Bab 51
Kebenaran Yang Masih Disembunyikan
Dina tiba di rumah dengan wajah lesu. Siang itu ia tiba di rumah dan mendapati tidak ada seorang pun di sana. Oscar dan ibunya masih berada di kantor mereka masing-masing. Dina segera membersihkan dirinya, mengganti pakaian kemudian naik ke ranjang untuk tidur. Ia punya tugas yang sangat besar nanti yaitu memberitahu ibunya tentang hasil belajarnya di semester ini yang bisa dibilang jeblok.
Dina berharap ia bisa tertidur sejenak untuk melupakan kesedihannya. Tidak hanya itu, ia juga takut ibunya akan memarahinya dan yang terburuk adalah ibunya tidak mampu untuk membiayai pendidikannya lebih lanjut.
Dina yang dilanda ketakutan akhirnya memutuskan untuk menelepon Helen.
Saat itu Helen masih bersama Kevin. Mereka tengah berada di rumah Kevin yang pada siang itu hanya diisi oleh beberapa orang pembantu rumah tangga saja. Kedua orang tua Kevin telah bercerai sejak ia masih kecil. Hak asuh atas Kevin tidak dibagi sehingga Kevin diasuh oleh ayah dan ibunya secara bergantian.
Sudah hampir setahun ini ia tinggal dengan ayahnya di rumah yang lebih mirip dengan istana itu. Meskipun rumah ibunya juga besar namun rumah ayah Kevin jauh lebih besar. Setelah berpisah tidak ada seorang pun dari kedua orang tuanya yang menikah lagi. Mereka benar-benar sibuk dengan karirnya masing-masing.
“Len, aku takut…” kata Dina saat teleponnya dijawab oleh Helen.
“Aku mengerti, jika itu terjadi padaku aku pun akan sama takutnya denganmu.”
“Apa aku tidak usah mengatakannya saja kepada mamaku ya?” Ide gila itu tiba-tiba muncul begitu saja di benak Dina dan segera ia katakan kepada Helen.
“Kalau mama memintamu untuk menunjukkan transkripmu, apa yang akan kamu katakan?”
“Iya juga ya.” Kata Dina, mengurungkan niatnya.
“Tunjukkan saja Din, konsekuensi itu akan tetap ada, tapi aku yakin mamamu pasti tidak akan membiarkan kuliahmu terhenti di tengah jalan. Ia pasti akan berusaha sekuat tenaga dan mencari jalan keluar.”
Kata-kata Helen itu memberi Dina sedikit harapan.
“Baiklah, nanti malam akan aku tunjukkan kepada mama.” Ujar Dina.
“Lihat moment yang tepat ya, kalau mama lagi sibuk tahan dulu, keadaan bisa jadi sangat buruk nantinya. Lakukan nanti jika mama sudah selesai dengan pekerjaannya.” Helen mengingatkan.
“Iya Len, terima kasih ya. Kamu selalu membantuku di saat-saat sulit seperti ini.” Kata Dina.
Ucapan Dina itu benar-benar menyentil perasaan Helen.
“Eh.. iya Din,” Helen sampai tergagap. “Sama-sama kali, kamu juga sering membantuku, kan?”
“Hehe…” Dina tertawa kecil. “Sudah ya, teleponnya aku tutup dulu.” Kata Dina mengakhiri pembicaraan telepon itu.
Begitu selesai berbicara dengan Dina, Helen menatap wajah Kevin yang saat itu tengah membaringkan kepalanya di atas pangkuan Helen.
“Kev, we need to stop!” Kata Helen.
Kevin pun bangun dan duduk di samping Helen.
“What do you mean? What are we doing? Tidak ada, bukan?” Balas Kevin.
“Maksudku, kita harus berhenti bersikap seperti ini.” Helen menekankan.
“Sikap seperti apa yang kamu maksud?”
“Kevin, berhentilah berpura-pura bodoh!” Bentak Helen. “Kamu tahu bahwa yang menyukaimu sejak awal adalah Dina, aku adalah sahabat Dina, sementara kita berdua justru bersikap seperti ini di belakang Dina!” Lanjut Helen.
“Kenapa kamu jadi marah padaku? Ini adalah hal yang kita sepakati bersama, tidak ada yang memaksamu untuk melakukan ini, bukan?” Ujar Kevin, membalikkan tudingan. “Jeff tampan, kaya, dan sangat mencintaimu. Kenapa kamu memilih untuk melarikan diri bersamaku?” Kevin membuat isyarat tanda petik dengan jarinya ketika mengucapkan kata melarikan diri.
Helen terdiam. Ia tertunduk, tidak dapat membantah pernyataan Kevin.
“Akuilah Len, kamu masih kesepian meskipun sudah bersama Jeff. Itulah alasannya kenapa kamu terus datang kepadaku!”
Helen bangkit dari sofa tempatnya duduk bersama Kevin tadi. Ia hendak pergi meninggalkan Kevin, namun Kevin buru-buru menarik tangan Helen dengan keras sehingga membuat Helen jatuh terduduk di sofa lagi.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku!” Kata Kevin dengan posisi wajahnya yang begitu dekat dengan wajah Helen.
“Aku tidak tahu!” Jawab Helen dengan tatapan menantang.
“Kamu pasti tahu, tidak mungkin kamu tidak mengetahui perasaanmu sendiri!” Bantah Kevin.
“Aku tidak tahu!” Helen berkeras namun kemudian mengarahkan pandangannya ke tempat lain, tidak mau menatap Kevin.
Kevin terus menatap Helen yang tidak mau menatapnya, “Len, apa kamu tahu jika Jeff sebenarnya hanya takut untuk menyentuhmu?”
Mendengar itu, Helen segera mengarahkan pandangannya kembali ke arah Kevin.
“Bagaimana kamu tahu itu?”
“Usiamu sekarang dua puluh tahun, sementara Jeff ummm… Berapa umurnya, dua puluh enam tahun? Jika dia mengajakmu berbuat macam-macam bukankah itu melanggar hukum?”
“Bukan itu masalahnya!” Bantah Helen. Ia kemudian terdiam sejenak, seperti sedang menyusun kata yang hendak ia ucapkan. “Jangankan untuk berbuat macam-macam, Jeff bahkan belum pernah menciumku, sementara kami sudah berpacaran lebih dari setengah tahun.”
“Kamu meragukan perasaannya terhadapmu? Tidak menciummu bukan berarti dia tidak mencintaimu. Kalau menurutku, kamu adalah tipe orang yang terlalu berorientasi pada sentuhan fisik sebagai tanda cinta atau perhatian, jika tanpa adanya sentuhan kamu menganggap mereka tidak perhatian atau tidak cinta kepadamu, begitu kan!”
“Dan kamu memanfaatkan situasi itu.” Ujar Helen.
“Aku akan membiarkanmu mengatakan seperti itu, meskipun aku sebenarnya tidak seperti itu.”
“Apa maksudmu?” Tanya Helen.
“Aku memberimu perhatian yang kamu inginkan, jika aku memang memanfaatkan situasi kenapa aku tidak menidurimu sekalian, toh Garry sudah melakukannya kepadamu lebih dulu kan? Tetapi aku menahan diriku untuk tidak melakukan hal itu Len, karena aku tahu bukan itu yang sebenarnya kamu inginkan. Berpelukan saja sudah cukup membuatmu bahagia, bukan? Maka itulah yang aku lakukan.” Terang Kevin.
“Kamu berbohong, Kev. Sebenarnya kamu yang telah jatuh cinta kepadaku, iya kan?” Helen menuding balik.
Kevin tersenyum kecut, “Kamu menuduhku jatuh cinta kepadamu, bagaimana denganmu?”
“Aku?” Tanya Helen sambil menunjuk batang hidungnya sendiri. “Sama sekali tidak. Kamu sendiri yang mengatakan kalau aku hanya ingin diperhatikan! Ketika aku tidak mendapatkan itu dari Jeff, maka aku mencari itu darimu.”
Senyum di wajah Kevin kini telah hilang sepenuhnya. “Atau kamu hanya menjadikanku sebagai pelarian?”
“Kata pelarian mungkin terdengar tidak sopan tapi mungkin itu yang paling tepat.” Jawab Helen.
“Jangan berbohong lagi!” Bentak Kevin tiba-tiba dengan suara yang sangat keras hingga membuat Helen terlonjak karena kaget.
“Aku tahu kamu juga mencintaiku. Kamu hanya sedang bingung karena berada di tengah-tengah, di antara aku, Jeff, dan juga Dina!”
“Kamu tidak tahu apa-apa!” Tepis Helen.
“Tentu saja aku tahu, aku bisa merasakannya Helen! Dari caramu membalas ciumanku, dari caramu balas memelukku, dari caramu menatapku, aku tahu kamu tidak hanya menginginkan perhatian, kamu mencintaiku!”
Helen bangkit lagi dari sofa dan melangkah pergi dengan cepat. “Cukup Kev, aku muak dengan semua ini termasuk denganmu!” Katanya.
Kevin mengikuti Helen dari belakang kemudian menyergapnya dan memeluk tubuh Helen erat-erat dari belakang.
“Len, aku tidak keberatan jika memang kamu mencintaiku dan Jeff pada saat yang sama.” Suara Kevin kini merendah. Ia tidak berteriak penuh emosi lagi seperti tadi.
Langkah Helen terhenti karena pelukan Kevin itu.
“Jangan pergi dariku. Kamu boleh datang kapan saja kepadaku. Aku bahkan tidak keberatan jika aku harus mengantarmu pergi berkencan dengan Jeff.” Bujuknya.
Helen pun berbalik dan menatap Kevin. Hatinya menjadi iba mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut Kevin barusan. Helen kini sadar betapa laki-laki itu sebenarnya mencintai dirinya namun mereka terjebak dalam sebuah hubungan persahabatan.
“Kamu memang benar Kev, aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaanku. Aku tidak yakin siapa yang lebih aku cintai, kamu atau Jeff. Aku juga harus menjaga perasaan Dina.” Helen membalas pelukan Kevin dan menyandarkan kepalanya di d**a laki-laki itu.
“Aku tidak seharusnya bersikap seegois ini!” Lanjut Helen.
Kevin kemudian mencium kepala Helen.
“Suatu hari nanti kamu pasti akan bisa memilih kok, Len. Selama itu belum terjadi, kamu tetap bisa datang kepadaku seperti ini.”
Mereka berdua kembali berpelukan untuk sesaat sampai panggilan telepon dari Jeff membuat mereka harus mengakhiri pelukan itu.
Malam harinya, di rumah Dina, Gladys dan kedua anaknya tengah menikmati makan malam. Dina tampak tidak berselera. Ia makan begitu sedikit karena tengah dilanda ketakutan.
“Lagi program diet ya, makannya kok sedikit?” Ledek Oscar.
“Yang seperti ini harusnya ditunjang dong kak, kok malah diledek sih!” Protes Dina.
Setelah makan malam selesai, Dina membantu ibunya membereskan dapur sehingga pekerjaan ibunya bisa lebih cepat selesai. Begitu semua pekerjaan dapur selesai, Dina dan ibunya masuk ke kamar untuk beristirahat.
Dina pikir inilah moment yang tepat untuk memberitahu ibunya hasil semesternya kali ini.
“Ma…” panggil Dina sambil menyerahkan transkrip nilainya kepada sang ibu.
Ibunya membaca transkrip itu dan segera mendapati ada dua mata kuliah yang tidak mencapai target kelulusan. Ekspresi di wajah Gladys menunjukkan kekecewaan.
“Maaf ya Ma, hasil Dina seperti itu. Pelajarannya memang sulit dan kebanyakan tidak bisa Dina mengerti. Tahun depan Dina harus mengikuti dua kelas itu lagi.” Kata Dina sambil menundukkan kepalanya.
“Na, kamu tahu kan jika sejak dulu mama tidak pernah marah jika hasil belajarmu jelek?”
Dina mengangguk, “Tapi di tempat yang sekarang kan mama sedikit kesulitan untuk menutupi biaya kuliahnya.”
“Apa boleh buat Na, ini hasil terbaik yang bisa kamu tunjukkan sekarang, mama harus bilang apa?”
Dina kehilangan kata-kata mendengar perkataan ibunya itu.
“Sejak dulu mama menekankan, kalian mau melanjutkan sekolah saja mama sudah sangat senang dan bersyukur karena kebanyakan anak-anak yang berasal dari orang tua yang berpisah tidak mau lagi menyelesaikan pendidikannya.”
“Jadi mama tidak keberatan jika kelulusan Dina masih harus tertunda setahun lebih lama lagi?”
Gladys menggeleng, “Mama tahu kamu pasti bisa mengusahakan yang terbaik lain kali untuk membuat mama bangga.” Katanya dengan lembut.
Dina begitu tersiksa dengan ketakutan sepanjang hari ini, hanya untuk mendengar ibunya berkata seperti itu. Hatinya kini benar-benar lega.