Satu… Satu… Aku sayang papa…

2539 Words
 Agustus 1994  Pagi yang cerah di sebuah kompleks perumahan anggota TNI. Suara kokok ayam bersahut-sahutan dengan kicau burung. Matahari bersinar sempurna menyingkirkan dinginnya udara subuh. Hari sudah dimulai, tidak hanya bagi para pejuang rupiah, tetapi juga untuk seorang gadis kecil dan kakak laki-lakinya. Gadis kecil ini berkulit putih, bertubuh gempal, berwajah bulat dan mata sipit dengan potongan rambut bob yang kian membuat dirinya terlihat menggemaskan. Ia baru berusia empat tahun tapi sudah terbiasa dengan penatnya rutinitas kehidupan orang dewasa. Ia adalah anak dari seorang perwira TNI berpangkat Sersan. Ia masih tertidur pulas ketika Gladys, ibunya, yang telah berpakaian seragam lengkap khas Aparatur Sipil Negara (ASN) datang dan membangunkannya. Ia sama sekali tidak rewel ketika dibangunkan. Ia segera beranjak bangun dari tempat tidur menuju ke meja makan untuk menyantap sarapan pagi buatan ibunya. Gadis kecil itu bernama Dina. Sementara itu, ibunya pergi memandikan kakak laki-lakinya yang berumur tujuh tahun. Bocah laki-laki itu memiliki wajah yang mirip dengan Dina, adiknya, tetapi kulitnya sedikit lebih gelap dan bertubuh kurus. Bocah ini terus memainkan air di bak sehingga membuat seragam kerja ibunya basah di beberapa sisi. Ibunya sama sekali tidak marah, ia malah tertawa geli ketika wajahnya diciprati air oleh bocah yang sedang dimandikannya. Bocah itu bernama Oscar. Setelah selesai memakaikan seragam putih merah pada Oscar, ibu lantas memandikan Dina dan memakaikan seragam Taman Kanak-Kanak berwarna putih pink padanya. Di dapur, Herman sang ayah, yang telah berseragam hijau loreng lengkap dengan topi baret dan combat boots warna hitam mengkilap, tampak sedang memasukkan makanan ke dalam kotak makan siang milik Oscar dan Dina, ia juga sudah menyiapkan botol minum mereka lalu kemudian memasukkan semua perbekalan itu ke dalam tas masing-masing anak. Ketika jam menunjukkan pukul 06.30 mereka berempat berjalan meninggalkan rumah. Herman menggendong Dina di pundaknya sementara Dina menyanyikan lagu yang baru dipelajarinya di Taman Kanak-Kanak beberapa hari yang lalu, lagu ‘Satu-satu aku sayang ibu’, tetapi oleh Dina baris pertama dari lagu itu dirubah menjadi “Satu-satu aku sayang papa, dua dua juga sayang mama…”, demikian Dina menggubah lagu itu mengikuti perasaannya. Oscar berjalan bergandengan tangan dengan Gladys sambil sesekali melepaskan genggaman tangan ibunya dan berlari untuk mendahului. Matahari bersinar hangat bagai lampu menyorot tepat ke punggung mereka berempat yang sedang berjalan. Mereka tampak sangat bahagia, bercanda dan tertawa sepanjang perjalanan menuju ke sekolah Oscar dan Dina. * * * Jam telah menunjukkan pukul 12.10 tengah hari, Gladys berlari keluar dari kantornya dengan terburu-buru karena harus menjemput Dina yang sebenarnya sudah pulang sekolah sejak hampir dua jam yang lalu. Ini bukan hal yang biasa terjadi, biasanya Gladys sangat tepat waktu untuk menjemput Dina karena jarak dari kantornya dengan Taman Kanak-Kanak tempat Dina bersekolah hanya sejauh lima bangunan. Jaraknya memang sangat dekat tetapi Gladys benar-benar tidak bisa meninggalkan rapat perkenalan dengan atasan yang baru. Gladys memang terbiasa kabur beberapa menit dari kantor setiap hari untuk menjemput Dina, kemudian Dina akan dibawa ikut ke kantornya hingga jam pulang kantor tiba. Sementara Oscar biasanya akan dijemput oleh Herman karena lokasi sekolah Oscar lebih dekat dengan kantornya dari pada dengan kantor Gladys. Setelah itu Herman akan mengantar Oscar untuk dititip di tempat Gladys bersama dengan Dina. Ketika Gladys tiba di sekolah Dina, ia melihat Dina tengah bermain ayunan seorang diri di sisi lain dari bangunan sekolah. “Na…” panggil Gladys kepada Dina Dina menoleh ke arah Gladys dan berlari menyongsong kedatangan ibunya. “Mama pasti tidak sengaja datang terlambat untuk menjemput Dina kan?” tanya Dina tanpa gurat kesedihan di wajahnya. “Iya nak, mama tidak diizinkan meninggalkan rapat, jadi mama harus menunggu sampai rapatnya selesai baru bisa ke sini,” “Oh ya, ayo pamit ke bu guru dulu sekalian ambil tasnya di kelas.” “Iya Ma” jawab Dina, menurut.   Dina dan Gladys berjalan bergandengan tangan menuju ke kantor. Sesampai mereka di kantor, Herman dan Oscar sudah menunggu mereka di bawah pohon mangga di depan gedung utama. Dina yang melihat keberadaan ayahnya segera berlari ke arah ayahnya dan memeluknya, Herman menyambut Dina, menggendong serta memeluknya erat-erat. “Dina sayang Papa.” kata Dina sambil mencium pipi kiri dan kanan ayahnya berulang-ulang. Herman tertawa sambil balas mencium Dina. “Papa juga sayang Dina, sayang Oscar, dan sayang Mama.” Herman lantas menurunkan Dina dari gendongannya. “Papa harus kembali ke kantor dulu ya anak-anak,” “Sampai jumpa di rumah nanti malam.” Oscar memberi hormat kepada ayahnya seperti layaknya seorang tentara. Herman balas memberi hormat, lalu membalikkan badan dan pergi meninggalkan mereka untuk kembali ke kantornya. Hal yang demikian terjadi setiap hari. Rutinitas kantor, mengantar dan menjemput anak memang sudah lama dijalani oleh pasangan Herman dan Gladys, tepatnya sejak Oscar mulai masuk sekolah beberapa tahun yang lalu. Sore harinya setelah pulang kantor, Gladys masih harus memasak makanan untuk makan malam keluarganya, mencuci pakaian dan menemani anak-anaknya mengerjakan tugas dari sekolah. Jika sedang memiliki uang lebih, Herman membawa pulang lauk yang dibeli di warung makan sekitar kantornya sehingga Gladys tidak harus memasak untuk makan malam. Kondisi keuangan keluarga itu memang masih jauh dari kata berkelebihan. Herman, yang seorang anggota TNI berpangkat Sersan II di Kodam XIII/Merdeka dan Gladys yang seorang ASN golongan II-B di Dinas Lingkungan Hidup Kota Manado, gaji mereka hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari dan uang sekolah anak-anak. Gladys berusaha untuk mengurangi pengeluaran termasuk untuk makan di luar, karena ia memiliki suatu keinginan di masa depan. Kelak ia ingin mereka memiliki sebuah rumah karena mereka tidak mungkin selamanya diizinkan menempati rumah dinas TNI. Malam harinya ketika Herman pulang kantor, ia membawakan sekotak cake cokelat untuk istri dan anak-anaknya. Dina dan Oscar yang sudah selesai makan malam langsung melahap kue itu dengan gembira. Maklum mereka memang jarang makan kue karena Gladys benar-benar menghemat anggaran bahkan untuk sekedar membeli kue untuk anak-anaknya. “Pa, jangan terlalu boros.” “Bukankah kita harus berhemat jika ingin punya rumah sendiri nanti?” bisik Gladys pada Herman yang sedang memperhatikan kedua anaknya melahap kue yang dibawanya itu. “Itu pemberian ibu kantin kok, Ma.” jawab Herman singkat. “Papa mandi dulu ya anak-anak.” “Iya Pa!” jawab Oscar dan Dina bersamaan.   Selesai makan kue, Gladys mengantar Oscar dan Dina ke kamar mandi untuk menyikat gigi. Setelah itu mereka langsung pergi ke tempat tidur mereka masing-masing. Dina dan Oscar tidur di kamar yang sama, tetapi tempat tidur mereka berbeda. Dina menempati ranjang kecil dengan kaki yang sedikit tinggi, sementara Oscar tidur di kasur tebal yang ditempatkan di lantai di sisi lain kamar itu. Gladys masuk untuk menemani mereka berdoa tidur. Selesai berdoa Gladys mematikan lampu, menutup pintu lalu meninggalkan kamar mereka. Gladys menuju ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya mencuci piring-piring kotor. Selesai mencuci piring, ia menyetrika pakaian seragam yang akan ia dan Herman kenakan besok, juga seragam sekolah Oscar dan Dina. Saat ia kembali, ia mendapati Herman sudah tertidur pulas di sofa ruang tamu. Ia memandangi pria itu sejenak. Ia melihat bahwa Herman masih tetap tampan seperti dulu, tubuhnya yang tinggi, dadanya yang bidang, kulit yang dahulu putih kini menjadi gelap karena selalu terbakar matahari saat apel maupun latihan, dan wajah tampannya yang merupakan perpaduan darah Minahasa dan Ambon, itulah yang membuat Gladys jatuh cinta padanya tiga belas tahun yang lalu. Gladys tidak membangunkan Herman lagi. Ia membiarkan Herman tertidur nyenyak di situ. Sementara ia sendiri menuju ke kamar untuk beristirahat karena tubuhnya benar-benar sudah sangat kelelahan. Gladys membaringkan tubuhnya yang lelah di tempat tidur. Hatinya merasa sedikit tidak tenang. Kemudian ia duduk lagi. Ia lantas berjalan menuju ke meja rias, menarik sebuah kursi keluar dari bawah meja itu, mengambil sisir dan menyisir rambut bob ikal pendeknya sambil memperhatikan wajahnya. Gladys sebenarnya memiliki paras yang cantik, matanya kecil, hidung yang mancung dan kulitnya putih bersih khas wanita Minahasa, namun ia melihat kerutan-kerutan halus sudah mulai muncul di dahi dan sekitar matanya. Umurnya memang sudah tidak muda lagi, tahun ini ia akan genap berumur tiga puluh tujuh tahun. Sementara Herman baru berumur tiga puluh empat tahun. Gladys menikah dengan Herman ketika umurnya sudah menginjak dua puluh sembilan tahun. Ia akhirnya menikah karena terus didesak oleh ibunya. Ibunya sangat mencemaskan Gladys yang kala itu hampir menginjak usia kepala tiga tetapi belum memberi tanda bahwa ia akan memulai rumah tangga. Sebenarnya Gladys sudah sejak lama memiliki keinginan untuk menikah tetapi ia menunggu Herman untuk memberi kepastian perihal masa depan hubungan mereka. Herman tampak serius ketika menjalani hubungan tetapi ketika ditanya soal pernikahan Herman lebih banyak diam. Herman kemudian setuju menikahi Gladys karena ibu Gladys memberi ultimatum bahwa jika Herman tidak menikahi Gladys saat ia berumur tiga puluh tahun, maka ibu Gladys akan memilihkan pria lain untuk menikahi puterinya itu. Sebelumnya mereka telah berpacaran selama empat tahun, entah apa yang membuat Herman ragu-ragu dalam membuat keputusan tentang pernikahan. Selama berpacaran Gladys sebenarnya tidak pernah menyinggung perihal pernikahan, meskipun ia sebenarnya menginginkan hal itu. Gladys adalah orang yang sangat pasif. Ia tidak banyak bicara, cenderung suka memendam segala sesuatu untuk dirinya sendiri, sehingga bahkan ketika ia telah memiliki keinginan untuk menikah, ia tidak berani mengutarakan itu pada Herman. Hatinya mulai tergelitik nanti ketika ibunya sudah mendesaknya lebih dari empat kali. Gladys sebenarnya berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi yang baik, namun karena ia adalah anak perempuan, ketika menikah ayahnya tidak banyak memberinya uang sebab menurut ayahnya, anak perempuan yang sudah menikah sudah sepatutnya menjadi tanggungan suami bukan orang tua lagi. Orang tua boleh saja memberi materi kepada anak perempuannya yang sudah menikah, tetapi itu bukanlah sebuah kewajiban, karena kewajiban menafkahi telah berpindah dari tangan ayah ke tangan suami pada hari anak perempuannya itu menikah. Demikian kata ayah Gladys pada malam sebelum hari pernikahannya.   Januari 1998 Dina akan merayakan ulang tahunnya yang ke delapan tepat pada hari ini, tanggal lima belas Januari 1998. Tidak ada pesta perayaan untuk Dina, Gladys hanya mengundang orang tuanya dan orang tua Heman untuk makan malam bersama dengan mereka di rumah dinas yang mereka tempati. Gladys sudah memesan kue ulang tahun pada rekannya sesama ibu PERSIT yang terkenal pandai membuat dan jago mendekorasi kue ulang tahun. Kue ulang tahun Dina sudah datang sejak pagi hari ketika Dina dan Oscar masih di sekolah. Kue itu disembunyikan Gladys dalam kamarnya agar tidak rusak sebelum acara makan malam dimulai. Hari ini Gladys sengaja meminta izin dari kantornya untuk tidak masuk kerja, karena ia harus membereskan rumah dan memasak makan malam spesial untuk keluarganya. Sejak pagi ia sudah mewanti-wanti Herman agar minta izin pulang lebih awal dari kantor dan tidak lupa untuk membeli beberapa bungkus balon yang akan dijadikan sebagai dekorasi ulang tahun. Herman yang memang selalu tidak banyak bicara hanya mengiyakan semua perkataan Gladys dan kemudian berangkat ke kantor. Jam di dinding menunjukkan pukul 18.00, makanan telah tersaji di meja. Dina sudah selesai mandi dan berpakaian gaun panjang berwarna ungu kesukaannya, bukan gaun baru, tetapi gaun itu selalu menjadi favorit Dina, entah untuk ke gereja atau ke pesta-pesta yang lain. Demikian halnya dengan Oscar, ia sudah rapi dengan celana panjang hitam dan kemeja lengan pendek berwarna merah. Mereka berdua duduk tenang di sofa yang ada di ruang tamu, menunggu ayahnya pulang kerja serta kakek nenek, oma opa yang juga akan datang mengambil bagian dalam makan malam ulang tahun Dina. Satu jam berlalu, kakek dan nenek, panggilan Dina dan Oscar kepada kedua orang tua Herman datang. Lima belas menit kemudian di susul oleh kedatangan oma opa, yaitu kedua orang tua Gladys. Namun sampai semua yang diundang datang, Herman masih belum muncul juga. Tidak ingin membuat semua orang bosan menunggu, Gladys segera mengeluarkan kue ulang tahun yang sejak pagi disembunyikan di kamarnya. Dina bersorak kegirangan melihat sebuah kue ulang tahun berbentuk hati berwarna ungu, di dekorasi dengan kembang gula berbentuk bunga beraneka warna. Sorakan Dina disambut gelak tawa kakek nenek dan oma opa. Menjelang pukul 20.00, karena tidak melihat tanda-tanda kedatangan Herman, akhirnya Gladys mempersilakan semua yang hadir untuk makan malam. Di balik senyumnya, Gladys menyimpan rasa marah yang sangat besar pada Herman. “Bagaimana bisa dia melewatkan hari ulang tahun anaknya tanpa memberi kabar jika memang dia berhalangan untuk pulang?” keluh Gladys dalam hatinya. Malam itu setelah semua tamu pulang, Gladys menemani Dina untuk membuka hadiah yang diterimanya hari ini. Ada boneka yang diberikan oleh kakek dan nenek, ada gaun baru berwarna ungu dari oma dan opa, serta beberapa mainan lain yang diberikan oleh teman kantor Gladys sejak kemarin, sehari sebelum hari ulang tahun, karena mereka tahu Gladys pasti mengambil cuti pada setiap hari ulang tahun anak-anaknya. Dina dan Oscar memang mendapat tempat spesial di hati teman-teman kantor Gladys karena kedua anak itu setiap hari datang ke kantor tersebut. Makanya mereka tidak melewatkan moment ulang tahun Dina di tahun ini dan tidak lupa patungan untuk membeli hadiah. Selesai membuka semua hadiah, Dina dan Oscar masuk ke kamar untuk tidur. Seperti biasa Gladys menemani mereka berdua untuk menyikat gigi terlebih dahulu dan berdoa sebelum tidur. Selanjutnya Gladys kembali ke dapur untuk mencuci piring-piring bekas makan malam tadi, melap meja makan yang kotor, dan mengepel lantai. Lewat tengah malam barulah pekerjaan Gladys selesai, namun Herman masih belum juga pulang. Gladys masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, mengenakan pakaian tidur lalu naik ke ranjang untuk beristirahat. Tubuhnya sangat lelah, tetapi pikirannya tidak bisa beristirahat. Ia terus bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan oleh Herman sampai melewatkan makan malam ulang tahun Dina dan belum juga pulang padahal ini sudah lewat tengah malam. Sementara itu di kamar yang lain, Dina masih belum juga bisa tidur. Dina tidak dapat memejamkan matanya karena terus memikirkan di mana ayahnya. Oscar sudah tertidur nyenyak dan mendengkur dengan sangat keras, tetapi Dina masih bolak balik ke jendela untuk melihat apakah ayahnya sudah datang atau belum. Berkali-kali ia melakukan itu sampai akhirnya dia tertidur. Dini hari, Dina terbangun karena mendengar suara pintu di buka dari luar. Dina mengintip melalui celah pintu dan mendapati bahwa yang datang itu memang ayahnya. Beberapa saat kemudian, Dina mendengar suara berisik dari kamar sebelah. “Ini sudah jam 4 pagi, Papa dari mana?” Tanya Gladys dengan marah. “Papa harus mengawal atasan Ma,” Jawab Herman singkat tanpa menatap Gladys yang telah beranjak dari tempat tidur dan berdiri tepat di sampingnya. “Mengawal atasan dalam keadaan mabuk?” Tanya Gladys dengan tidak percaya, karena mencium aroma minuman keras yang sangat kuat dari tubuh Herman. “Selesai mengawal, papa kumpul dengan teman-teman lain sebentar Ma. Ada yang mentraktir untuk minum jadi akhirnya kami semua minum,” “Tapi semalam itu makan malam ulang tahunnya Dina, Pa!” nada bicara Gladys sudah mulai meninggi mendengar jawaban Herman yang begitu enteng tanpa rasa bersalah. “Papa minta maaf Ma,” belum selesai Herman bicara, Gladys sudah memotong ucapannya, “Dina pasti sangat kecewa Pa!” “Papa akan bicara dengan Dina nanti ya Ma, sekarang tolong biarkan papa tidur dulu, papa mengantuk.” Gladys sangat kesal dengan perilaku Herman kali ini. Sementara itu Dina mendengar semua pembicaraan kedua orang tuanya dari balik dinding kamarnya. Dina menangis karena ketakutan. Ia tidak pernah mendengar orang tuanya bertengkar sekalipun seumur hidupnya. Ini adalah pertengkaran pertama yang terdengar olehnya.   * * *   Hari-hari berganti, Dina telah melupakan kejadian pada hari ulang tahunnya itu. Dina tidak memberitahukan kepada siapapun bahwa ia mendengar pertengkaran ayah dan ibunya. Ia berpura-pura tidak tahu bahwa ayahnya pulang dalam keadaan mabuk pada dini hari setelah ulang tahunnya. Ayah dan ibunya juga sudah akur kembali dan rutinitas mereka berjalan seperti sedia kala.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD