuan telah menggunjingkan kehidupan orang tua Oscar.  “Tetapi tidak harus seperti itu juga kan reaksi Oscar?” Ibu Kevin mencoba membela diri. “Saya minta maaf ya Bu, Pak…” kata Gladys menengahi, “Oscar memang sudah bertindak di luar batas kali ini. Saya sebagai orang tuanya meminta maaf yang sebesar-besarnya,” Gladys kembali melanjutkan, “Tidak ada keluarga yang ingin hubungan yang berantakan. Tidak ada pasangan yang ingin anak-anaknya menderita tekanan batin karena harus menyaksikan perpisahan orang tuanya di umur yang masih sangat muda. Tidak ada orang tua yang rela anak-anaknya menanggung malu karena menjadi bahan pembicaraan semua orang karena aib orang tua yang seharusnya ditutupi. Tetapi ini adalah nasib kami yang sudah ditentukan oleh yang di atas. Kami tidak berdaya menolak takdir dari Yang Maha Kuasa,” “Sekali lagi saya mohon maaf kepada Kevin dan orang tua, semoga bisa memahami situasi kami, bahwa ini adalah tahun-tahun yang berat bagi kami. Kami masih berusaha untuk melewatinya hingga detik ini,” ujar Gladys dengan sedih, matanya berkaca-kaca menahan air mata agar tidak menetes. “Kami juga minta maaf, Bu. Kami berharap Kevin juga bisa menjaga perilakunya di hari-hari yang akan datang sehingga hal seperti ini tidak terjadi lagi,” kata ayah dari Kevin. Masalah itu pun telah dianggap selesai oleh pihak sekolah, sehingga anak-anak di minta kembali ke kelas dan para orang tua diizinkan untuk pulang. Di depan ruangan Kepala Sekolah, Gladys meminta maaf sekali lagi kepada kedua orang tua Kevin lalu berpamitan dan pergi. Sesampainya di depan gerbang sekolah, Gladys melihat Robby, atasannya, masih menunggu di sana. Ia tampak sedang merokok sambil bersandar pada mobilnya. “Pak, anda masih menunggu di sini?” Tanya Gladys, tak percaya. “Sudah selesai?” Robby balik bertanya. “Sudah,” “Ya sudah, ayo kembali ke kantor.” Kata Robby sambil membukakan pintu untuk Gladys. Gladys masuk ke mobil dan mereka pun menuju kembali ke kantor. Gladys mengucapkan terima kasih kepada atasannya itu karena sudah mengantar dan menungguinya selama ia menyelesaikan masalah di sekolah Oscar. Begitu tiba di depan kantor, Gladys ingin segera turun dari mobil dan masuk ke kantor, namun Robby menahan tangannya, “Gladys, sebentar…” Spontan Gladys menarik tangannya, “Maaf… Maaf… Tolong jangan salah paham,” kata Robby kemudian. “Aku hanya ingin bertanya, apa kamu baik-baik saja setelah semua kejadian ini?” “Iya, Pak. Saya baik-baik saja kok,” Jawab Gladys. “Saya masuk duluan ya, Pak.” Gladys turun dari mobil itu dan berlari masuk ke dalam kantor. Sesampainya di kantor, rekan-rekan kerjanya sudah menanti kedatangannya dengan penasaran. Ia pun menceritakan kejadian yang menimpa Oscar di sekolah. Beberapa dari mereka bereaksi keras terhadap perilaku orang tua dari Kevin yang menggunjingkan masalah pribadi orang lain di depan anak mereka dan sebagian besar memberi dukungan kepada Gladys agar tetap kuat menghadapi masa-masa sulitnya ini.  Namun sekali lagi Gladys hanya berkata, “Aku baik-baik saja kok…”   * * *   Juni 2002 Dina telah dinyatakan lulus dari Sekolah Dasar, demikian halnya dengan Oscar. Ia juga telah lulus dari Sekolah Menengah Pertama. Mereka berdua sama-sama akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Masalah yang kini dihadapi Gladys adalah dana dalam jumlah yang besar yang harus ia siapkan agar anak-anaknya dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah yang baru. Sudah satu setengah tahun berlalu sejak kesepakatan damai antara Gladys dan Herman dibuat namun tidak ada satupun poin dari surat kesepakatan itu yang dipenuhi oleh Herman. Ia tidak datang mengunjungi kedua anaknya dan tidak memberi mereka biaya hidup dan pendidikan. Kali ini Gladys berniat untuk menagih janji Herman. Ia harus memberanikan diri menemui Herman karena ini adalah jalan satu-satunya bagi Oscar dan Dina agar dapat melanjutkan pendidikan. Suatu hari Gladys mendatangi kantor Herman dan meminta agar dipertemukan dengan suaminya itu. Menurut Carlos, Herman ada terlihat di kantor pagi tadi sehingga siang harinya Gladys memutuskan untuk mendatanginya. Herman menitip pesan pada seorang perwira wanita untuk mengatakan kepada istrinya itu bahwa ia sibuk dan tidak bisa bertemu. Gladys bersikeras untuk menunggu, ia tidak ingin pergi jika tidak bertemu dengan Herman. Ia menunggu sekitar satu jam di situ namun Herman tidak juga muncul. Gladys lantas memutuskan untuk pulang. Saat ia membalikkan badan untuk pergi, ia melihat dari kejauhan Anissa yang berjalan masuk ke halaman kantor Herman. Wanita itu menggendong seorang anak perempuan kecil yang berusia sekitar satu tahunan. Gladys mengenali luka di wajah Anissa itu dan mendadak semua kenangan buruk di malam penyerangan itu terputar kembali di otaknya bagai sebuah film. Melihat Anissa masuk, Gladys memutuskan untuk bersembunyi. Ia ingin melihat apakah Herman akan keluar jika Anissa yang mencarinya ataukah Herman benar-benar sedang sibuk. Anissa dan anaknya duduk untuk menunggu di tempat di mana tadi Gladys duduk untuk menunggu Herman. Kira-kira sepuluh menit kemudian, Herman keluar. Gladys menguping pembicaraan mereka. “Sudah kubilang kan, jangan menemuiku di kantor,” “Tapi Adzkia harus ke dokter sekarang, Pa.” jawab Anissa. “Mana uangnya?” Herman membuka dompet dan memberikan beberapa lembar uang kertas kepada Anissa. “Lain kali jangan datang ke kantor lagi ya, kamu kan tahu Kapten Nugroho sangat tidak senang jika melihat keberadaan kamu di sini,” “Iya pa, mama tahu. Dia sudah memaksa mama untuk berhenti berjualan di kantin kantor dan sekarang apa lagi yang dia inginkan?” Anissa menggerutu. “Ayo cepat pergi sebelum Kapten Nugroho datang,” pinta Herman. Gladys yang sejak tadi menguping pembicaraan itu kini tahu bahwa Anissa sudah tidak lagi menjadi ‘si ibu kantin’. Skandal perselingkuhannya dengan Herman membuat Kapten Nugroho mengambil langkah tegas dan memaksanya untuk berhenti berjualan di lingkungan kantor. Gladys menjadi paham bahwa Kapten Nugroho selama ini ada dipihaknya. Gladys pergi meninggalkan kantor Herman dengan tangan hampa. Ia memutuskan untuk kembali lagi pada besok hari saja. Ia melangkah dengan gontai menuju kembali ke kantornya. Ia cemas kalau-kalau ia tidak berhasil menemui Herman hingga tiba waktunya bagi kedua anaknya untuk mendaftar sekolah. Begitu Gladys tiba di kantor, ia disambut oleh sebuah kabar duka cita. Ayah dari Robby, atasan mereka, baru saja meninggal dunia sehingga seluruh pegawai akan pergi melayat ke rumah duka pada esok hari. Gladys tidak mungkin untuk tidak ikut pergi melayat, sebab selama ini Robby banyak membantunya. Sementara Gladys juga harus menemui Herman karena batas waktu pendaftaran sekolah Oscar dan Dina hampir tiba. Kali ini Gladys terjebak dalam kebingungan. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, ia terus memikirkan hal tersebut. Hingga akhirnya ia mendapatkan sebuah ide. Ia akan mengutus Oscar dan Dina untuk menemui ayah mereka dan menyampaikan tentang kesulitan yang sedang mereka hadapi. Begitu tiba di rumah, ia segera membahas hal ini dengan kedua anaknya. “Jadi besok kalian ke kantornya Papa ya…” “Bagaimana kalau kami tidak bisa menemukan Papa?” Tanya Oscar. “Kalian temui Om Carlos dulu dan minta Om Carlos untuk mempertemukan kalian dengan Papa.” Oscar dan Dina pun setuju untuk melakukan hal tersebut. Gladys kini merasa lega karena ia tetap dapat pergi melayat bersama dengan rekan-rekan kerjanya.   Hari pun berganti. Sejak pagi hari, Gladys telah memasak banyak makanan untuk Oscar dan Dina yang sekiranya cukup untuk mereka makan hingga makan malam. Mereka tidak lagi pergi ke sekolah setelah pengumuman kelulusan mereka, sehingga mereka banyak menghabiskan waktu dengan berada di rumah saja. “Mama mau pergi melayat bersama teman-teman kantor, rumah dukanya ada di pinggiran kota dan cukup jauh dari sini. Mama mungkin akan pulang terlambat. Jika ada apa-apa pergi ke tempatnya Tante Wanda dan minta bantuannya ya,” pesan Gladys sambil menyiapkan tas yang akan ia bawa ke kantor. “Oh ya, jangan lupa kalau mau ke kantornya papa harus berpakaian yang rapi ya, pakai sepatu jangan pakai sandal,” lanjutnya kemudian. Gladys berangkat ke kantor meninggalkan kedua anaknya yang sedang sarapan. Begitu tiba di kantor, tampak beberapa bus yang telah terparkir di pelataran parkir kantornya. Bus tersebut yang akan membawa seluruh pegawai untuk pergi melayat ke rumah duka. Sepanjang perjalanan bersama rekan-rekan kantornya, Gladys merasa risau. Ia terus memikirkan tentang Oscar dan Dina, apakah mereka berhasil menemui ayah mereka atau tidak. Perjalanan ke rumah duka memakan waktu sekitar dua setengah jam. Di sana Gladys dan teman-teman kantornya menghabiskan waktu sekitar dua jam. Dalam perjalanan pulang, rombongan itu terkena macet yang cukup parah sehingga memerlukan waktu tiga setengah jam untuk tiba kembali di kantor. Mereka tiba kembali di kantor saat matahari hampir terbenam. Gladys segera pulang ke rumahnya karena sangat penasaran dengan hasil pertemuan kedua anaknya dengan ayah mereka. Dari kejauhan ia melihat pintu rumahnya terbuka, yang menandakan bahwa ada yang sedang bertamu. Ia menduga kalau itu adalah Herman. Dalam benaknya terbersit sebuah harapan jika mungkin saja itu adalah Herman yang datang untuk memenuhi permintaan kedua anaknya. Namun saat ia masuk ia mendapati bahwa yang datang ternyata adalah Wanda. Wanda dan Dina duduk bersama di sofa panjang sementara Oscar duduk terpisah dari mereka. Mata Dina terlihat bengkak seperti habis menangis. Oscar hanya duduk terdiam sambil menyandarkan kepalanya di sandaran kursi dan menatap langit-langit rumahnya. Gladys langsung bisa menebak bahwa kenyataan yang ada di depan matanya kini berbanding terbalik dengan apa yang ia harapkan barusan. “Apa yang terjadi?” tanyanya kepada mereka. “Jadi sebenarnya tadi mereka memintaku untuk mengantarkan mereka ke kantor papanya,” Wanda memulai cerita. “Aku pun setuju untuk mengantarkan mereka,” Gladys lalu mengambil posisi duduk di samping Wanda. “Awalnya Herman tidak bersedia ditemui, Carlos memaksanya berkali-kali barulah ia mau keluar untuk menemui mereka. Oscar menjelaskan maksud kedatangan mereka kepada papanya, tetapi papanya malah menjawab sekenanya bahwa ia tidak punya uang,” Tiba-tiba Oscar menyela pembicaraan Gladys dan Wanda, “Dina menangis dan meminta papa untuk memberikan biaya sekolah untuk kami, tetapi papa hanya mengatakan kalau tidak ada ya berarti tidak ada,” kata Oscar menirukan perkataan ayahnya. “Papa menyuruh kami untuk pergi dan melarang kami untuk mendatanginya lagi pada jam kerja,” Dina menambahkan sambil melap air mata yang jatuh dari sudut matanya. Wanda lalu mendekat ke arah Dina dan mengusap punggung anak itu beberapa kali untuk menenangkannya. “Mungkin kamu memerlukan bantuan dari Kapten Nugroho,” saran Wanda kepada Gladys. “Baik, kalau begitu aku akan menemui Kapten Nugroho besok,” kata Gladys dengan mantap. “Anak-anak, kalian tidak perlu sedih dan lesu begitu. Mama pasti akan menemukan solusi untuk masalah ini, kalian akan melanjutkan sekolah bagaimanapun caranya,” Malam itu Gladys diliputi kekesalan terhadap Herman. Kali ini ia sudah terang-terangan melanggar kesepakatan mereka. Yang semakin membuat Gladys kesal adalah ketika Herman secara tidak langsung mengusir kedua anaknya dari situ. Ia melarang mereka untuk mendatangi kantornya, namun ia sendiri tidak datang menemui mereka untuk jangka waktu yang sangat lama. Entah apa yang diinginkan oleh pria itu sebenarnya? Pikir Gladys. Keesokan harinya, setelah mengisi daftar hadir di kantor, Gladys meminta izin untuk keluar sebentar. Ia pergi ke kantor Herman dengan maksud untuk menemui Kapten Nugroho. Ia tahu benar jika ia mungkin tidak bisa bertemu dengan Kapten Nugroho hari ini karena ia tidak membuat janji sebelumnya. Namun ia tetap memaksakan diri untuk melakukannya, siapa tahu keberuntungan berpihak padanya hari ini, demikian pikirnya. Saat ia melaporkan kedatangannya pada petugas yang berpiket dan menyampaikan bahwa maksud kedatangannya adalah untuk bertemu Kapten Nugroho, maka dengan mudah ia langsung dipersilakan masuk. Gladys tidak mengerti, apakah ini memang adalah hari keberuntungannya atau apa, yang pasti ia hanya ingin masuk untuk memperjuangkan nasib kedua anaknya. Gladys diminta untuk menunggu sebentar di ruang tunggu sebelum bertemu dengan Kapten Nugroho. Ketika Gladys tengah menunggu, Carlos lewat di depannya dan berbisik pelan “Semoga berhasil.” Gladys menduga bahwa Carlos mungkin sudah memberitahu Kapten Nugroho perihal kejadian kemarin, sehingga ketika ia datang untuk menemui Kapten Nugroho hari ini, ia dapat masuk dengan mudah meski tanpa membuat janji sebelumnya. Tidak sampai sepuluh menit menunggu di situ, Kapten Nugroho sudah menyuruh salah satu perwira untuk memanggil Gladys untuk masuk ke ruangannya. “Selamat siang, Pak.” Sapa Gladys dengan sopan. “Selamat siang. Silakan duduk,” Kapten Nugroho mempersilakan. “Lama tidak bertemu ya, terakhir bertemu di bulan Oktober tahun 2000, berarti hampir dua tahun ya,” katanya berbasa-basi. Gladys hanya mengangguk sembari tersenyum mendengar itu. “Baiklah, langsung saja ya, jadi maksud kedatangan anda kesini adalah?” Tanya Kapten Nugroho. “Begini, Pak. Saya sedikit mengalami kendala untuk bertemu dengan Herman. Sebenarnya kami memang tidak pernah bertemu lagi sejak pertemuan terakhir kami di kantor Bapak pada waktu itu. Saya berusaha menemuinya lagi pada dua hari yang lalu karena anak-anak kami membutuhkan biaya untuk melanjutkan pendidikan. Mereka berdua harus melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi pada saat yang bersamaan, dan saya tidak dapat menanggung biaya itu sendiri,” “Sebentar… Sebentar…” Kapten Nugroho menyela perkataan Gladys. “Tidak pernah bertemu sejak Oktober 2000? Bagaimana dengan nafkah dan biaya pendidikan untuk anak-anak?” “Benar Pak, kami tidak bertemu lagi sejak itu. Ia juga tidak memberikan nafkah untuk kedua anak kami bahkan setelah kami membuat kesepakatan damai di depan Bapak pada waktu itu. Dua hari yang lalu saya datang untuk bertemu dengan dia, tetapi dia tidak bersedia untuk ditemui. Namun saat wanita yang satunya lagi datang, ia bersedia untuk ditemui. Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri,” Kapten Nugroho mengangguk-angguk mendengarkan cerita Gladys. “Kemarin karena saya harus pergi ke luar kota bersama rombongan kantor, anak-anak yang saya suruh untuk kesini menemui ayah mereka. Awalnya ia menolak untuk ditemui, tetapi setelah dipaksa oleh rekannya, ia akhirnya mau untuk bertemu dengan anak-anak.” “Lalu apa yang ia katakan kepada anak-anak?” Tanya Kapten Nugroho. “Ia mengatakan bahwa ia tidak memiliki uang, ia tidak mau ditemui oleh anak-anak pada saat jam kantor, dan ia meminta mereka agar tidak datang lagi,” Kapten Nugroho mengerutkan dahi sambil mengusap dagunya beberapa kali, yang merupakan kebiasaan sang kapten sejak dulu. “Anak-anak sangat sedih dengan penolakan dari ayah mereka, mereka juga takut tidak bisa melanjutkan pendidikan, Pak.” “Baik, kalau begitu. Bisa saya tahu siapa yang dapat saya mintai keterangan atas kejadian kemarin?” Tanya Kapten Nugroho lagi. “Kemarin yang mengantar anak-anak saya kesini adalah istrinya Serda Carlos. Serda Carlos juga ikut menyaksikan kejadian kemarin, Pak.” “Baik, saya mengerti. Saya akan memanggil Serda Herman dan Serda Carlos secara terpisah hari ini. Saya ingin mendengar keterangan dari mereka yang terlibat secara langsung kemarin. Ibu boleh kembali lagi besok pagi di jam yang sama,” “Baik, Pak. Terima kasih atas bantuan Bapak. Saya pamit pulang dulu,” Gladys meninggalkan kantor Herman dan kembali ke kantornya untuk melanjutkan pekerjaan. Ia menaruh harapan yang sangat besar terhadap Kapten Nugroho untuk dapat membantunya mengubah pikiran Herman. Gladys tidak sabar untuk menantikan datangnya hari esok. Malam harinya setelah ia pulang dari kantor dan bertemu dengan kedua anaknya di rumah, ia mendapati mereka berdua masih tampak lesu seperti sebelumnya. Mereka berdua duduk di depan TV yang menyala tetapi pikiran mereka menerawang entah kemana, terbukti saat Gladys menanyakan apa yang sedang mereka tonton, mereka kebingungan tidak tahu harus menjawab apa. Gladys lalu mengatakan kepada mereka untuk tetap bersemangat melanjutkan pendidikan karena meskipun ayah mereka tidak memberi mereka topangan dana, Gladys masih bisa mengusahakannya dengan cara lain. Malam itu setelah anak-anaknya tidur, Gladys pun masuk ke kamarnya untuk beristirahat. Ia berbaring di ranjangnya sambil memandang ke langit-langit. Pikirannya berkelana kemana-mana. Ia cemas memikirkan masa depan pendidikan kedua anaknya, ia kesal mengingat Herman yang meskipun sudah diberi kebebasan tetapi malah mengingkari janjinya untuk membiayai kedua anaknya, ia juga dihinggapi kebingungan tentang bagaimana ia harus bersikap terhadap Robby, atasannya. Robby tampak menaruh hati kepadanya sementara Gladys merasa bahwa urusannya dengan cinta sudah selesai. Robby adalah seorang duda berumur lima puluh tahun, istri dan anaknya meninggal dalam kecelakaan pesawat rute Jakarta-Medan pada September 1997. Istrinya adalah seorang pegawai senior di perusahaan distribusi alat berat yang kebetulan harus menghadiri acara kantor di kota Medan, karena bukan acara yang terlalu formal akhirnya ia memutuskan untuk membawa serta anak perempuannya yang berumur dua belas tahun. Namun kecelakaan terjadi dan mereka berdua meninggal dunia. Robby kehilangan istri dan anaknya sekaligus, sehingga menyisakan dirinya sendiri di sini. Hari berganti dan Gladys siap untuk bertemu dengan Kapten Nugroho lagi. Seperti yang ia lakukan kemarin, ia pergi ke kantornya terlebih dahulu untuk mengisi daftar hadir kemudian segera menuju ke kantor Herman. Gladys menunggu cukup lama di ruang tunggu sampai akhirnya bisa bertemu dengan Kapten Nugroho. Sekitar empat puluh lima menit menunggu, barulah ia dipersilakan untuk masuk. “Selamat pagi, Pak.” Kata Gladys ketika memasuki ruangan itu. “Iya mari Bu, silakan duduk.” Balas Kapten Nugroho dengan ramah. Gladys duduk berhadapan dengan Kapten Nugroho. Jantungnya berdegup kencang menanti kabar yang akan diberikan oleh sang Kapten. “Jadi saya akan langsung saja ke pokok permasalahannya, ya.” Kapten Nugroho memulai. Gladys hanya mengangguk dengan sedikit senyuman. “Kemarin saya sudah meminta keterangan dari Serda Herman dan Serda Carlos secara terpisah. Serda Carlos membenarkan keterangan Ibu, karena katanya yang bersangkutan memang berada di tempat kejadian dan menyaksikan sendiri kejadiannya. Sementara untuk Serda Herman ketika dimintai keterangannya mengatakan bahwa saat ini ia sedang membiayai anaknya yang masih balita, sehingga membutuhkan biaya yang besar, sementara istrinya tidak lagi bekerja, dan itulah yang menjadi alasan mengapa ia menolak membiayai kedua anaknya, karena menurut yang bersangkutan anda sebagai ibu dari anak-anak itu memiliki pekerjaan tetap sehingga dinilai mampu untu membiayai mereka,” Darah Gladys mendidih mendengar keterangan dari Herman yang diwakilkan oleh Kapten Nugroho. Hanya karena ia kini memiliki anak yang lain, bukan berarti kedua anak dari pernikahan sebelumnya sudah bukan merupakan tanggung jawabnya lagi. Gladys terus mengomel dalam hatinya. “Saya menyampaikan kepada Serda Herman bahwa ia harus bersikap adil kepada semua anaknya, baik yang dari pernikahan pertama maupun yang kedua. Awalnya yang bersangkutan ngotot pada pendapat awalnya bahwa Ibu dapat membiayai kedua anak Ibu itu, namun saya memberi pandangan kepada yang bersangkutan bahwa terlepas dari ibunya mampu membiayai mereka atau tidak, anak-anak tersebut masih merupakan tanggung jawab dari yang bersangkutan. Sehingga yang bersangkutan akhirnya bersedia untuk membuat surat pernyataan ini,” Kapten Nugroho membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan selembar kertas. Ia menyerahkan kertas itu kepada Gladys untuk dibaca. Ternyata itu adalah sebuah surat pernyataan yang dibuat oleh Herman, yang menerangkan bahwa ia bersedia menyerahkan lima puluh persen dari gajinya setiap bulan kepada anak-anak dari pernikahannya dengan Gladys. Gladys senang bukan kepalang ketika membaca surat itu. Setiap bulan Dina atau Oscar berhak untuk datang mengambil gaji tersebut di bagian keuangan. Kapten Nugroho dan Serda Carlos ikut menandatangani surat itu dalam kapasitas sebagai saksi. “Ibu boleh membawa pulang surat ini, kami sudah memiliki surat aslinya di sini dan salinannya ada di bagian keuangan juga,” Kapten Nugroho mempersilakan. Setelah mengucapkan terima kasih dan berpamitan, Gladys meninggalkan kantor itu. Ia pulang dengan hati yang sangat lega. Oscar dan Dina tidak perlu mencemaskan biaya pendidikan mereka lagi setelah hari ini. Hak mereka telah mereka dapatkan kembali. Ia tidak sabar untuk memberitahukan hal ini pada kedua anaknya. Gladys bekerja di kantor dengan sangat serius hari itu. Ia bekerja tanpa henti sejak ia kembali dari kantor Herman sampai waktu pulang tiba. Ia bahkan melewatkan jam istirahat makan siang karena ia sangat ingin pulang tepat waktu. Tepat pukul 17.00, ia langsung menandatangani daftar pulang pegawai dan berlari meninggalkan kantor menuju rumah. Begitu tiba di rumah, ia melihat Dina dan Oscar sedang bermalas-malasan di depan TV. “Anak-anak, mama sudah pulang…” kata Gladys dari ambang pintu. “Selamat sore, Ma…” sapa Dina dan Oscar bersamaan dengan tidak bersemangat. “Mama punya kabar gembira untuk kalian, tapi karena kalian kelihatannya tidak bersemangat, mama tidak jadi bilang ya,” goda Gladys untuk memancing mood kedua anak tersebut. Dina bangkit dari kursi dan mendekati ibunya, “Kabar gembira seperti apa?” Gladys tersenyum lalu menggoda anak-anaknya lagi, “Haruskah mama mengatakannya?” Oscar memalingkan pandangannya dari TV dan menoleh pada ibunya, “Kalau tidak mau, tidak usah Ma, kita sudah lama tidak menerima kabar baik, setiap hari hanya kabar buruk saja yang kita terima, kan? Jadi kalau memang tidak ada kabar baik, ya tidak usah memancing-mancinglah,” Gladys sedikit terkejut dengan reaksi anak remajanya itu. Oscar yang kini berumur empat belas tahun dan akan merayakan ulang tahunnya yang ke lima belas pada bulan Agustus yang akan datang memang tampak berbeda belakangan ini. Ia mengalami pubertas yang sedikit terlambat dari anak-anak kebanyakan. Ia bahkan belum akil balig hingga usianya yang hampir lima belas tahun. “Baiklah, mama akan memberitahu kalian sekarang,” Mata Dina menyiratkan bahwa ia sebenarnya sangat penasaran. Gladys membuka tas yang dibawanya dan mengeluarkan selembar surat dari sana. “Biaya pendidikan kalian sudah aman, Kapten Nugroho berhasil membujuk papa untuk membiayai kalian sehingga kalian tidak perlu takut lagi tidak bisa melanjutkan sekolah,” “Yeeeeeeeeesssss…” Dina dan Oscar kompak bangkit dari kursi mereka dan bersorak. Gladys merasa sangat bahagia melihat pemandangan seperti itu. Ia hampir tidak ingat kapan terakhir kali ia melihat kedua anaknya sebegitu gembiranya. “Surat apa yang mama bawa itu?” Tanya Oscar. “Itu surat pernyataan papa, yang mana ia mengatakan kalau ia akan memberikan lima puluh persen dari gajinya setiap bulan kepada kalian, dan kalian berdua boleh pergi mengambil uangnya di kantor papa pada setiap tanggal gajian,” Hal yang Gladys cemaskan selama dua minggu terakhir ini telah menemukan akhirnya. Ia tidak perlu lagi mengkhawatirkan biaya pendidikan kedua anaknya karena sekarang tidak hanya ia sendiri yang harus menanggung biaya itu. Belakangan ini Gladys memang sudah tidak terlalu memikirkan tentang perselingkuhan Herman lagi. Ia sudah lebih banyak memfokuskan waktu dan tenaganya untuk anak-anaknya dan juga pekerjaannya. Kini ia telah menjadi ASN golongan II-D. Ia masih memiliki setidaknya sebelas tahun kesempatan untuk berkarir sebelum akhirnya pensiun. Ia ingin fokus bekerja dengan lebih baik, sehingga ia bisa pensiun di golongan yang lebih tinggi lagi. Ia bahkan telah membuat kalkulasi sendiri bahwa ia masih seorang ASN aktif jika Dina berhasil menyelesaikan kuliahnya dalam waktu empat tahun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD