Mama, Apa Ini Sudah Berakhir?

3876 Words
Gladys masuk ke dalam bangunan kantor polisi tersebut dan ia disambut oleh dua orang polisi yang tengah berpiket. Dari lencana yang mereka gunakan, terlihat bahwa mereka berpangkat Brigadir Dua (Bripda). Di baju seragam mereka tertulis nama kedua anggota polisi itu, yang satu bernama Alex dan satu lagi bernama Prastowo. Mereka menerima kedatangan Gladys pada malam itu tanpa merasa ada yang janggal. Awalnya mereka berpikir bahwa Gladys adalah orang yang sedang tersesat sehingga ia mampir ke kantor polisi pada dini hari seperti itu, sampai akhirnya Gladys menjelaskan semuanya. “Saya baru saja melakukan penyerangan Pak,” kata Gladys sambil menunduk. Kedua anggota polisi itu saling menatap satu dengan yang lain seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Di depan mereka duduk seorang wanita bertubuh kurus yang umurnya sekitar empat puluh tahunan dan mengatakan hal seperti itu, sungguh mengejutkan. “Silakan ibu menceritakan kejadiannya secara lengkap kepada kami,” Bripda Alex  mempersilakan Gladys untuk menjelaskan. Gladys membuka tas selempang yang dibawanya dan mengeluarkan pisau cutter dari dalam tasnya itu. Di pisau itu masih ada sedikit tetesan darah yang masih basah dan selebihnya sudah mengering dan hanya meninggalkan noda saja. “Ini pisau cutter yang saya gunakan Pak,” katanya sambil meletakkan pisau itu di meja. “Siapa yang ibu serang?” Tanya Bripda Prastowo. “Selingkuhan suami saya,” Cerita itu kemudian menjadi masuk akal bagi kedua anggota polisi tersebut. Mereka lalu mengajak Gladys masuk ke ruangan yang letaknya lebih ke dalam untuk diambil keterangannya dengan lebih lengkap dan dibuatkan berita acara. Gladys menceritakan rentetan kejadian pada malam itu dengan sangat detail dan sejujur-jujurnya. Setelah dua jam menggali keterangan dari Gladys, mereka akhirnya mengizinkan Gladys untuk pulang, dengan pertimbangan bahwa Gladys memiliki dua orang anak yang ditinggal di rumah tanpa pengawasan orang dewasa, serta Gladys juga sudah memberikan alamat tempat tinggal dan kantornya sehingga polisi akan mudah untuk menemukan Gladys apabila ada laporan yang masuk dari pihak korban dan Gladys dibutuhkan untuk pemeriksaan lanjutan. Pisau cutter yang digunakan Gladys juga telah disita oleh polisi sebagai barang bukti.   Gladys tiba rumah dan mendapati kedua anaknya belum bangun padahal saat itu jam telah menunjukkan pukul 06.00. Ia lalu membangunkan mereka dan mempersiapkan mereka untuk pergi ke sekolah. Mereka berdua kini tidak lagi diantar jemput untuk sekolah karena dinilai telah cukup besar untuk melakukan itu sendiri. Gladys merasa sangat letih sehingga memutuskan untuk tidak masuk kantor pada hari itu. Setelah Dina dan Oscar berangkat ke sekolah, Gladys masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia menyiram sekujur tubuhnya dengan air tanpa menanggalkan pakaiannya terlebih dahulu. Ia juga membenamkan kepalanya berkali-kali ke dalam bak air. Ia merenungkan apa yang baru saja ia lakukan. Ia menampar pipi kiri dan kanannya berulang-ulang untuk memastikan bahwa ini bukanlah mimpi. Ia tidak mengerti dari mana ia memperoleh keberanian untuk melukai wanita itu dengan brutal dan sesadis itu. Ia kemudian menangis sejadi-jadinya. Ia tidak dapat membayangkan apabila wanita itu mengajukan tuntutan hukum kepadanya dan dia harus mendekam di penjara, bagaimana nasib kedua anaknya. Membayangkan dirinya harus hidup terpisah dari kedua anaknya yang sedang rapuh karena ditinggalkan oleh ayah mereka membuat hatinya semakin sakit. Selesai mandi, Gladys mengganti pakaiannya kemudian naik ke ranjang. Ia ingin beristirahat sejenak sebelum anak-anaknya kembali dari sekolah. Ia belum memejamkan matanya sejak semalam. Ia merasakan kantuk yang luar biasa dan tanpa menunggu lama ia langsung tertidur. Ia terbangun karena mendengar suara ketukan pintu. Mendengar suara dari luar itu, ia bisa menebak siapa yang datang. Itu adalah Dina dan Oscar yang sudah pulang sekolah, dan ia baru ingat kalau ia belum memasak makan siang untuk mereka. Karena kedua anak itu sudah sangat lapar dan tidak sanggup untuk menunggu lagi, akhirnya Gladys hanya membuatkan telur ceplok untuk mereka berdua. Walaupun itu hanya sepiring nasi dan telur ceplok, namun Dina dan Oscar tampak sangat bahagia ketika menyantap makanan itu. Mereka makan dengan lahap sambil sesekali bercanda tawa. Gladys merasa sedikit terhibur melihat tawa kedua anaknya itu.   * * *   Seminggu kemudian, Gladys menerima sebuah surat yang ditujukan kepada dirinya. Surat itu berasal dari kantor Herman dan pimpinan Herman yang bernama Kapten Nugroho meminta Gladys untuk datang menghadap pada waktu yang telah ditentukan. Jantung Gladys berdetak tak karuan ketika membaca surat itu. Ia tahu dengan pasti bahwa ia dipanggil untuk menjelaskan perihal permasalahannya dengan Herman. Setelah kejadian penyerangan yang dilakukannya terhadap Anissa, Gladys lebih banyak mengurung diri di rumahnya. Selain pergi ke kantor, ia memilih untuk tetap berada di rumah saja. Ia bahkan belum menemui Wanda sama sekali selama seminggu terakhir ini. Gladys melakukan hal itu bukan karena ingin menghindar, melainkan ia berusaha agar tidak ada orang lain yang akan terlibat dalam kasus penyerangan ini sehingga harus turut serta dengannya berurusan dengan polisi. Hari pertemuannya dengan pimpinan Herman pun tiba. Pada hari itu Gladys sengaja meminta izin setengah hari dari kantornya dengan menunjukkan bukti surat panggilan tersebut, sebab sepanjang tahun ini Gladys sudah terlalu banyak bolos kerja dengan alasan sakit. Meskipun sebenarnya ia memang sakit, namun sakit yang diderita Gladys adalah akibat dari tekanan batin yang dihasilkan dari perselingkuhan suaminya. Pukul 09.45 Gladys tiba di kantor Herman. Dalam surat panggilannya, ia diharuskan datang menghadap pada pukul 10.00 namun Gladys memilih untuk datang sedikit lebih awal. Ia di minta menunggu di sebuah ruangan rapat yang kosong sebab Kapten Nugroho masih sedang menjumpai tamu yang lain. Dua puluh menit kemudian Kapten Nugroho memasuki ruangan tersebut. Kapten Nugroho adalah seorang perwira senior, berumur kira-kira sebaya dengan Gladys, empat puluh tahunan. Tubuhnya tinggi dan proporsional, berkulit gelap dan potongan rambut sangat pendek khas seorang anggota TNI. Wajahnya tampak ramah, tidak tampak mengerikan sama sekali. “Selamat pagi Ibu Herman,” katanya menyapa Gladys. Gladys yang sedang duduk spontan berdiri dan membalas salam itu. “Selamat pagi, Kapten!” “Silakan duduk, Bu. Tidak usah memanggil saya dengan sebutan demikian, itu hanya untuk para prajurit saja. Ibu bisa memanggil saya dengan sebutan Bapak Nugroho saja,” Katanya. Kapten Nugroho kemudian duduk di kursi yang tepat berada di seberang Gladys. “Ibu pasti sudah paham maksud pemanggilan ibu ke sini, bukan?” “Iya, Pak.” “Kalau begitu, saya ingin mendengar cerita menurut versi Ibu. Saya ingin mendengar semuanya, seluruhnya.” “Baik, Pak.” Gladys pun mulai menceritakan kejadian demi kejadian secara lengkap menurut urutan peristiwanya. Sesekali Gladys menghapus air mata dari sudut matanya sebelum air mata itu sempat menetes. Ia tahu bahwa ini bukanlah situasi dan kondisi yang tepat baginya untuk menangis. Meskipun Kapten Nugroho tampak ramah dan tidak ada tatapan mengintimidasi dari matanya terhadap Gladys tetapi Gladys berusaha untuk menceritakan setiap kejadian dengan sangat rasional. “Jadi seperti itu kejadiannya, Pak.” Kata Gladys menyudahi penjelasannya. Kapten Nugroho tampak mengusap dagunya dengan jari beberapa kali, barangkali sedang mencoba memahami penjelasan Gladys. “Jadi menurut penjelasan Ibu barusan, Serda Herman sudah meninggalkan rumah sejak Natal 1998?” tanyanya untuk memastikan. “Iya, benar Pak.” “Wah berarti tahun ini sudah hampir dua tahun ya? Dan yang menjadi pertanyaan saya mengapa Ibu tidak melaporkan hal itu ke atasan langsung Serda Herman?” “Saya tidak ingin merusak karir suami saya, Pak.” Jawab Gladys dengan sedih. “Sekarang apa Ibu tahu bagaimana saya bisa mengetahui hal ini?” Gladys tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala. “Saya dihubungi oleh pihak kepolisian,” Gladys terkejut mendengar jawaban dari Kapten Nugroho. “Mereka belum menerima laporan dari pihak korban, bahkan sampai seminggu setelah kejadian. Maka mereka menghubungi kami dengan maksud agar kami melakukan mediasi saja secara internal agar masalah ini tidak perlu diproses secara hukum,” “Sekarang saya ingin bertanya, apa Ibu ingin berpisah dari Serda Herman?” “Tentu saja tidak, Pak. Saya ingin mempertahankan pernikahan saya namun suami saya yang mungkin tidak menginginkan hal yang sama,” “Jadi alasan Ibu tetap bertahan adalah…” Tanya Kapten Nugroho sambil mengangkat salah satu alisnya. “Agar anak-anak saya dapat melanjutkan pendidikan mereka, Pak.” Jawab Gladys sambil menundukkan kepala, “Saya hanya seorang ASN golongan II-B, gaji saya sendiri tentu tidak cukup untuk membiayai pendidikan bagi dua orang anak. Herman sudah meninggalkan rumah selama hampir dua tahun dan selama itu pula dia tidak membiayai mereka sama sekali, padahal ia masih berstatus sebagai suami saya. Bagaimana situasinya kelak jika saya meminta cerai? Herman mungkin akan merasa terbebas dari tanggung jawabnya untuk membiayai kedua anaknya,” “Menurut saya itu tidak mungkin terjadi, Bu. Serda Herman terlihat cukup bertanggung jawab, tidak mungkin ia menelantarkan anak-anaknya sampai sedemikian jahatnya,” Kapten Nugroho membantah pernyataan Gladys dengan halus. “Saat berkumpul bersama rekan-rekannya ia selalu membahas tentang kedua anaknya. Menurut saya ia adalah seorang ayah yang sangat perhatian,” Hati Gladys tergelitik mendengar perkataan itu. Orang luar yang tidak tahu apa-apa kini seakan ikut menghakiminya dan malah membela Herman. Gladys jadi bertanya-tanya dalam hatinya, citra diri macam apa yang dibangun oleh Herman di luar sana sehingga bahkan atasannya menganggap ia orang baik. Gladys sangat muak mendengar hal itu. “Saya akan berbicara dengan Serda Herman hari ini juga. Saya meminta Ibu untuk kembali lagi kemari pada besok hari di jam yang sama. Saya akan melakukan mediasi untuk Ibu dan Serda Herman, semoga ini dapat membantu.” “Baik, Pak. Terima kasih atas perhatian anda,” Gladys berpamitan dan langsung bergegas kembali ke kantornya setelah terlibat pembicaraan selama hampir dua jam. Ia benci ketika mengingat besok ia harus kembali ke sana lagi. Gladys berjalan cepat menuju ke kantornya karena teringat akan pekerjaannya yang pasti sudah menumpuk di mejanya. Ia menggaruk kepalanya dengan kesal, karena ia merasa mungkin ia harus bekerja lembur hari ini.   Begitu ia tiba di kantor, rekan-rekan kerjanya juga baru saja kembali dari istirahat makan siang. Gladys baru ingat bahwa ia melewatkan makan siangnya hari ini. Perutnya sedikit keroncongan tetapi jika ia harus keluar untuk makan siang dulu maka pekerjaannya akan selesai lebih sore lagi. Akhirnya ia memilih untuk mengabaikan perutnya yang lapar itu. “Kak Gladys, baru balik juga ya?” sapa Marinka, rekan satu ruangan Gladys yang baru kembali dari makan siang. Marinka adalah ASN baru, umurnya baru dua puluh tahunan. “Iya, Rin.” Jawab Gladys singkat sambil mulai memeriksa berkas-berkas di mejanya. Ruangan sedikit gaduh karena para pegawai satu per satu memasuki ruangan dan langsung mengobrol satu dengan yang lain. Kemudian Marinka melanjutkan perkataannya, “Kak Gladys, enak ya punya suami anggota TNI. Pasti keren kalau punya suami seorang tentara,” Ucapan Marinka sontak membuat seisi ruangan menjadi hening seketika. “Apa aku salah bicara ya?” Tanya Marinka, pelan. “Marinka kembali bekerja!” kata Robby, sang atasan, untuk menyudahi suasana canggung di ruangan itu. Marinka memang belum mengetahui keadaan Gladys yang sebenarnya. Ia hanya tahu Gladys bersuamikan seorang anggota TNI dan telah memiliki dua orang anak. Berbeda dengan rekan lain yang telah bekerja bersama dengan Gladys sejak lama. Mereka telah paham kondisi rumah tangganya, ada beberapa hal yang mereka dengar langsung dari mulut Gladys sendiri dan beberapa mereka dengar dari gossip yang beredar. Pukul 17.00 kantor mulai sepi ditinggal para pegawai. Gladys tampak masih bekerja dengan serius. Ia tidak berbicara sepatah kata pun sejak tadi setelah ia selesai berbicara dengan Marinka. “Gladys, tidak apa-apa jika itu tidak selesai hari ini,” suara Robby memecah keheningan di ruangan yang telah sepi itu. “Pak Robby, maaf sebelumnya. Tapi besok saya mau izin keluar lagi, boleh ya Pak?” “Urusan yang tadi belum selesai ya?” Robby balik bertanya. “Ya begitulah, Pak.” “Baik, tidak apa-apa.” “Itulah kenapa saya harus menyelesaikan semua pekerjaan hari ini meskipun saya harus lembur. Soalnya kalau ditunda sampai besok, maka pekerjaan saya akan sangat menumpuk Pak,” kata Gladys memberi penjelasan. “Kalau begitu saya bantu ya? Biar kamu bisa lebh cepat selesai,” Robby menawarkan. “Tidak usah Pak, bapak bisa pulang lebih dulu tanpa harus menunggu saya selesai,” Gladys menolak tawaran atasannya itu dengan halus. “Jangan sungkan, saya bantu saja biar kamu bisa cepat pulang untuk menyiapkan makan malam bagi Oscar dan Dina,” Mendengar itu Gladys menjadi tidak bisa menolak lagi. Ia teringat akan Dina dan Oscar yang mungkin sebentar lagi akan mencari-cari dirinya yang belum pulang untuk menyiapkan makan malam bagi mereka. Dengan bantuan dari Robby, beberapa berkas pekerjaan yang tersisa di meja Gladys selesai dalam waktu satu jam. Gladys dan Robby berjalan keluar kantor bersamaan. Gladys mengucapkan terima kasih kepada atasannya itu lalu berpamitan dan pulang. Ia sangat lega pekerjaannya untuk hari ini berhasil ia selesaikan sebelum malam datang. Begitu tiba di rumah, Gladys langsung mengeluarkan beberapa bahan makanan dari kulkas dan memasaknya untuk makan malam. Oscar dan Dina menunggu di meja makan dengan tidak sabar, berkali-kali mereka menanyakan pada Gladys apa makanannya masih lama atau tidak. Selesai makan malam, ia menemani kedua anaknya mengerjakan beberapa tugas dari sekolah sebelum akhirnya mengantar mereka ke tempat tidur. Malam itu Gladys tidur lebih cepat dari biasanya. Tidak biasanya ia bisa tertidur cepat. Hampir dua tahun ini ia berjuang melawan insomnia yang sangat parah.   Hari pun berganti. Gladys yang telah beristirahat dengan cukup kini siap untuk menghadapi hari. Ia datang lebih awal ke kantor. Ia memeriksa beberapa pekerjaannya sebelum meninggalkan kantor untuk kembali menghadap atasan Herman sesuai perjanjian kemarin. Seperti biasa Gladys selalu tiba lebih awal dari jam yang telah ditentukan. Saat tengah menunggu di teras kantor Herman, ia melihat dari kejauhan Herman tengah berjalan di sisi bangunan yang lain. Gladys menutup matanya untuk sesaat dan menarik napas panjang lalu menghembuskannya lagi. “Aku akan merasa lebih baik setelah hari ini, bertahanlah sedikit lagi, ini sudah hampir berakhir.” kata Gladys dalam hati. Tidak lama kemudian ia dipersilakan masuk ke ruangan Kapten Nugroho. Beberapa menit setelah ia masuk, Herman pun melapor untuk masuk. Mereka kini dipertemukan dalam satu ruangan untuk di mediasi. Kapten Nugroho memulai pembicaraan, “Jadi kemarin saya sudah mendengar keseluruhan cerita ini menurut versi kalian masing-masing. Serda Herman menghendaki perceraian, namun Ibu Herman menghendaki hal yang sebaliknya. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa tidak mudah bagi seorang prajurit untuk mengurus perceraian. Beberapa prosedur administratif terkait pengurusan surat izin harus dilakukan sebelum benar-benar membawa masalah ini ke Pengadilan Negeri.” Gladys dan Herman berada di ruangan yang sama namun duduk saling berjauhan dan enggan untuk saling menatap satu dengan yang lain. Gladys takut untuk menatap suaminya itu, sebab itu mungkin akan membuatnya menangis. “Kalau saya secara pribadi, saya tidak menghendaki adanya perceraian di lingkungan prajurit yang saya pimpin. Namun semuanya saya serahkan kembali kepada anda berdua yang menjalaninya. Saya ingin mendengar dari Serda Herman terlebih dahulu, bagaimana pendapat anda?” “Siap, Kapten! Saya sudah mantap ingin bercerai dan bersedia menjalankan semua prosedur administratifnya,” jawab Herman. Kapten Nugroho mengernyitkan dahi sambil mengusap dagunya beberapa kali, “Lalu bagaimana menurut Ibu Herman?” tanyanya pada Gladys. “Jawaban sama masih sama seperti kemarin, Pak, saya tidak ingin bercerai,” “Wah kalau begitu tidak akan ada titik temu untuk masalah ini,” Kapten Nugroho memotong perkataan Gladys. “Izin untuk berbicara, Kapten!” kata Herman. “Izin diberikan, silakan.” “Sebenarnya saya juga berada dalam posisi yang sulit karena pihak korban dan keluarganya bersikeras ingin mengajukan tuntutan hukum. Saya masih berusaha untuk membujuk mereka agar bersedia menyelesaikan kasus ini dengan cara kekeluargaan saja. Saya tidak ingin masalah ini sampai ke kepolisian,” “Tapi Ibu Herman sudah membawa masalah ini ke kepolisian lebih dulu di malam setelah kejadian,” jawab Kapten Nugroho. “Saya mengatakan kepada korban dan keluarganya bahwa saya bersedia untuk bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa korban, bahkan jika saya harus menerima sanksi hukum disiplin militer dari kesatuan, saya tidak keberatan. Saya tidak ingin Ibu dari anak-anak saya harus berurusan dengan polisi, apalagi untuk hal yang memalukan seperti ini,” Gladys merasa darahnya berdesir mendengar perkataan Herman yang bersedia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya, seakan-akan Herman adalah pahlawan yang ingin menolong Gladys dalam situasi seperti ini. Meskipun Gladys sendiri tahu bahwa yang dipentingkan Herman sebenarnya adalah Anissa bukan dirinya. Herman hanya sedang membangun citra diri di depan Kapten Nugroho, bukan ingin menyelamatkannya dari rasa malu. “Bagaimana bisa anda berkata demikian dalam posisi anda seperti ini? Anda adalah laki-laki yang masih terikat perkawinan, sementara wanita simpanan anda kini mengandung dan istri anda melakukan penyerangan dengan sengaja. Tanggung jawab macam apa yang bisa anda berikan?” Herman terdiam mendengar sanggahan dari Kapten Nugroho. Tampaknya hanya Kapten Nugroho-lah yang masih berpikir rasional di ruangan itu. “Tapi Pak, saya akan membiarkan suami saya bertanggung jawab terhadap wanita itu.” Jawaban Gladys itu membuat Herman dan Kapten Nugroho terkejut. Seketika pandangan mereka berdua langsung tertuju pada Gladys. “Suami saya adalah seorang prajurit, namanya akan tercemar jika kami mengurus perceraian dan penyebab di balik perceraian kami terkuak di pengadilan. Sehingga saya memutuskan untuk tetap terikat pernikahan dengannya meskipun ia memilih untuk hidup bersama wanita lain,” “Saya masih belum memahami maksud perkataan anda, bisa anda jelaskan sekali lagi?” Tanya Kapten Nugroho. “Saya tidak akan menghalangi suami saya untuk bertanggung jawab terhadap wanita itu. Saya juga bersedia untuk membuat surat pernyataan dan menandatanganinya jika itu memang diperlukan,” “Baik kalau demikian, saya akan memfasilitasi anda berdua untuk membuat surat kesepakatan tersebut dan saya sendiri yang akan menjadi saksinya.” Selanjutnya mereka membahas tentang poin-poin dalam surat kesepakatan. Dari pembahasan itu diperoleh kesepakatan bahwa Gladys akan membebaskan Herman untuk bertanggung jawab terhadap Anissa dan calon bayi mereka, bahkan apabila Herman berniat untuk menikahinya maka Gladys bersedia untuk membuat surat persetujuannya sebagai istri pertama. Sementara Herman harus bertanggung jawab penuh secara finansial terhadap anak-anak dari pernikahannya dengan Gladys. Gladys tidak meminta agar namanya dimasukkan dalam surat kesepakatan itu sebagai pihak yang harus dinafkahi oleh Herman. Ia berpikir bahwa cukup anak-anaknya saja. Tidak ada larangan bagi Herman untuk menemui kedua anaknya itu, kecuali kedua anaknya tersebut yang menolak untuk ditemui maka Herman tidak berhak untuk memaksa mereka. Herman menjelaskan kepada Kapten Nugroho bahwa terdapat perbedaan keyakinan antara dirinya dan Anissa, maka ia mungkin akan berpindah keyakinan saat akan menikahi Anissa. Ia juga telah menjelaskan bahwa ia tidak bisa menikahi Anissa secara sah di mata hukum karena ia masih berstatus suami dari Gladys, sehingga ia hanya akan menikahi Anissa secara agama saja. Menurut Kapten Nugroho apabila sudah ada persetujuan dari istri pertama maka instansi tidak berhak untuk menghalang-halangi. Gladys pun menawarkan untuk langsung sekaligus membuat surat izin menikah untuk Herman pada hari itu juga. Meskipun hal ini masih membuat Herman dan Kapten Nugroho bertanya-tanya, namun mereka tetap menyelesaikan surat-surat tersebut pada hari itu juga. Hari hampir sore ketika semua urusan antara Gladys dan Herman selesai. Gladys berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada Kapten Nugroho karena telah membantunya mengakhiri semua kepedihannya selama dua tahun terakhir ini. Saat Gladys beranjak meninggalkan kantor, Herman hanya menatapnya dengan kebingungan. Herman tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada Gladys yang telah memberinya sebuah kebebasan yang tidak ternilai harganya. Kapten Nugroho bahkan tidak habis pikir bagaimana bisa ada seorang istri dengan hati sebesar itu. Ia bahkan menyuruh Herman untuk mempertimbangkan kembali keinginannya untuk mencampakkan wanita itu. Dalam perjalanan kembali ke kantor, matahari sore menyorot tepat ke arah Gladys. Gladys menghentikan langkahnya, menutup matanya sejenak dan menarik napas panjang lalu menghembuskannya, “Semoga ini yang terakhir, aku sudah tidak sanggup jika harus bertarung lagi.” Kata Gladys dalam hatinya lalu kembali melanjutkan perjalanannya menuju kantor. Malam harinya saat Gladys kembali dari kantor, ia mendapati kedua anaknya sedang makan malam dan ada Wanda juga di sana. Ternyata Oscar dan Dina pergi mencari ibu mereka ke rumah Wanda karena sudah waktunya makan malam dan Gladys masih belum juga pulang, sehingga Wanda berinsiatif untuk mengantarkan mereka pulang dan memasakkan makanan untuk mereka berdua. Gladys merasa sangat lega setelah tahu bahwa anak-anaknya tidak kelaparan karena dirinya yang terlambat pulang kantor. “Maaf sudah membuatmu kerepotan ya,” kata Gladys kepada Wanda. “Tidak apa-apa, tapi maaf aku hanya memasakkan nasi goreng saja untuk mereka. Di rumahku hanya ada semur jengkol sementara Oscar dan Dina katanya tidak pernah makan itu, jadi karena bingung harus dibuatkan apa, aku buatkan saja nasi goreng,” “Terima kasih atas bantuanmu,” “Tidak apa-apa, aku selalu senang membantumu. Oscar dan Dina boleh datang dan meminta bantuanku kapan saja, aku selalu siap membantu,” Malam itu setelah Oscar dan Dina makan malam, Gladys meminta mereka untuk pergi belajar di kamar mereka karena ia masih ingin mengobrol berdua dengan Wanda. Setelah kedua anaknya masuk ke kamar, ia dan Wanda berbincang tentang hal yang dilaluinya dalam dua hari terakhir ini. Wanda sangat terkejut dengan keputusan yang diambil oleh Gladys, namun ia tetap mendukung Gladys apapun keputusan yang diambil olehnya. Dari dalam kamar Dina dan Oscar menguping pembicaraan antara ibunya dan Wanda. Setelah Wanda pulang, Gladys masuk untuk memeriksa keadaan kedua anaknya di kamar. Dina dan Oscar datang mendekati ibunya. “Ma, apa benar ini sudah berakhir?” Tanya Dina. “Kalian pasti menguping pembicaraan mama dan Tante Wanda ya?” Gladys balik bertanya. Oscar dan Dina tidak menjawab, mereka berdua hanya mengangguk perlahan. “Baik, mama akan jelaskan.” Dina dan Oscar memasang wajah serius, mereka siap untuk mendengarkan penjelasan dari ibunya. “Mama dan papa sudah sepakat untuk menjalani kehidupan masing-masing. Kami memilih untuk berpisah untuk kebaikan bersama, supaya di masa depan mama dan papa tidak saling menyakiti lagi,” “Tapi kan mama tidak pernah menyakiti papa,” Oscar menyela perkataan Gladys. “Iya memang, tapi jika mama dan papa tetap bertahan dalam situasi seperti ini, tidak menutup kemungkinan di kemudian hari mama juga bisa menyakiti papa,” jawab Gladys. “Mama tidak ingin itu terjadi. Mama ingin dikenang sebagai istri yang baik untuk papa, makanya mama memilih untuk membiarkan papa memilih jalan yang dia inginkan. Dia tetap papa kalian, jadi mama harap kalian tidak membenci papa ya,” Dina menundukkan kepala, air matanya menetes ke pangkuannya, “Jadi papa tidak akan pernah kembali lagi kesini?” tanyanya. Gladys tidak menjawab pertanyaan Dina itu, ia hanya mengangkat bahunya sebagai isyarat bahwa ia pun tidak tahu. “Yang penting ini semua sudah berakhir kan, Ma?” Tanya Dina kemudian. Gladys mengangguk pelan. Ia membuka tangannya lebar-lebar pertanda ia ingin memeluk kedua anaknya. Oscar dan Dina bergegas masuk ke dalam pelukan ibunya. Mereka bertiga berpelukan untuk sesaat. “Yang penting mama tidak lagi menangis di malam hari,” bisik Oscar dengan air mata yang berlinang di pipinya. “Tenang saja nak, ini semua sudah berakhir kok.” Jawab Gladys. Gladys mencium dahi Dina dan Oscar secara bergantian. Ia menghapus air mata kedua anaknya itu dan meyakinkan mereka bahwa mereka akan baik-baik saja. “Kita pasti akan baik-baik saja meski tanpa ada papa di sini, kita sudah bertahan sejauh ini, jadi kita juga pasti mampu bertahan untuk seterusnya.” Kata Gladys untuk menyemangati kedua anaknya. Malam itu Gladys memilih untuk tidur di kamar Dina dan Oscar. Gladys tidur satu ranjang dengan Dina, sementara Oscar tidur sendiri di ranjangnya. Ia berharap semua mimpi buruk itu sudah berakhir setelah ia menandatangani surat kesepakatannya bersama Herman siang tadi. Gladys berharap Herman tidak akan mengingkari kesepakatan yang telah ia tanda tangani di depan Kapten Nugroho tentang memenuhi kewajibannya untuk membiayai pendidikan Oscar dan Dina. Sebab hanya itulah satu-satunya yang menjadi permintaan Gladys kepada Herman. Ia tidak meminta hal lain. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia cukup tangguh untuk melewati semua ini sendiri. Tidak ada lagi bahu yang kuat untuknya bersandar seperti di tahun-tahun yang telah berlalu, sehingga satu-satunya pilihan yang ia miliki saat ini adalah menjadi lebih kuat demi kedua anaknya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD