Mencurigai Helen

1541 Words
Bab 69 Mencurigai Helen   Kisruh yang terjadi antara Gladys dan Dina telah berakhir setelah Gladys setuju untuk mengakui kondisi kesehatannya yang sebenarnya. Dina banyak berubah setelah ibunya sakit. Dina sekarang menjadi lebih sering membantu pekerjaan rumah tangga ibunya saat ia berada di rumah. Ia juga sudah jarang pergi nongkrong dengan Helen dan Kevin saat pulang kuliah. Ia selalu memilih untuk langsung pulang ke rumah saat jam kuliah berakhir. “Ma, Sabtu besok Anastasia jadi berkunjung ke sini, ya!” kata Oscar saat sarapan pagi bersama ibu dan kakaknya sebelum mereka semua berangkat untuk beraktifitas. “Mau dimasakin lagi seperti yang waktu itu?” Tanya Gladys. “Iya Ma.” Jawab Oscar sambil mengangguk dan tersenyum. “Ya sudah, nanti mama buatkan makanan yang enak-enak.” Balas Gladys. “Pulang kantor nanti mama mampir ke supermarket untuk beli bahan-bahannya dulu.” Oscar kemudian mengeluarkan dompet dari saku celana bagian belakanganya. Ia lalu mengambil dua lembar uang seratus ribu rupiah dan meletakkannya di atas meja di dekat ibunya. “Pakai uang Oscar saja ya, Ma. Ini kan tamunya Oscar…” Katanya. Gladys menatap uang yang diletakkan Oscar di atas meja itu, sambil tersenyum Gladys pun mengangguk. Itu adalah uang pertama yang diberikan oleh Oscar kepada ibunya. Sebelumnya saat ia menerima penghasilannya yang pertama, ia hanya mentraktir ibu dan adiknya makan di luar. Kali ini karena akan mengajak Anastasia untuk makan di rumah, apalagi ini adalah kali yang kedua, maka Oscar merasa tidak enak sehingga memilih untuk memberi uang belanja kepada ibunya. “Kak, aku diberi uang juga dong. Selama kakak bekerja aku belum pernah diberi uang jajan tuh!” Rengek Dina. Oscar menggaruk kepalanya yang tidak gatal kemudian menatap ibunya sambil tersenyum. Ia lantas mengeluarkan dompetnya lagi dari dalam saku dan mengambil selembar uang lima puluh ribu rupiah dan memberikannya kepada Dina. “Segini saja ya, kamu tahu sendiri kan gaji seorang polisi itu tidak banyak apalagi yang pangkatnya masih rendahan seperti aku ini.” Kata Oscar. “Lagi pula aku sedang berhemat.” Dina tersenyum dan mengangguk ketika menerima uang itu. “Segini juga nggak apa-apa kok, terima kasih ya kak!” Balas Dina. “Tapi bulan depan lagi ya?” Lanjut Dina. Perkataan Dina itu membuat tawa Gladys dan Oscar kompak pecah. “Iya… Iya…” Oscar tampak mengiyakan dengan berat hati. Selesai sarapan, Dina dan Oscar pun berangkat bersama dari rumah. Sementara Gladys masih membereskan piring-piring kotor dan beberapa peralatan dapurnya terlebih dahulu sebelum ia berangkat ke kantor. Dalam perjalanan menuju gerbang utama perumahan, Dina dan Oscar mengobrol. “Kak, gaji kakak itu dihemat-hemat kakak mau beli apa sih?” Tanya Dina dengan penasaran. “Aku ingin punya motor sendiri.” Jawabnya. “Biar bisa jemput pacar kakak kalau mau pergi keluar, ya kan?” Ledek Dina. “Aku malu sebenarnya mengatakan ini.” Oscar tiba-tiba memelankan suaranya. Dina lantas menatap wajah kakaknya. “Malu kenapa?” “Aku selalu mendapat pacar dari kalangan berada. Sebelumnya Karen dan sekarang Tasia. Tasia memang tidak sekaya Karen, namun dari penghasilannya ia sudah bisa membeli mobil biarpun katanya itu masih sedang dicicil. Sementara aku, aku bahkan tidak punya motor. Aku selalu datang dengan naik angkot atau berjalan kaki ketika akan menemuinya. Ini menyangkut harga diriku sebagai laki-laki.” Dina mengangguk mendengar curahan hati dari kakak itu. “Bagaimana menurutmu, Din? Biasanya kamu punya pendapat-pendapat bijak, kan?” Tanya Oscar. “Hmmm… Mungkin keinginan untuk memiliki motornya sih benar, hanya motif di balik itu saja yang belum tepat ya!” Balas Dina. “Belum tepat gimana?” Tanya Oscar. “Kakak ingin punya motor bukan karena kakak butuh, misalnya untuk pulang pergi kantor agar bisa mempersingkat waktu perjalanan, tetapi lebih karena merasa harga diri kakak di depan gadis itu ditentukan oleh apa yang kakak punya. Seharusnya tidak seperti itu. Kakak tidak harus malu ketika dia punya mobil sendiri sementara kakak datang menemuinya dengan naik angkot atau berjalan kaki. Toh pada awalnya juga kalian sama-sama tidak tahu soal itu kan? Kakak tidak tahu kalau dia punya mobil dan dia juga tidak tahu kalau kakak tidak punya kendaraan sendiri. Mencampur adukkan hubungan cinta dan urusan harga diri yang dilandasi akan materi itu membuat hubungan itu menjadi tidak murni lagi!” Oscar memasang wajah serius. Ia merenungkan apa yang dikatakan oleh Dina barusan. “Aku akan memikirkan perkataanmu lagi nanti. Aku rasa itu memang ada benarnya. Tapi sebentar, kamu selalu sangat dewasa saat berkomentar tentang permasalahan hidup orang lain, kamu belajar dari mana sih?” “Bakat alami, kak!” Jawab Dina kemudian tertawa. Tidak lama setelah itu mereka pun berpisah karena akan melanjutkan perjalanan ke tempatnya masing-masing.   Ketika Dina sedang menunggu angkot di depan gerbang perumahan, mobil Kevin tiba-tiba menepi tepat di depan Dina. “Yuk neng…” Kata Kevin ketika kaca mobilnya diturunkan. Dengan tertawa, Dina pun segera masuk ke mobil Kevin. “Jemputnya nggak pake ngomong-ngomong dulu ih…” kata Dina. “Aku sudah parkir dari tadi di bawah pohon sana,” kata Kevin sambil menunjuk ke arah pohon perindang yang kira-kira berjarak dua puluh meter dari tempat Dina menunggu angkot. “Aku melihat ada kakakmu jadi aku tidak langsung mendekatimu.” “Begitu ya, terus setelah ini kita jemput Helen?” Tanya Dina. “Tidak. Dia katanya akan berangkat sendiri ke kampus.” Jawab Kevin kemudian menjalankan mobilnya kembali. “Lho kok gitu? Tumben dia menolak dijemput.” “Ini yang ingin aku bicarakan denganmu!” Dina spontan menatap Kevin dengan wajah serius. “Kamu tahu kan semalam Helen pergi berkencan dengan Jeff?” Tanya Kevin “Iya, bukankah dia mengatakan soal rencana itu kemarin saat kita berada dalam perjalanan pulang?” Balas Dina. “Aku curiga telah terjadi sesuatu diantara mereka!” “Sesuatu seperti apa?” Dina masih tidak mengerti dengan maksud perkataan Kevin. “Helen mengatakan bahwa mereka tidak pergi berkencan di tempat umum seperti biasa. Jeff membawanya ke salah satu rumah milik keluarga Jeff yang kebetulan tidak mereka tempati. Kata Helen mereka hanya mampir untuk membeli burger dan kentang goreng melalui drivethru dan langsung menuju ke sana. Setelah itu Helen tidak membalas pesanku lagi. Pagi ini ketika aku bertanya mau dijemput atau tidak, dia mengatakan tidak usah karena hari ini dia akan berangkat sendiri ke kampus. Menurutmu, ini aneh atau tidak?” “Hmmm… Apa Helen bermalam di tempat Jeff ya?” Dina menduga. “Aku tidak ingin mendengar kamu mengatakan itu karena itu juga yang ada di otakku saat ini.” Dina menatap Kevin dengan wajah prihatin. “Semoga saja ini hanya imajinasi liar kita berdua.” Kata Dina untuk menenangkan Kevin. “Aku sangat ingin tahu.” Balas Kevin. “Apa yang akan kamu lakukan jika itu benar?” “Aku berharap itu tidak benar. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi kalau yang kita bayangkan itu sampai benar. Dan jika itu tidak benar, maka aku akan langsung merebutnya dari Jeff. Aku tidak mau Jeff sampai merusaknya terlebih dahulu!” Dina mengangguk. Sejak semalam Dina memang tidak berkomunikasi dengan Helen lagi karena ia tahu Helen punya janji kencan bersama Jeff. Ia takut akan mengganggu kencan mereka tetapi ia sama sekali tidak menyangka bahwa mungkin hal besar yang ditakutkan oleh Kevin itu sudah terjadi semalam. Kevin mengemudi dengan sangat lambat. Pikirannya melayang kemana-mana. Ia sampai di klakson berkali-kali oleh pengemudi di belakangnya ketika ia berjalan terlalu lambat di jalan yang lengang pagi itu. Mereka tiba di kampus sekitar lima belas menit sebelum kelas dimulai. Ketika hendak memarkirkan mobilnya di pelataran parkir, mereka melihat Helen yang baru turun dari sebuah mobil jenis truk mewah tipe double cabin berwarna abu-abu metalik. “Apa itu mobilnya Jeff?” Tanya Kevin kepada Dina. “Aku tidak tahu. Sebelumnya saat ke pantai dia menggunakan mobil yang berbeda. Aku tidak tahu jika dia punya mobil yang lain.” Jawab Dina. Kevin lantas memarkirkan mobilnya tepat di samping mobil truk yang membawa Helen itu. Sepintas lalu Kevin dapat melihat seorang pria dengan rambut yang dicepol di dalam mobil itu. “Itu memang Jeff!” kata Kevin. Dina celingak-celinguk berusaha melihat pria yang ada di dalam mobil. “Iya Kev, itu memang Jeff.” Kata Dina ketika ia berhasil melihatnya. “Biasanya dia sangat sibuk, kenapa pagi ini dia punya waktu untuk mengantar Helen kuliah?” Tanya Dina yang merasa ganjil dengan pemandangan pagi itu. “Bisa jadi karena mereka bermalam bersama.” Tebak Kevin. “Hey jangan bilang begitu lagi!” Kata Dina sambil menepuk pundak Kevin. “Imajinasimu terlalu liar pagi ini, mungkin semalam kamu terlalu banyak minum bir.” “Aku tidak minum Din, aku justru terjaga semalaman menunggu kabar dari Helen. Jaga-jaga kalau ia butuh bantuanku atau minta dijemput dari kencan yang gagal, dan sepertinya semalam kencan mereka berhasil.” Katanya dengan wajah murung. “Biar aku yang memastikannya pada Helen hari ini. Kamu jangan dulu menanyakan ini kepadanya. Biar sesama wanita yang menggali informasi.” “Setelah itu beritahukan padaku ya?” “Iya!” “Janji ya Din, jangan pake bohong?” Kevin memastikan. “Iyaaaaaa!” seru Dina. “Sekarang ayo kita turun dan temui mereka. Pasang wajahmu yang paling ceria, jangan biarkan Jeff melihat ekspresi cemburu itu ada di wajahmu!” Kevin menata rambutnya sedikit dan bercermin di kaca spion tengah mobilnya. Setelah memastikan penampilannya sudah oke, ia pun mematikan mesin mobil dan turun untuk menyapa Helen dan Jeff. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD