Dina Pulang

1743 Words
Bab 68 Dina Pulang   Hari itu Gladys minta izin untuk tidak masuk kantor dengan alasan ia sedang sakit, meskipun alasan sebenarnya adalah karena ia harus pergi mencari Dina. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan menyiapkan makanan untuk Oscar, Gladys segera berangkat tanpa menunggu Oscar pulang dari dinas malamnya terlebih dahulu. Gladys terlalu cemas akan keadaan Dina sehingga ia tidak bisa menunggu lagi. Pertama Gladys berangkat menuju ke rumah Helen terlebih dahulu. Ia ingin menemui Helen karena ia yakin Helen pasti tahu sesuatu. Namun pembantu rumah tangga di rumah Helen mengatakan kalau Helen sudah keluar rumah sejak pagi hari sebelum pukul tujuh. Gladys sangat kecewa karena tidak bisa mendapatkan informasi yang ia butuhkan dari Helen tentang keberadaan Dina. Tidak kehilangan akal, selanjutnya Gladys berpura-pura datang berkunjung ke rumah orang tuanya untuk memeriksa apakah Dina ada di sana atau tidak. Hasilnya nihil, orang tuanya bahkan bertanya tentang kabar Dina dan Oscar kepada Gladys. Itu menandakan kalau Dina tidak pernah datang ke rumah oma dan opanya selama ini. Ketika sedang dalam perjalanan menuju ke kampus Dina dari rumah orang tuanya, Gladys menerima telepon dari Oscar yang menanyakan apakah Dina sudah ditemukan atau belum.  Gladys mengatakan bahwa ia masih sedang dalam perjalanan menuju ke kampus Dina untuk mencarinya di sana. Oscar menyarankan ibunya untuk melapor ke kantor polisi saja karena itu sudah lebih dari dua puluh empat jam setelah Dina terakhir kali terlihat. Jika ibunya telah membuat laporan di kantor polisi, maka polisi akan mulai bergerak mencari Dina termasuk di rumah-rumah sakit, jaga-jaga kalau orang yang sedang dicari selama ini ternyata mengalami sakit atau kecelakaan. Demikian penjelasan yang diberikan oleh Oscar kepada ibunya melalui telepon. “Tunggu saja di rumah, Os. Mama yakin sekali Dina akan pulang hari ini!” kata Gladys kepada Oscar. Gladys tiba di kampus Dina sekitar lima belas menit menjelang pukul sepuluh. Ia menunggu di pos penjagaan yang ada di samping gerbang utama. Ia yakin sekali Dina akan melewati pos itu dan ia bisa segera menemukan Dina atau setidaknya melihat Dina berada dalam keadaan baik-baik saja pun sudah bisa membuat Gladys bernapas lega. Hingga lewat pukul sepuluh, Dina yang ditunggu pun masih tidak kunjung lewat. “Apa dia tidak datang ya?” Tanya Gladys dalam hati. Gladys terus menunggu di pos itu hingga jam makan siang tiba. Ketika mahasiswa mulai melewati pos penjagaan di gerbang utama itu untuk pergi makan siang di luar kampus, Gladys memberanikan diri untuk menanyai mereka satu demi satu apakah ada yang mengenal Dina. Semua yang Gladys tanyai mengatakan bahwa mereka tidak mengenal seseorang bernama Dina yang Gladys maksud. Mungkin sudah lebih dari dua puluh orang mahasiswa yang Gladys tanyai tanpa hasil, hingga akhirnya ia menemukan orang yang mengenal Dina. Itu adalah gerombolan anak laki-laki dari jurusan yang sama dengan Dina yang sering duduk bersama dengan Dina dibawah pohon ketapang kala menantikan pergantian jam kelas. “Oh Dina, dia ada kok hari ini. Dia masuk kelas mulai dari yang jam sepuluh sampai jam dua belas yang barusan bubar ini, Tante.” Kata salah satu dari mereka dan dibenarkan oleh teman-temannya. “Apa dia baik-baik saja?” Tanya Gladys. “Iya, dia terlihat baik-baik saja seperti biasa.” Jawab salah satu yang lain. “Sejak tadi tante menunggu di pos ini tapi tidak melihat Dina datang, kira-kira dia masuk lewat mana ya?” “Pintu masuk dan keluar hanya melalui gerbang ini, Tante, tapi alasan tante tidak melihat kedatangan Dina itu adalah karena ia biasanya datang dan pulang bersama Helen, mereka biasanya akan menumpang mobil teman laki-laki mereka, tapi mobilnya kami tidak ingat warna dan jenisnya.” Gladys mengarahkan pandangannya ke arah pelataran parkir dan melihat ratusan mobil yang terparkir di sana. “Bagaimana aku bisa menebak yang mana mobil yang selalu ditumpangi Dina?” Pikir Gladys. “Ya sudah, terima kasih ya dik. Nanti kalau bertemu Dina di kelas, katakan saja kepadanya kalau mamanya tadi datang mencarinya di kampus, ya?” “Iya Tante, kami memang akan sekelas lagi dengan Dina di jam satu nanti.” “Terima kasih ya. Tante pamit pulang dulu.” Gladys kini bisa bernapas dengan sedikit lebih lega karena mengetahui Dina baik-baik saja dan hari ini pergi ke kampus. Dalam perjalanan pulang dari kampus Dina, Gladys menghubungi Oscar dan memberitahu Oscar bahwa Dina hari ini datang ke kampus dan dia baik-baik saja, meskipun Gladys tidak melihatnya secara langsung.   Sementara itu Dina, Helen dan Kevin sedang makan siang di café yang ada di dalam kampus. “Kev, hari ini antarkan aku pulang ya?” Kata Dina. “Sudah mau pulang?” Tanya Kevin. Dina menganggukkan kepalanya, tanpa menjawab pertanyaan Kevin. “Kenapa sudah mau pulang, tidak enak berada di rumahku ya?” Tanya Kevin lagi. “Enak sih enak ya, apalagi semuanya gratis di sana. Hanya saja, mau sampai kapan juga aku di sana, kan?” Balas Dina. “Baru juga sehari kan, Din!” Ujar Kevin. “Aku masih bisa memberimu makan setidaknya sampai seminggu lah. Setelah itu kita bisa pergi mengemis bersama di lampu merah.” Katanya lagi kemudian tertawa dengan sangat keras. Helen dan Dina ikut tertawa mendengar lelucon yang diberikan oleh Kevin. “Apakah sebesar itu biaya untuk menghidupiku?” Tanya Dina dengan wajah serius. Helen dan Kevin kembali tertawa mendengar pertanyaan polos dari Dina itu. “Dina, kamu memang masih anak-anak. Kamu memang sebaiknya kembali ke rumahmu, nanti aku antar. Aku bisa stress jika harus menjawab pertanyaan-pertanyaan polos seperti itu kalau kamu tinggal lebih lama bersamaku!” “Maafkan aku…” Rengek Dina. Helen dan Kevin hanya bisa saling berpandangan dan tertawa melihat betapa kekanak-kanakkannya sikap sahabat mereka itu.   Selesai makan siang mereka kembali masuk ke kelas mereka masing-masing. Selanjutnya mereka akan bertemu lagi untuk pulang bersama pada pukul empat sore. Selama mengikuti kelas siangnya, Dina mendapat pesan dari teman-temannya yang tadi bertemu dengan ibunya di gerbang. Dina kini menjadi tahu kalau ibunya tadi sempat datang mencarinya ke kampus. Dina terus memikirkan bagaimana nanti ia akan bertemu dengan ibu dan kakaknya setelah ia kabur dari rumah selama lebih dari dua puluh empat jam. Namun ia berpikir bahwa ia tidak punya pilihan selain pulang dan mengakhiri kekhawatiran yang dirasakan oleh ibunya.   Sore itu, Dina pun pulang dengan diantar oleh Helen dan Kevin. Kevin tidak ikut turun, hanya Helen yang mengantar Dina sampai ke rumahnya. Kevin memilih untuk tetap menunggu di dalam mobil hingga Helen kembali. Dina dan Helen berjalan kaki memasuki kompleks perumahan dinas. Helen membantu membawakan barang Dina yang lain sementara Dina terlihat sedikit kesulitan membawa ransel berisi pakaian yang cukup berat itu. Saat pergi Dina membawa terlalu banyak pakaian karena ia berpikir bahwa ia mungkin akan pergi lebih dari tiga hari, nyatanya ia hanya sanggup berada jauh dari ibunya selama satu hari saja. Dina mengetuk pintu rumahnya dan ketika pintu itu dibukakan, ternyata yang membukakan pintu untuk mereka adalah ibunya sendiri. Gladys begitu bahagia melihat kepulangan Dina. Ia tidak sempat mengatakan apapun, ia hanya langsung memeluk Dina dan menangis. “Ma…” Kata Dina sambil menangis. “Na, jangan pergi lagi ya!” Balas Gladys. Dina tidak menjawab, ia hanya mengangguk. Helen ikut terharu melihat pemandangan itu, air matanya nyaris jatuh. “Dina, tante, Helen pamit pulang dulu ya…” Pamit Helen kepada mereka kemudian pergi. Ia kembali kepada Kevin yang menunggunya di dalam mobil, di tepi jalan raya.   Gladys telah menyiapkan makan malam untuk Dina. Dina pun segera duduk di depan meja makan dan hendak menyantap makan malam itu bersama ibunya. Oscar yang baru keluar dari kamar mandi, terkejut melihat Dina yang baru saja pulang dan sudah disambut oleh ibunya dengan penuh kegembiraan. “Dari mana saja kamu?” tanya Oscar dengan marah. Dina terkejut mendengar suara penuh amarah dari kakaknya itu. “Aku menginap di rumah teman.” Jawab Dina. “Yang pasti itu bukan di rumahnya Helen, kan?” Desak Oscar. “Itu bukan urusan kakak.” Balas Dina. Jawaban Dina itu ternyata membuat Oscar semakin marah. Ia lalu mendekati Dina dan justru menampar Dina di pipi kanan sebanyak satu kali. Plak! Suara tamparan itu begitu keras. Selanjutnya Dina merasakan pipinya perih dan panas. Tamparan keras dari tangan Oscar yang begitu besar bahkan sampai meninggalkan bekas di wajah Dina. “Oscar, apa yang kamu lakukan?” Teriak Gladys. Ia bangkit dari kursinya dan mendorong Oscar agar menjauh dari Dina. Sementara itu Dina hanya bisa menangis. “Kamu anak perempuan tapi keluyuran sampai tidak pulang seperti anak laki-laki saja!” Tambah Oscar. “Oscar, ini semua kesalahan mama!” Potong Gladys. “Dina yang keluyuran, mengapa ini malah jadi kesalahan mama?” protes Oscar. “Mama terlalu membela Dina!” “Os, kamu harus tahu sesuatu.” Kata Gladys dengan nada bicara yang lebih rendah. “Semua yang Dina tuduhkan kepada mama serta semua yang mama sangkal, sebenarnya itu adalah kenyataannya.” Oscar begitu terkejut. Ia sampai harus duduk karena cukup syok mendengar pengakuan secara tidak langsung yang dibuat oleh ibunya itu. “Dina mengatakan mama sakit, Dina mengatakan menemukan hasil pemeriksaan mama, itu semua memang benar, Os. Pada saat itu kenapa mama menolak untuk mengaku? Karena pada saat itu diri mama sendiri pun sedang menyangkal kenyataan tersebut. Ketika Dina pergi dari rumah barulah mama menyadari bahwa seharusnya mama menerima kenyataan itu agar mama bisa mengakuinya kepada kalian, bahwa mama memang sakit.” “Mama sakit kanker p******a stadium 1A. Mama dijadwalkan untuk menjalani pembedahan pada dua minggu yang akan datang.” Pengakuan Gladys itu disambut tangis kesedihan oleh Dina dan Oscar. Mereka sangat takut ibunya akan kenapa-kenapa saat menjalani pembedahan namun hal yang lebih berbahaya justru bisa terjadi jika pembedahan itu tidak segera dilakukan. Mereka bertiga menangis bersama di dekat meja makan itu. Gladys memeluk Dina yang sedang duduk dari belakang sementara Oscar dengan tangannya yang besar itu ia memeluk ibu da adiknya sekaligus. Malam kepulangan Dina itu dilewati dengan suasana yang begitu sedih. Tanpa ia sangka-sangka dan tanpa perlu ia bersusah payah mengajak ibunya berbicara, ibunya justru mengakui hal itu seorang diri di depan mereka. “Mulai sekarang tolong jangan ada rahasia lagi di antara kita ya, Ma?” Pinta Oscar. “Bukankah hal semacam ini tidak akan sampai terjadi jika sejak awal mama bersedia untuk mengakuinya?” “Mama sendiri tidak bisa menerima kenyataan kalau hal itu menimpa mama, bagaimana mama bisa mengakuinya?” Balas Gladys. “Tetapi sekarang mama berjanji untuk memberitahu kalian semua yang perlu kalian ketahui dan mengajak kalian untuk ikut bertukar pikiran jika ada masalah yang harus kita selesaikan bersama-sama. Mama berjanji!” Tangis mereka bertiga pun berubah menjadi senyuman. Mereka bertiga berpelukan sekali lagi, kemudian bersama-sama menikmati makan malam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD