Menanti Kejujuran mama

2081 Words
Bab 63 Menanti Kejujuran Mama   Dina dan Oscar melewati malam yang berat. Mereka sama-sama tidak bisa tidur karena memikirkan kondisi kesehatan ibu mereka. Rasa takut akan kehilangan sosok ibu dan rasa cemas jika nanti ibu mereka tidak mau menerima saran yang mereka berikan adalah dua hal utama yang menganggu pikiran kedua kakak beradik itu. Dina duduk termenung di ranjang sementara ibunya tertidur pulas di sampingnya. Demikian halnya dengan Oscar, ia duduk semalaman di dekat jendela kamarnya sambil menatap bulan di langit yang berangsur-angsur menghilang menandakan hari akan segera pagi. Dina terus merubah posisinya, sesekali ia duduk sambil bersandar ke sandaran kepala ranjangnya itu namun di menit berikutnya ia memilih untuk berbaring sambil memejamkan matanya. Ketika Gladys terbangun, Dina langsung berpura-pura seperti sedang tertidur. Gladys pun mengira Dina masih tertidur. Ia lantas keluar dari kamar dan mulai mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang biasa ia kerjakan di pagi hari sebelum berangkat ke kantor, seperti membersihkan rumah, menyiram bunga-bunga miliknya, serta menyiapkan sarapan pagi untuk mereka semua. Oscar bisa mendengar suara berisik yang berasal dari luar kamarnya. Ia tahu kalau itu pasti ibunya yang telah mulai mengerjakan pekerjaan rumahnya di pagi hari. Ia pun bergegas keluar dari kamarnya dan menemui ibunya. “Oscar bantu ya, Ma?” Oscar menawarkan diri. “Lho sudah bangun?” Gladys terkejut melihat Oscar yang sangat tidak biasa bangun di hari sepagi itu. “Oscar terbangun sejak subuh dan sudah tidak bisa tidur lagi, Ma.” Jawab Oscar. “Oh, begitu ya.” “Apa yang bisa Oscar bantu, Ma?” “Tolong siramkan tanaman mama ya, tapi jangan sampai airnya terlalu banyak ya nanti bunganya mati.” Perintah Gladys dengan lembut. Oscar pun mulai menyiram tanaman ibunya yang berada di halaman dengan selang. Sementara ia menggunakan gembor untuk menyiram tanaman yang ada di teras rumah. Setelah itu ia kembali masuk ke dalam rumah dan mendapati ibunya sedang menyapu di sana. “Oscar yang sapu ya, Ma?” Oscar kembali menawarkan diri. “Rajin sekali ya hari ini!” Balas Gladys sambil menyerahkan sapu yang dipegangnya ke tangan Oscar. Oscar pun melanjutkan pekerjaan ibunya untuk menyapu di dalam rumah sementara ibunya pindah ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi untuk mereka semua. “Apa aku tanyakan sekarang saja ya?” Tanya Oscar dalam hati. Jantung Oscar berdegup kencang. Ia merasa begitu gugup kala itu. Oscar ingin segera menanyakan hal yang menjadi pembahasannya dengan Dina semalam namun ia terlalu takut untuk melakukannya sendiri jika tidak ada Dina yang mendampinginya. “Mama terlihat sangat sehat. Apa Dina yang salah membacanya ya? Mama sama sekali tidak terlihat seperti orang sakit kok, akan tetapi selama ini mama memang ahli dalam menyembunyikan keadaan sebenarnya dari kami. Dia meledak hanya di saat ia benar-benar sudah tidak bisa menahannya lagi, selebihnya selama ia masih sanggup ia akan bersikap seperti tidak sedang terjadi apa-apa.” Pikir Oscar lagi. Oscar menyelesaikan pekerjaannya dan mengurungkan niatnya untuk menanyakan sendiri kepada ibunya mengenai hal yang sedang menjadi tanda tanya besar dalam pikirannya itu. “Mungkin memang benar aku harus melakukan ini seperti rencana semula bersama Dina. Aku tidak bisa melakukannya sendiri, nanti sajalah bersama Dina setelah pulang kantor!” Kata Oscar dalam hatinya.   Hari itu terasa berjalan sangat lambat bagi Dina dan Oscar. Dina pergi ke kampus sedangkan Oscar pergi ke kantor. Namun mereka berdua memikirkan hal yang sama. Jam kuliah Dina telah selesai tetapi ia masih menunggu kedatangan Helen untuk pulang bersamanya. Ketika Dina sedang merenung di bawah pohon ketapang, tempat duduk favoritnya, Helen yang ditunggu pun muncul. “Din…” panggil Helen. Dina pun tersadar dari lamunannya dan segera menatap ke sumber suara itu. Helen masih sedang berjalan dan berjarak beberapa meter lagi untuk sampai kepadanya. Begitu tiba di tempat Dina berada, Helen segera duduk di samping Dina. “Bagaimana kabarmu hari ini, sudah merasa lebih baik?” Tanya Helen sambil menggandeng lengan Dina yang besar, yang jauh lebih besar dari lengannya itu. “Sekarang sudah lebih terkendali sih Len, kemarin itu yang aku merasa sangat syok.” Jawab Dina. Helen mengangguk. “Lalu apa kamu sudah menanyakannya langsung kepada mamamu?” “Sayangnya belum,” Jawab Dina dengan lirih. “Aku dan kakakku berencana untuk menanyakannya malam ini saja. Kemarin aku benar-benar tidak bisa mengendalikan diriku, sehingga memang belum memberanikan diri untuk menanyakannya langsung kepada mamaku.” Helen mengusap punggung Dina. “Semoga bisa segera menemukan jalan keluar ya!” “Terima kasih, Len.” Balas Dina. “Oh ya kemarin kamu di antar pulang sampai ke rumah oleh Kevin?” Tanya Dina. Pertanyaan Dina menciptakan satu dentuman keras seperti suara ledakan bom di benak Helen. Ia langsung teringat hal yang terjadi kemarin antara dirinya dan Kevin. “Hubungan persahabatan antara kita berdua dengan Kevin kan sudah merenggang setelah liburan tutup semester kemarin. Aku kaget kemarin dia ikut muncul bersamamu.” Ujar Dina lagi. “Katanya dia memperhatikan tingkahku yang gelisah selama di kelas, makanya saat kelas selesai dan aku hendak menemuimu, dia menanyakan apa yang sedang terjadi kepadaku. Aku menjelaskan bahwa bukan aku yang sedang memiliki masalah melainkan kamu. Aku hanya gelisah karena ikut merasakan kesedihanmu. Dan setelah itu dia ikut bersamaku untuk menemuimu.” Terang Helen. “Lalu setelah mengantarku pulang, apa yang kalian lakukan?” Tanya Dina lagi. Pertanyaan Dina terasa seperti sebuah pukulan keras yang diarahkan langsung ke kepala Helen. Helen melirik ke arah Dina yang ternyata sedang menatap kepadanya. “Tatapan mata seperti itu lagi, sepertinya aku bisa mengendus sesuatu!” Ujar Dina. “Hey… Apa maksudmu?” Tanya Helen, berpura-pura tidak mengerti. “Kalian pasti bermesraan lagi!” Balas Dina, tanpa berbasa-basi lagi. “Kok gitu sih ngomongnya?” Protes Helen. “Memangnya kamu pikir aku tidak tahu kalian?” Ujar Dina. “Bukan begitu sih yang sebenarnya terjadi kemarin.” Helen mulai jujur. “Lantas apa?” Helen hendak memulai ceritanya namun terkesan ragu-ragu. “Dia…” Helen tergagap. “Dia mengatakan kalau ia jatuh cinta kepadaku.” “Whaaaat?” seru Dina tiba-tiba. “Dia berani mengakuinya?” “Dia mengatakan bahwa ia kabur ke Singapore untuk menghindariku. Dia bahkan sudah berencana untuk pindah kuliah ke sana saja agar tidak bertemu denganku lagi. Namun pada akhirnya ia tetap memutuskan untuk kembali karena masih ingin melihatku.” Helen menjelaskan. “Dia benar-benar gila!” balas Dina. Helen mengangguk. “Lalu kamu menolaknya?” Tanya Dina lagi. “Tentu saja. Mana mungkin aku menerimanya, bukan?” “Tetapi meskipun menolak cintanya kamu tetap bermesraan dengannya, kan?” Dina seolah bisa menebak semua yang Helen lakukan kemarin. Dengan enggan, Helen menganggukkan kepalanya. “Ya ampun Helen. Sampai kapan kamu mau begini terus? Sampai kamu benar-benar melakukannya dengan dia?” Omel Dina. “Din, aku…” Helen tidak bisa meneruskan kata-katanya. “Sebenarnya kamu harus menanyakan lagi pada hatimu, kamu mencintai siapa sebenarnya, Jeff atau Kevin.” “Din, ini adalah saat yang berat untukmu. Bisakah kita fokus pada masalahmu saja dan mengesampingkan urusanku itu dulu?” Helen mencoba mengalihkan perhatian Dina. “Tidak. Bagiku urusanmu itu juga tidak kalah penting.” Bantah Dina. “Aku pikir kamu memang harus segera membuat keputusan. Kamu tidak boleh selamanya seperti ini. Kamu saat ini mungkin bisa mengatakan bahwa tidak bisa membalas perasaan cinta Kevin, tapi Len dengan terus bermesraan seperti yang kalian lakukan maka cinta akan muncul dengan cepat. Kamu bisa jatuh cinta kepadanya, meskipun saat ini kamu masih mengatakan tidak, tapi kita tidak tahu bagaiamana nantinya, bukan? Dan cepat atau lambat Jeff akan tahu dan ini akan menjadi masalah besar untuk kalian!” Dina memperingatkan. “Coba kamu pikir lagi, apa alasanmu sampai mau bermesraan dengannya? Aku pikir cukup aneh jika alasannya adalah kamu kesepian karena kurangnya perhatian yang kamu dapatkan dari Jeff. Bagiku itu tidak masuk akal sama sekali. Beda lagi ceritanya jika kamu adalah seorang s*x-addict, tapi kan kenyataannya kamu tidak seperti itu. Kalian bahkan tidak pernah sampai melakukan itu dan kamu sendiri juga menghindari itu. Mungkin dalam hal ini kamu juga sudah melibatkan perasaan. Kamu paham maksudku?” Helen terdiam. “Segeralah membuat keputusan Len!” Tambah Dina. Setelah itu mereka berdua pun buru-buru pulang dengan naik angkot sebelum Kevin mendapati mereka di tempat itu lagi dan menawarkan mereka untuk diantarkan pulang. Di dalam perjalanan pulang, mereka berdua tidak banyak mengobrol. Dina sibuk dengan pikirannya sementara Helen merenungkan apa yang dikatakan oleh Dina tadi. “Jika terus bermesraan dengannya maka aku bisa jatuh cinta kepadanya…” kata Helen dalam hati, mengulangi perkataan Dina sebelumnya. Dina dan Helen pun tiba di tempat di mana mereka akan berpisah karena harus melanjutkan dengan angkot yang berbeda. Setelah saling berpamitan, mereka pun berpisah.   Dina tiba di rumah ketika hari hampir gelap. Ia mengetahui ibu dan kakaknya sudah tiba lebih dulu di rumah hanya dengan melihat ke rak sepatu. Sepatu yang biasa digunakan ibu dan kakaknya untuk pergi bekerja sudah tertata rapi di sana. “Selamat malam…” Dina memberi salam. “Sudah pulang ya?” Gladys membalas salam Dina dari dapur. “Iya Ma.” “Mandi dulu sana, setelah itu kita makan malam bersama.” Suruh Gladys. Tanpa menjawab, Dina segera melakukan sesuai yang diperintahkan oleh ibunya. Selesai mandi, mereka bertiga duduk bersama untuk makan malam. Sepanjang makan malam, Dina dan Oscar terus menerus saling bertukar pandang namun tidak mengucapkan sepatah kata pun. Waktunya hampir tiba. Mereka berdua benar-benar merasa sangat gugup. Begitu selesai makan malam, Dina dan Oscar pergi menonton televisi. Meskipun mereka sebenarnya tidak benar-benar menonton. Sementara Gladys berada di dapur untuk mencuci piring-piring yang tadi mereka gunakan untuk makan malam. “Kak, gimana nih?” bisik Dina. “Siapa yang akan memulainya?” Oscar balas berbisik. “Tentu saja kakak dong!” “Tapi kan kamu yang menemukan hasil pemeriksaan itu.” “Kakak ini gimana sih, semalam kata-katanya beda, sekarang beda lagi. Bukannya semalam kakak sudah setuju kalau kakak yang akan bicara?” Bisik-bisik di antara Dina dan Oscar ternyata telah diperhatikan oleh Gladys. Begitu pekerjaannya selesai, ia pun mendekat dan bergabung bersama mereka. “Apa sih yang sedang kalian bicarakan?” Dina dan Oscar terkejut karena ibu mereka ternyata sudah duduk bersama mereka di tempat itu. Mereka berdua seketika hening dan tidak berbicara lagi. Yang terdengar hanya suara televisi menggema di ruangan itu.   “Ehem…” Oscar tiba-tiba berdeham. “Ma…” Panggil Oscar, kemudian. “Iya.” Jawab Gladys. “Apa mama sedang sakit?” Tanyanya. Gladys tampak terkejut mendengar pertanyaan Oscar itu. “Tidak. Mama baik-baik saja kok. Memangnya mama terlihat sakit ya?” Gladys balas bertanya. Penyangkalan Gladys itu langsung membuat Oscar terpengaruh. Sekarang ia malah berbalik menduga kalau Dina lah yang salah membaca hasil pemeriksaan ibunya. “Ma…” Sekarang giliran Dina. “Iya.” Jawab Gladys. “Jika ada sesuatu yang perlu kami ketahui maka mama bisa memberitahu kami. Tidak perlu ragu-ragu.” “Apa yang harus mama beritahu? Tidak ada apa-apa kok.” Gladys kembali menyangkal. Dina dan Oscar saling berpandangan satu dengan yang lain. Mereka sama-sama tahu kalau usaha mereka kali ini tidak akan berhasil. Dina meninggalkan ruangan itu dan menuju ke kamar. Ia mulai mencari amplop berisi hasil pemeriksaan biopsi milik ibunya namun ia tidak bisa menemukan benda itu lagi. Gladys sepertinya telah memindahkannya dan menyimpannya sehingga Dina tidak bisa menemukannya lagi. Dina pun kembali ke ruang tamu dan duduk di sana bersama ibu dan kakaknya lagi. “Ma, mama sedang sakit dan kami tahu itu!” Kata Dina dengan suara bergetar menahan tangis. Oscar terkejut dengan keberanian Dina mengatakan hal itu ketika ibunya sejak tadi terus mencoba menyangkal ucapan mereka. Gladys tiba-tiba tertawa. “Kamu bicara apa sih, Na?” Kini giliran Dina yang terkejut dengan reaksi yang ditunjukkan oleh ibunya. “Dina sudah lihat sendiri ma…” “Apa yang kamu lihat?” Gladys memotong ucapan Dina sebelum Dina sempat menyelesaikan kalimatnya. “Hasil pemeriksaan kesehatan mama!” Jawab Dina dengan yakin. “Sekarang di mana hasil pemeriksaan itu?” Gladys balik bertanya. “Kemarin ada di kamar, hari ini sudah tidak ada. Mungkin mama yang sudah menyimpannya.” Dina begitu pantang menyerah untuk mencari pengakuan dari ibunya. “Kamu ini ada-ada saja, Na…” Balas Gladys sambil tertawa yang terkesan dibuat-buat. Itu bukan reaksi yang diharapkan oleh Dina dan Oscar dari ibu mereka. Ibu mereka tidak hanya menolak untuk terbuka kepada mereka. Ibu mereka bahkan menganggap mereka sedang mengada-ada. Dina merasa kecewa dengan reaksi yang ditunjukkan oleh ibunya itu. Ia lantas masuk ke kamar dan menutup matanya mencoba untuk tidur saja dengan perasaan kesal dan sedih yang bercampur jadi satu. Sementara itu di ruang tamu, Oscar dan ibunya hanya saling diam dan tidak membicarakan apa-apa lagi setelah itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD