Desember 1998
Natal kian dekat, Dina dan Oscar tengah menikmati liburan sekolah. Rumah mereka sudah dihias dengan pernak-pernik bertema Natal yang juga mereka gunakan pada tahun-tahun sebelumnya. Gladys belum berpikir untuk membeli atau menambah pernik Natal baru untuk tahun ini.
Hari ini adalah hari terakhir bagi Gladys untuk menghias rumah. Hal terakhir yang akan ia lakukan untuk menutup rangkaian kegiatan hias menghias rumah adalah mengeluarkan pohon Natal dari gudang dan mendekorasinya. Kebetulan Herman tidak pergi bekerja hari ini sehingga ia bisa sedikit membantu Gladys.
“Pohonnya di keluarkan dari gudang sekarang, Ma?” Tanya Herman pada Gladys.
“Iya, boleh. Tolong ya, Pa.”
Dina menunggu dengan tenang di pojok ruang tamu, meskipun sebenarnya ia sudah sangat tidak sabar untuk ikut mendekorasi pohon Natal bersama kedua orang tuanya.
Tak lama kemudian Herman kembali dari gudang dengan membawa pohon Natal yang tidak terlalu besar dan terbungkus rapi dengan plastik putih bening. Plastik pembungkus itu tampak sedikit berdebu. Herman meletakkan pohon Natal itu di sisi kiri ruang tamu sejajar dengan tempat Dina duduk menunggu. Gladys membuka plastik pembungkus itu dan memeriksa keadaan pohon Natal itu apakah masih baik atau sudah rusak.
“Gimana Ma?” Tanya Dina.
“Masih bagus kok, yuk mulai di dekor!” ajak Gladys pada Dina dengan bersemangat.
“Yeaaaay…” sorak Dina sambil melompat dari sofa dan berlari menuju ke tempat pohon Natal itu berada.
Oscar tidak ikut mendekorasi bersama mereka karena sejak selesai makan siang ia pergi bermain layang-layang bersama anak-anak kompleks. Angin di bulan Desember memang sangat cocok untuk menerbangkan layang-layang.
Kurang dari sejam, pohon Natal itu hampir selesai di hias. Sentuhan terakhirnya adalah bintang di bagian pucuk pohon.
“Boleh Dina melakukannya?” Tanya Dina.
Herman tersenyum lalu meraih tubuh Dina untuk di angkat ke atas bahunya. Dina yang sudah memegang bintang itu di tangannya segera memasangkannya di pucuk pohon.
“Sudah!” begitu katanya dengan penuh senyum.
Seminggu kemudian.
Malam itu adalah malam sebelum Natal. Gladys meminta anak-anaknya untuk tidur lebih awal karena besok mereka harus ke Gereja pagi-pagi. Herman akan piket pada hari Natal setelah makan siang, jadi mereka harus mengambil waktu untuk mengikuti ibadah Natal di jam yang paling pagi.
Saat Herman sedang merokok di teras rumah, tiba-tiba temannya datang. Gladys mengenal teman Herman itu. Namanya Carlos, ia tinggal dalam kompleks perumahan anggota TNI juga tetapi jarak rumahnya agak jauh dari rumah mereka. Kemudian terdengar suara Herman dari luar,
“Ma, Papa pergi beli rokok sama Carlos sebentar ya. Pintunya papa kunci dari luar. Mama tidur duluan saja.”
Gladys yang sedang menyetrika pakaian tidak menjawab perkataan Herman, ia hanya melihat Herman dan Carlos berjalan menjauhi rumah.
Selesai menyetrika pakaian, Gladys membereskan pakaian-pakaian itu, memasukkannya ke dalam lemari lalu bersiap untuk tidur.
Saat ia melihat ke arah jam, ternyata sudah hampir jam dua belas tengah malam. Ia lalu berpikir, bagaimana mungkin Herman yang hanya pergi membeli rokok di warung depan kompleks masih belum kembali sampai selarut ini. Gladys berusaha untuk berpikiran positif dan memaksakan diri untuk tidur.
Beberapa saat kemudian ia terbangun dan mendapati Herman tampak sudah tertidur pulas di sampingnya. Entah sudah berapa lama ia tertidur sampai tidak menyadari bahwa Herman sudah pulang. Gladys hendak melanjutkan tidurnya lagi, tetapi kemudian teralihkan oleh sesuatu yang ia lihat di leher Herman. Gladys melihat lebih dekat dan lebih dekat lagi, hingga akhirnya terlihat jelas olehnya bahwa itu adalah noda lipstik berwarna peach. Kulit Herman yang gelap sangat kontras dengan warna lipstik itu sehingga sangat mudah terlihat oleh mata.
Seketika rasa kantuk Gladys sirna. Ia memperhatikan tubuh Herman lekat-lekat dari ujung kaki sampai ujung kepala lalu dari ujung kepala ke ujung kaki lagi. Dadanya terasa sesak. Ia bingung apakah ia ingin menangis atau ingin marah. Tiba-tiba ia dihinggapi rasa mual yang sangat parah. Gladys berlari menuju kamar mandi sambil menutup mulutnya. Begitu tiba di kamar mandi, Gladys langsung muntah. Ia terus memuntahkan seluruh makanan yang ada dalam perutnya. Ia tidak bisa berhenti muntah.
Ia terduduk lemas karena dehidrasi di depan pintu kamar mandi. Air matanya mengucur tanpa ia sadari. Pada dini hari yang dingin itu, Gladys terduduk dengan pandangan kosong di depan pintu kamar mandi. Hatinya terasa sakit, sakit sekali sampai-sampai ia merasa bahwa ia tidak bisa bernapas dengan baik.
Tiba-tiba Herman muncul. Ia bangun untuk buang air kecil di kamar mandi. Ia tampak sedikit terkejut melihat Gladys tengah terduduk sambil menangis di situ. Herman tidak mencurigai apapun, ia hanya berpikir mungkin Gladys sedang sakit.
“Mama sakit?” Tanya Herman seraya memegang kepala Gladys yang sedang terduduk di lantai karena lemas setelah muntah begitu banyak.
“Itu tidak penting untuk saat ini, Pa. Mama ingin penjelasan tentang itu,” kata Gladys sambil menunjuk ke arah leher Herman.
“Memangnya ada apa, Ma?” Tanya Herman dengan nada heran.
“Papa jangan berbasa-basi, ada noda lipstik di leher Papa,”
Gladys bangkit dari tempatnya terduduk dan menarik lengan Herman, membawanya masuk kembali ke dalam kamar. Kini mereka berdua berdiri di depan cermin.
Gladys terkejut ketika melihat noda lipstik yang ia lihat tadi sudah tidak ada. Gladys lantas memeriksa tangan Herman untuk mencari bukti bahwa Herman yang telah menghapus noda itu dengan tangannya.
“Mama, ini ada apa sebenarnya?”
“Papa sudah menghapusnya, bukan?”
“Apa yang Mama maksud?”
“Noda lipstik di leher Papa. Tadi ada, kenapa sekarang tidak ada?”
Herman tersenyum dan berkata, “Mama mungkin hanya berhalusinasi!”
Gladys sangat yakin dengan apa yang dilihatnya karena ia melihat itu bukan hanya sebentar, ia bahkan menatap noda itu lekat-lekat tadi.
“Ma, ini hari Natal. Bisakah kita tidak bertengkar di hari sebaik ini?”
Herman mengantar Gladys kembali ke tempat tidur. Gladys berbaring di ranjang sambil membelakangi Herman. Ia menangis terisak-isak. Suara tangisannya itu bahkan bisa terdengar oleh Herman, tetapi Herman berlagak seperti tidak mendengar apapun.
* * *
Pagi harinya mereka semua bersiap untuk pergi beribadah di Gereja. Mata Gladys tampak sembap karena menangis selama berjam-jam. Ia menolak untuk berbicara dengan Herman. Sementara Herman justru mengacuhkan semua tanda protes yang ditunjukkan oleh Gladys.
Gladys benar-benar tidak fokus pada apa yang sedang dikerjakannya. Ia terus sibuk dengan pikirannya. Banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam kepalanya tentang kemungkinan Herman telah menduakan dirinya.
Sepulang dari mengikuti peribadatan di Gereja, mereka berempat makan siang bersama di rumah. Gladys tidak bisa makan, ia hanya meminum beberapa gelas air putih. Setelah semua selesai makan, Gladys ke dapur untuk mencuci piring-piring kotor bekas makan tadi. Herman menyusulnya ke dapur.
“Ma, bisa kita bicara?” Tanya Herman, memulai pembicaraan.
“Iya, mama juga ingin bicara!” jawab Gladys dengan ketus.
“Kalau begitu mama lebih dulu,” Herman mempersilakan Gladys untuk lebih dulu mengutarakan maksud hatinya.
“Mata mama tidak mungkin salah melihat noda lipstik yang semalam di leher Papa itu. Apa Papa punya wanita lain?”
Herman seakan terkejut dengan pertanyaan Gladys, kemudian berusaha menjawabnya demikian, “Bagaimana mungkin Mama menuduh papa seperti itu?”
“Mama melihatnya sendiri!” kata Gladys dan mulai menangis.
“Papa harus pergi piket. Nanti malam kita bicara lagi.”
Herman pergi ke kamar untuk mengganti pakaiannya dengan seragam dinas lalu berpamitan pada Oscar dan Dina.
Seharian itu Gladys menjadi uring-uringan. Ia jadi kurang memperhatikan Oscar dan Dina. Beberapa kali kedua anak itu bertanya kepadanya tetapi ia tidak menjawabnya, ia bahkan tidak mendengarkan pertanyaan mereka. Gladys hanya tidak sabar menunggu Herman pulang untuk melanjutkan pembicaraan mereka yang tadi.
Akhirnya Herman yang ditunggu oleh Gladys pun pulang. Malam itu terjadi pertengkaran yang sangat hebat antara mereka berdua. Gladys memaksa Herman untuk mengaku tetapi Herman terus menyangkal. Meskipun mereka bertengkar dalam kamar, tetapi Oscar dan Dina bisa mendengar pertengkaran itu dari kamar mereka.
Dina menangis ketakutan. Ini memang bukan pertengkaran pertama yang terdengar olehnya tetapi ini adalah pertengkaran terbesar yang pernah terjadi di antara kedua orang tuanya dan terdengar jelas olehnya. Oscar juga menangis tetapi ia menutupi wajahnya dengan bantal. Mereka berdua mendengar semuanya, tetapi tidak saling mengucapkan sepatah kata pun.
“Sudah kubilang kan, aku tidak melakukan itu!” teriak Herman diikuti suara tamparan yang sangat keras.
Gladys menangis dengan suara pelan tapi masih bisa terdengar oleh kedua anaknya yang berada di kamar sebelah.
“Aku akan pergi. Kamu tetap di sini dan introspeksi diri, aku akan kembali saat kamu sudah waras. Kamu sudah terlalu gila saat ini!” kata Herman.
“Bukannya kamu yang harus introspeksi diri? Kamu yang berbuat, kenapa jadi aku yang harus introspeksi diri?” balas Gladys.
“Ini tidak akan ada habisnya. Aku terlalu lelah untuk berdebat lagi!”
Prakkkk! Terdengar suara pintu kamar yang dibanting. Dina mengintip dari celah pintu kamarnya dan melihat ayahnya pergi dengan membawa sebuah tas pakaian yang cukup besar.
Herman memilih untuk pergi meninggalkan Gladys dan kedua anaknya. Gladys tidak tahu kemana suami yang telah dinikahinya selama dua belas tahun itu pergi.
Keesokan harinya, Gladys bertamu ke rumah Carlos. Ia di sambut oleh Carlos dan istrinya, Wanda. Carlos adalah rekan sejawat Herman. Perawakan Carlos sangat mencerminkan orang Indonesia timur karena ia memang berasal dari Papua, berkulit gelap seperti Herman, berambut ikal dan tubuhnya tinggi dan besar, sementara Wanda istrinya seorang wanita yang berasal dari Jawa Timur dan merupakan keturunan etnis Tiong Hoa. Ia bertubuh jangkung namun kurus dengan kulit yang sangat putih dan rambut hitam lurus yang panjang. Mereka telah menikah cukup lama tetapi belum dikaruniai anak.
Gladys ingin mencari tahu kemana Herman pergi dengan Carlos pada malam itu. Namun jawaban Carlos amat sangat mencengangkan.
“Sebenarnya aku tidak pergi ke warung bersama Herman malam itu. Aku baru pulang dari warung saat itu dan mampir ke rumah kalian karena melihat Herman merokok sendirian di depan rumah. Kami memang jalan bersama malam itu, tetapi aku langsung belok ke sini dan Herman yang jalan sendiri ke warung,” demikian kata Carlos pada Gladys.
Perkataan Carlos dibenarkan oleh Wanda, karena ia turut melihat Carlos datang bersama Herman tetapi Herman melanjutkan perjalanannya sendiri ke luar kompleks perumahan.
Setelah itu Carlos berpamitan untuk pergi piket. Gladys dan Wanda melanjutkan pembicaraan mereka kira-kira selama satu jam. Gladys mencurahkan isi hatinya pada Wanda karena ia tidak punya tempat lain untuk mengadu.
Gladys dan Wanda sebenarnya tidak terlalu dekat, tetapi di saat-saat yang berat seperti ini Gladys hanya butuh teman untuk bercerita saja, karena ia merasa mustahil untuk menceritakan hal seperti ini pada orang tuanya. Ini hanya akan membebani orang tuanya yang sudah tua jika mereka sampai tahu.
Wanda mengatakan bahwa ia siap kapan saja jika Gladys memerlukan bantuan. Apakah untuk pergi mencari Herman atau bantuan yang lainnya. Gladys merasa hatinya sedikit lega ketika telah berbagi bebannya pada orang lain.
* * *
Lebih dari sebulan sejak kejadian itu, Herman belum juga kembali ke rumah. Dina terus mempertanyakan keberadaan ayahnya setiap hari, tetapi Gladys hanya menjawab kalau ayahnya sedang ditugaskan ke luar kota selama beberapa bulan. Gladys sama sekali tidak menduga bahwa anak-anaknya mendengar pertengkaran mereka pada malam itu.
Keceriaan Oscar dan Dina seolah sirna setelah ayah mereka pergi. Oscar menolak untuk bermain di luar lagi dan Dina menjadi semakin pendiam. Sementara tugas Gladys menjadi semakin berat karena ia harus bekerja dan mengasuh kedua anak itu sendirian. Pekerjaannya menjadi sedikit berkurang karena Oscar yang kini berumur dua belas tahun dan Dina sembilan tahun sudah bisa pulang sekolah sendiri sehingga ia tidak perlu lagi kabur dari kantor setiap hari untuk menjemput anak-anaknya seperti dulu.
Gladys menghadapi perang yang berkecamuk dalam dirinya sendiri. Di satu sisi, ia tidak terima dengan perlakuan Herman yang sudah menduakan serta memperlakukannya dengan kasar dan di sisi lain ia tahu bahwa Oscar dan Dina sangat merindukan ayahnya, selain itu ia juga tahu bahwa ia tidak mampu membiayai kedua anaknya itu seorang diri. Ia membutuhkan Herman agar kedua anaknya itu dapat melanjutkan sekolah.
Sejak kepergiannya dari rumah, Herman tidak pernah memberi kabar kepada istri dan anak-anaknya. Ia juga tidak mengirimkan uang setidaknya untuk memenuhi kebutuhan sekolah kedua anaknya. Sementara menurut Carlos, setiap hari Herman masih datang ke kantor seperti biasa. Hanya saja Herman tidak memberitahu siapapun di mana ia tinggal sekarang.
Malam-malam Gladys dipenuhi dengan tangisan. Ia kehilangan banyak dari berat badannya. Tubuhnya kini kurus kering dan terlihat seperti orang yang sedang sakit. Wajahnya tampak terlalu tua untuk usianya yang baru menginjak empat puluh dua tahun. Namun Gladys mengacuhkan semua itu, termasuk komentar orang-orang kepadanya tentang penampilan dirinya sekarang, karena satu-satunya yang ia pedulikan hanyalah kebahagiaan anak-anaknya.