Bab 65
Bermalam Di Rumah Kevin
Dina sekarang berada di kamar tamu di rumah Kevin. Ia memandang sekelilingnya dan masih belum merasa begitu nyaman berada di sana. Kamar tersebut dicat dengan warna putih sementara semua furniture yang ada di dalamnya semuanya seragam berwarna red mahogany, mulai dari ranjang, nakas, meja tulis dan kursinnya, serta lemari pakaian. Tidak banyak barang yang ada di dalam kamar itu. Mungkin mengingat bahwa itu adalah kamar untuk tamu dan selera setiap orang pasti berbeda=beda, sehingga kamar tersebut tidak didekorasi secara berlebihan.
Dina berjalan semakin ke dalam dan dengan penasaran membuka sebuah pintu yang dicat dengan warna putih yang terletak di samping lemari pakaian dan mendapati bahwa ternyata itu adalah pintu menuju ke kamar mandi. Kamar mandi tersebut sudah merangkap kamar kecil. Semua yang ada di dalam situ pun berwarna putih.
Dina berhenti di depan wastafel dan membasuh wajahnya dengan air hangat yang mengalir dari keran yang ia hidupkan. Setelah membasuh wajahnya beberapa kali, ia lantas bercermin.
“Bertubuh gemuk dengan wajah yang tidak cantik, sejak kecil hidup penuh derita, apa masih ada lagi yang akan datang setelah ini?” Tanya Dina kepada bayangan dirinya yang ada di cermin.
Untuk melepas penatnya, Dina memilih untuk segera mandi saja. Ia berjalan menuju ke bawah pancuran dan membiarkan sekujur tubuhnya tersiram air hangat yang membuatnya seketika merasa rileks. Semua perlengkapan mandi bahkan handuk sudah tersedia di sana. Benar-benar mirip dengan hotel, di mana tamu yang datang sudah tidak perlu lagi mencemaskan soal apapun karena semua yang dibutuhkan sudah tersedia.
Selesai mandi ia berpakaian dan duduk di ranjang. Rambutnya masih sedikit basah dan sedang ia keringkan dengan handuk kecil yang ia bawa sendiri dari rumahnya. Tiba-tiba Dina mendengar suara pintu kamar itu diketuk dari luar.
“Silakan masuk.” Jawab Dina.
Yang datang itu adalah Kevin. Ia berdiri di ambang pintu dan tidak melangkah masuk ke dalam kamar itu.
“Sudah selesai mandi ya?” Tanyanya untuk berbasa-basi.
Dina mengangguk dan memberi sedikit senyuman.
“Kenapa tidak mengeringkan rambut dengan hair dryer yang ada di kamar mandi?” Tanya Kevin.
“Aku lebih suka cara manual.” Canda Dina.
“Ya sudah, yuk makan malam di bawah. Atau kamu mau makan malam di sini?” Tanya Kevin lagi.
“Kamu sudah makan malam?” Dina balik bertanya.
“Belum. Makanya aku datang untuk mengajakmu, biar kita bisa makan malam bersama-sama dengan yang lainnya.”
“Ya sudah, aku akan makan di bawah saja. Bersama yang lainnya juga katamu, bersama siapa sih maksudmu? Tapi bersama kamu juga kan ya? Tidak enak kalau aku makan sementara tuan rumahnya tidak makan.”
“Nanti kamu lihat sendiri.” Jawab Kevin sambil mengangguk. Dina mengikuti Kevin dari belakang menuju ke ruang makan yang terletak di lantai pertama rumah itu sementara kamar tamu yang sedang ditempati Dina itu berada di lantai dua.
Para asisten rumah tangga telah selesai menghidangkan makan malam untuk Dina dan Kevin. Di atas meja tersaji beberapa jenis makanan mulai dari yang terbuat dari ayam hingga seafood, serta sayur dan buah-buahan.
“Makanannya banyak sekali!” seru Dina.
“Kamu akan menghabiskan semua ini sendiri?” Tanyanya kemudian.
“Tidak, mereka akan makan bersama kita.” Jawab Kevin sambil menunjuk ke arah para asisten rumah tangga dan supir yang berada di sekitar meja makan.
“Silakan duduk!” Ujar Kevin kepada mereka.
Kevin mulai mengambil makanan yang ingin ia makan, selanjutnya memberi giliran kepada Dina, kemudian yang terakhir adalah para pekerja di rumahnya itu.
“Aku tidak suka makan seorang diri, makanya aku membuat aturan soal meja makan.” Kata Kevin.
“Apa itu?” Tanya Dina.
“Aku selalu ingin ditemani saat makan, khususnya saat makan malam. Papaku hampir tidak pernah makan malam bersamaku, mungkin sesekali saat ia berada di rumah, makanya aku selalu minta ditemani saat makan oleh mereka-mereka ini jika papaku tidak berada di rumah.”
Pekerja yang ada di rumah Kevin malam itu berjumlah empat orang, sehingga ditambah Kevin dan Dina mereka semua berjumlah enam orang. Sementara kursi yang berada di sekeliling meja makan secara kesuluruhan berjumlah dua belas buah. Meja makan di rumah Kevin itu memang berukuran sangat besar, cocok untuk keluarga besar atau makan malam bersama saat acara kumpul keluarga.
Meja makannya pun sangat mewah dengan permukaan marmer berwarna putih s**u yang indah. Demikian halnya dengan kursi-kursi yang ada disekitar meja makan itu. Bagian atasnya di terbuat dari kayu yang dicat dengan warna putih s**u sementara bantalan tempat duduknya berwarna abu-abu terang.
Saat makan malam mereka semua tidak banyak berbicara. Hanya Kevin yang sesekali menanyakan tentang kabar dan pekerjaan mereka sepanjang hari itu. Selesai makan malam, Kevin dan Dina bersama-sama meninggalkan ruang makan itu. Kevin mempersilakan pekerja yang masih ingin melanjutkan makan agar tetap meneruskan makan malamnya dan tidak perlu sungkan.
Mereka kini berada di ruang keluarga yang berada tepat di tengah-tengah dari di lantai dua dan dekat dengan kamar Dina. Di ruangan itu hanya ada dua sofa besar berwarna ivory dan satu unit televisi berukuran sangat besar. Dina memilih untuk duduk di sofa yang berukuran untuk tiga orang sementara Kevin duduk di sofa yang lebih kecil yang berukuran untuk dua orang.
“Kamarmu yang mana, Kev?” Tanya Dina.
“Yang di sana.” Tunjuk Kevin ke sebuah kamar yang memiliki gagang pintu yang berbeda dari kamar yang lain. Kamar itu terletak di ujung belakang bangunan lantai dua, tepat di atas dapur dan memiliki akses tangga sendiri yang langsung menuju ke dapur. Itu adalah tangga yang digunakan oleh Kevin dan Helen untuk naik menuju kamar tersebut beberapa hari yang lalu. Tangga tersebut tidak terlalu besar, sementara tangga utama yang berada di ruang tamu ukurannya lebih besar dan desainnya lebih mewah.
“Menggunakan smart door lock system, ya?” Tanya Dina.
“Begitulah.” Jawab Kevin.
“Kalian menonton TV di sini ya?”
“Tidak juga. Kami hampir tidak pernah menonton TV. Jika ingin menonton film, di sebelah sana ada ruangan home theater.” Katanya sambil menunjuk ke ujung bagian depan lantai dua, tepatnya di atas ruang tamu.
Untuk sesaat mereka berdua saling membisu dan suasana menjadi begitu hening. Dina merasa bahwa ini adalah momen yang tepat untuk menggali tentang perasaan Kevin yang sesungguhnya kepada Helen.
“Kev, boleh aku bertanya sesuatu kepadamu?”
“Tentu.”
“Sesuka apa kamu kepada Helen?”
Kevin menatap tepat ke mata Dina kemudian mengangkat sebelah alisnya.
“Helen pasti sudah menceritakan semuanya kepadamu,” jawab Kevin. “Apa aku masih perlu membuat penjelasan lagi?”
“Oke kalau kamu tidak mau menjawab pertanyaanku.” Dina pun mengalah.
“Apa sangat jelas terlihat kalau aku memiliki perasaan kepadanya? Aku ingin mendengarkan pendapatmu dari sudut pandang orang lain.”
“Kev, orang-orang bahkan akan salah sangka dan mengira bahwa kalian memang berpacaran.”
“Begitukah?” Tanya Kevin.
Dina membalasnya dengan dua anggukan kepala.
Kevin terdiam untuk sesaat lalu melanjutkan perkataannya lagi.
“Aku jatuh cinta kepadanya ketika melihat dia menangis karena pertengkarannya dengan Jeff di malam saat mereka pergi berkencan. Aku memang punya janji bertemu dengan teman-teman SMA-ku di café dekat restoran yang menjadi tempat mereka berkencan malam itu. Tiba-tiba saja Helen meneleponku dan memintaku untuk menjemputnya. Aku meninggalkan teman-temanku dan langsung menjemputnya untuk diantarkan pulang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan ia terus menangis. Ia menceritakan bahwa Jeff merendahkannya di depan pelayan restoran dan pengunjung restoran yang lain.”
“Merendahkan seperti apa?” potong Dina.
“Mereka pergi ke restoran makanan Western yang kamu tahu sendirilah itu untuk kalangan high-end. Ketika memesan makanan, Helen menanyakan seperti apa detail makanan itu satu demi satu kepada pelayan yang melayani meja mereka. Ya Helen hanya ingin memastikan saja bahwa ia bisa memakan makanan yang ia pesan, ia takut salah memilih makanan. Namun Jeff justru merendahkannya dengan berkata seperti ini, ‘memangnya kamu tidak pernah memakan makanan seperti ini seumur hidupmu ya sampai harus menanyakan detailnya satu per satu?’ Pelayan yang melayani meja mereka pun tertawa. Demikian juga pengunjung yang berada di seberang meja mereka yang ikut mendengar perkataan Jeff itu. Merasa menjadi bahan tertawaan orang-orang, Helen pun berlari meninggalkan restoran itu dan menghubungiku. Jeff bahkan tidak mengejar Helen sama sekali padahal Helen berdiri di depan restoran itu cukup lama ketika ia meneleponku.” Terang Kevin.
Dina terkejut mendengar cerita Kevin itu. Helen sendiri tidak pernah menceritakan hal itu kepada dirinya.
“Memangnya kamu tidak tahu kejadian di malam mereka pergi berkencan adalah seperti itu?” Tanya Kevin.
“Helen tidak pernah menceritakannya kepadaku. Ia hanya mengatakan ia bertengkar dengan Jeff kemudian pergi denganmu. Aku bahkan sampai memarahinya karena merasa bahwa sangatlah tidak etis meninggalkan kencannya dan pergi dengan pria lain, ternyata begitu cara Jeff memperlakukan Helen ya?”
“Helen selalu menceritakan semua yang baik-baik saja tentang Jeff kepadamu kan? Meskipun Jeff sebenarnya memang orang baik, mungkin saat itu dia hanya tidak sengaja bersikap seperti itu, namun dalam beberapa situasi ia juga sering kelepasan bicara seperti memarahi Helen layaknya memarahi pegawainya yang berbuat kesalahan. Tetapi Helen selalu membelanya dan mengatakan bahwa mungkin ia terlalu banyak menghabiskan waktu bersama para pegawai sehingga sering lupa bahwa Helen adalah kekasihnya bukan pegawainya.”
Dina mengangguk mendengar cerita Kevin itu.
“Jadi kamu jatuh cinta kepadanya sejak malam itu?” Tanya Dina lagi.
“Iya, begitulah.” Jawab Kevin sambil mengangguk. “Helen sangat ingin diperlakukan layaknya orang yang sedang berpacaran oleh Jeff. Dia ingin dipeluk, dicium, pokoknya diperhatikan atau dimanja, begitulah. Helen adalah tipe orang yang menganggap bahwa sentuhan fisik adalah wujud kasih sayang dan cinta atau perhatian. Sayangnya Jeff terlalu kaku dan age gap di antara mereka mungkin membuat Jeff lebih suka untuk bermain aman. Walau bagaimana pun Helen masih terbilang di bawah umur sementara Jeff adalah pria dewasa. Menurutku sih itu ya, aku tidak tahu jika Jeff punya pertimbangan lain, tetapi menurut penuturan Jeff kepada Helen ia juga begitu concerned dengan isu perbedaan usia mereka itu, khususnya Helen yang masih dibawah dua puluh satu tahun. Helen sendiri yang menceritakan itu kepadaku.”
Dina terdiam untuk sesaat. Ia baru menyadari kalau selama ini Helen juga tidak begitu bahagia dengan Jeff sementara dirinya sendiri terus mendorong Helen untuk bersama Jeff.
“Jadi sebenarnya dia juga tidak begitu bahagia saat bersama Jeff ya!” seru Dina.
“Lalu apa motifnya begitu kekeh ingin mempertahankan hubungannya dengan Jeff?” Tanya Dina kepada Kevin.
“Aku tidak tahu. Mungkin saja dia memang benar-benar mencintai pria itu.” Tebak Kevin.
“Aku kasihan kepada anak itu. Dia selalu menginginkan cinta sejati tetapi tidak pernah mendapatkan yang benar-benar tulus kepadanya.” Ujar Dina.
“Aku tulus kok kepadanya, dia saja yang tidak mau kepadaku!” Bantah Kevin.
“Hubungan cinta kalian bertiga memang rumit ya?” kata Dina sambil menggaruk kepalanya.
“Hey… Yang benar itu berempat, bukan bertiga!” Ralat Kevin.
“Lho kenapa berempat?” Tanya Dina tidak mengerti.
“Kan pada awalnya ada kamu juga di dalam lingkaran ini.” Kevin mengingatkan.
“Sudah lah Kev, itu sudah berlalu.” Elak Dina dengan menyembunyikan rasa malunya.
“Tapi jika bukan karena kamu, aku tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk dekat dengan Helen. Jadi seharusnya aku berterima kasih kepadamu.” Ucap Kevin.
“Kamu sedang berterima kasih atau sedang meledekku sih?” Omel Dina.
“Dua-duanya sih sebenarnya.” Balas Kevin.
Tawa mereka berdua pun pecah.
Sepanjang malam mereka berdua mengobrol di ruangan itu. Kevin bahkan membawakan banyak makanan dan minuman ringan untuk menemani mereka berdua begadang di malam itu. Menghabiskan waktu bersama Kevin membuat Dina sejenak lupa akan masalahnya dan alasan sesungguhnya ia kabur dari rumah hingga bisa berada di tempat itu.
Kevin adalah sosok pria yang sangat baik bagi mereka yang sudah mengenalnya secara mendalam. Hanya saja pembawaannya yang pendiam pada kehidupan sehari-hari membuatnya terlihat seperti pria yang arogan.
“Din, aku mau minum bir. Kamu mau tidak?”
“Tidak, terima kasih. Cola ini saja sudah cukup untukku.”
Kevin beranjak dari sofa dan berjalan menuju ke kamarnya. Ternyata ia menyimpan bir yang ia maksud tadi di dalam kulkas yang ada di kamarnya.
Mereka berdua akhirnya tertidur di sofa ruang keluarga dengan banyak sampah bekas pembungkus snack yang berserakan di lantai, beberapa kaleng bir yang sudah kosong, dan botol cola berukuran besar yang hampir sepenuhnya kosong.
Helen memutuskan untuk mendatangi mereka pada pukul tujuh pagi keesokkan harinya karena tidak ada satupun dari mereka berdua yang menjawab puluhan panggilan telepon dari Helen. Ia terkejut mendapati mereka berdua yang sedang tertidur di ruang keluarga dengan banyak sampah berserakan di sekitar mereka.
Helen hanya bisa menggeleng sambil tertawa melihat pemandangan yang ada di depan matanya. Kevin yang tertidur dengan tubuh yang setengah berada di sofa dan setengahnya lagi berada di lantai. Sementara Dina tertidur dengan mulut menganga dengan baju yang dipenuhi dengan remahan makanan ringan yang ia makan semalam sampai ia benar-benar tertidur.