Nelangsa

1486 Words
Bab 60 Nelangsa Dina yang masih dalam keadaan terguncang, mengambil ponselnya dari dalam tas dan menghubungi Helen. Saat itu Helen sudah dalam perjalanan menuju ke kampus. Ada perasaan tidak enak yang Helen rasakan saat mendengar Dina mengatakan kalau ada hal yang perlu ia cari tahu tadi pagi ketika mereka mengobrol di telepon, membuat Helen memutuskan untuk berangkat ke kampus lebih awal juga. Dina tidak bisa berkata apa-apa, yang bisa ia lakukan hanyalah menangis. “Dina, ada apa ini?” Tanya Helen begitu panggilan telepon tersambung dan yang Helen dengar hanyalah suara tangis Dina saja. “Din, aku sudah dalam perjalanan ke kampus kok. Kamu tenang dulu ya!” Bujuk Helen. “Katakan kamu ada di mana sekarang?” Tanya Helen lagi. Dina tidak bisa menjawab pertanyaan Helen karena ia terus terisak hingga kesulitan bernapas. “Kirimkan pesan untuk memberitahu di mana lokasimu. Aku sudah tidak lama lagi akan berada di sana. Tenang ya…” Bujuk Helen lagi. Dina menutup telepon kemudian melakukan seperti yang diminta oleh Helen yaitu mengirimkan pesan tentang di mana ia kini berada. Helen turun dari angkot yang ia tumpangi dan segera beralih untuk melanjutkan perjalanannya dengan ojek agar bisa lebih cepat sampai. Ia sangat cemas mendengar tangis Dina siang itu. Dina adalah gadis terkuat yang pernah dikenal Helen namun kali ini mendengar Dina menangis seperti itu, Helen justru menjadi takut karena itu menandakan bahwa ini bukanlah masalah biasa. Dina tidak menangis terisak-isak kala Kevin menolak perasaannya atau saat mengetahui Gilbert yang membuatnya jatuh cinta adalah ayah yang mengabaikan seorang bayi. Sementara itu di dalam warung internet Dina masih menangis terisak-isak, pemilik tempat itu yang cukup familiar dengan wajah Dina bahkan sampai harus memberinya sebotol air mineral untuk menenangkannya. Untung saja saat itu suasana di warung internet tersebut cukup sunyi, sehingga tangis Dina tidak akan menjadi bahan pergunjingan banyak orang dan menciptakan kesalahpahaman tentang apa yang sedang terjadi kepada dirinya. Helen menerima pesan yang dikirimkan oleh Dina tadi dan tiba di warung internet itu hanya dalam waktu lima belas menit. Begitu masuk, Helen sudah bisa melihat bahwa Dina masih berada di meja paling pojok, tempat favoritnya. Pemilik warung internet menyapa Helen. “Mencari gadis yang sedang menangis itu?” Tanya pemuda gemuk yang umurnya kira-kira sebaya dengan mereka. Dia adalah pemilik warung internet itu. “Iya.” Jawab Helen kemudian bergegas menuju ke tempat Dina berada. Helen mengeluarkan tisu travel pack dari dalam tasnya dan mulai menghapus air mata yang terus mengalir membasahi pipi Dina. “Din, bagaimana kalau kita pulang saja?” Usul Dina. “Hari ini tidak usah kuliah dulu ya?” Dina menggelengkan kepalanya. Helen lantas mematikan komputer yang tadi digunakan oleh Dina dan pergi membayar tagihannya di kasir. Ketika tangis Dina mereda, Helen membantu Dina bangkit dari kursinya. Helen memapah Dina berjalan kembali ke kampus. Dina terlihat begitu kacau. Semua orang yang berpapasan dengan mereka, tidak ada satu pun yang tidak melirik ke arah mereka berdua. Keadaan Dina yang terlihat begitu berantakan dengan air mata yang terus mengalir membuat ia menjadi pusat perhatian. Mereka berdua lantas duduk di bawah pohon ketapang tempat mereka biasanya duduk untuk menunggu kelas dimulai. Dina menghapus air matanya dengan tisu milik Helen. Tangisnya kini berangsur mereda. “Sekarang apa kamu sudah bisa mulai menceritakannya kepadaku?” Tanya Helen. “Mamaku…” Dina mulai berbicara dengan suara bergetar karena menahan tangisnya agar tidak pecah lagi. “Iya, ada apa dengan mamamu?” Tanya Helen dengan penasaran. “Mamaku sakit.” Jawab Dina dengan air mata yang kembali menetes dengan deras. “Sakit apa, apakah itu parah?” Helen semakin penasaran. “Mama sakit kanker p******a, Len.” Jawab Dina dan tangisnya pun pecah. Helen segera merangkul Dina dan membiarkan temannya itu menangis di pundaknya untuk beberapa saat. Helen juga sama terkejutnya. Ia tidak menyangka jika ibu Dina menyimpan penyakit seserius itu. “Sabar ya Din, mama pasti sembuh kok!” Helen mencoba membesarkan hati Dina. “Aku tidak sengaja menemukan amplop yang berisi hasil biopsi milik mama. Aku berangkat lebih awal ke kampus agar aku bisa melakukan pencarian di internet tentang istilah-istilah medis yang tertulis di sana.” Dina berhenti sesaat untuk menghapus air matanya. Dina kemudian melanjutkan, “Selama ini mama ternyata sudah bolak balik ke dokter untuk memeriksakan dirinya dan aku tidak tahu apapun. Aku tidak tahu apakah kakakku sudah tahu hal ini atau belum. Namun sepertinya mama merahasiakan semuanya dari kami.” Helen mengangguk tanda ia memahami cerita Dina. “Aku rasa mama bukannya sengaja ingin menyembunyikan itu dari kalian. Dia mungkin masih mencari waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini dengan kalian. Ini bukan hal yang bisa dengan mudah dan cepat untuk diterima. Bahkan kalau menurut dugaanku, mama sendiri pun masih belum menerima keadaan ini, Din.” Ucapan Helen membuat pandangan Dina berubah. “Bisa jadi begitu ya…” ujar Dina. “Sebaiknya kamu tidak mendesak mama untuk menceritakan perihal penyakitnya ini kepada kalian. Jika kamu mendesak mama, maka ia mungkin akan semakin tertekan. Keadaan tertekan atau stress bisa membuat kondisi kesehatannya memburuk. Yang terpenting adalah kamu sudah lebih dulu mengetahui hal ini, soal kapan mama akan terbuka kepada kalian, aku pikir kamu hanya bisa menunggu.” Dina mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. “Kalau kamu merasa suasana hatimu tidak cukup baik hari ini, maka pulanglah dan beristirahat di rumah, jangan memaksakan dirimu untuk kuliah dulu.” “Tidak apa-apa kok Len, kelasku hari ini hanya ada tiga. Aku masih bisa menanganinya!” Helen lantas menggenggam tangan Dina. “Apa kamu yakin?” Tanya Helen. Dina pun mengangguk. Kelas mereka dimulai pada pukul satu siang dan akan berakhir pada pukul empat sore nanti. Sepanjang tiga jam mengikuti tiga kelas yang berbeda, pikiran Dina terus mengembara entah kemana. Ia berharap kelasnya cepat selesai. Ia ingin bisa segera pulang dan memeluk ibunya erat-erat. Dina tidak ingin kehilangan ibunya, sebab hanya ibulah satu-satunya yang merawatnya sejak kecil begitu ayah pergi dan mengabaikan mereka. Dengan hati yang begitu pilu, disertai deraian air mata yang belum berhenti mengalir, Dina tidak dapat berkonsentrasi untuk belajar. Dalam hatinya ia terus berdoa kepada Tuhan agar menyembuhkan ibunya. Ia telah mengucapkan doa yang sama mungkin sebanyak ratusan kali sepanjang tiga jam ia mengikuti kuliah. Hal yang dialami Dina membuat Helen juga tidak bisa berkonsentrasi saat mengikuti kelas. Sikap Helen yang tidak biasa itu menarik perhatian Kevin. Meskipun mereka telah cukup lama saling menjaga jarak dan membatasi komunikasi di antara mereka berdua, namun sikap gelisah yang Helen tunjukkan hari itu membuat Kevin memberanikan diri untuk menanyakan ada apa dengan dirinya. Ketika kelas berakhir pada pukul empat sore, Kevin mencegat Helen yang hendak keluar dari kelas. “Len, kamu kenapa?” Tanya Kevin. “Tidak ada apa-apa kok.” Jawab Helen. “Semua orang bisa melihat kamu tidak tenang sejak tadi. Kamu terus merubah posisi duduk, pandangan matamu kebanyakan mengarah ke luar atau ke lantai, bukannya ke arah dosen. Kamu tidak sedang baik-baik saja!” “Kev, ini bukan tentang aku.” Bantah Helen. “Lantas? Tentang Jeff?” “Tentang Dina!” “Ada apa dengan Dina?” “Mamanya sakit kanker.” Kevin tampak sangat terkejut mendengar kata-kata Helen itu. “Benarkah?” Tanyanya, tak percaya. “Dia menangis sejak tadi pagi dan aku yakin dia masih menangis sampai saat ini dan bahkan di semua kelas yang ia hadiri hari ini.” “Ayo kita temui dia!” Ajak Kevin yang dengan refleks menarik tangan Helen. Mereka berdua berlari menuruni tangga menuju ke pohon ketapang tempat Dina selalu menunggu mereka. “Kev, lepaskan tanganmu!” Protes Helen. “Oh maaf, aku hanya refleks saja.” Jawabnya. Begitu mereka tiba di sana, Dina telah menunggu sambil duduk termenung. “Maaf ya Din, kelasnya jauh di lantai lima. Jadi turunnya agak memakan waktu.” Kata Helen. “Ayo aku antar pulang!” Kevin menawarkan. Dina pun bangkit dari tempat duduknya dan dengan digandeng oleh Helen ia berjalan menuju ke mobil Kevin. Dalam perjalanan pulang, Dina lebih banyak termenung sembari meneteskan air mata. Sementara Helen yang menceritakan rentetan kejadian secara lengkap mulai dari tadi pagi kepada Kevin. “Din, mamamu pasti sembuh. Itu baru kanker stadium satu kok, masih bisa disembuhkan asal mamamu mau untuk segera menjalani pengobatan!” Dina tampak tidak mendengarkan perkataan Kevin. Ia hanya menatap keluar jendela dan termenung. Helen dan Kevin sangat prihatin melihat keadaan Dina saat itu. Ketika tiba di depan gerbang perumahan Dina, Kevin menawarkan untuk mengantarkannya sampai ke dalam. “Aku antar sampai depan rumah ya?” Katanya. “Tidak usah. Terima kasih.” Balas Dina. “Aku yang antar kalau begitu, ya?” Tanya Helen. “Tidak usah Len. Aku bisa kok berjalan sendiri ke dalam, aku baik-baik saja.” Jawab Dina. “Apa kamu yakin?” Tanya Helen lagi. “Iya.” “Ya sudah kalau begitu.” Helen pun mengalah. Dina kemudian turun dari mobil dan segera berjalan masuk melewati gerbang utama kompleks perumahan. Kevin dan Helen memperhatikan Dina untuk beberapa saat dan baru pergi ketika bayangan Dina sudah tidak terlihat lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD