03. Lingga Prabuyasa

1215 Words
"Nggak, Lingga cuma sehari kok di Jakarta." "Iya besok Lingga pulang, tapi Lingga nanti mampir kerumah Mama kok" "Waalaikumsalam, Ma" Lingga menutup ponselnya kemudian memasukkan benda tipis berlayar datar tersebut kedalam saku celana bahannya, pria itu lantas menyandarkan punggungnya pada kursi yang sedang ia duduki. Pikirannya kembali melayang pada kejadian beberapa jam yang lalu. Pada pembicaraan bodoh yang ia lakukan bersama wanita yang baru saja ia temui tadi. Lingga menahan senyumnya kala teringat wajah kesal hampir menangis milik Oza tadi. Entah kenapa ia jadi melanjutkan pembicaraan tidak masuk akal tadi bersama Oza. Tapi Lingga sangat berharap Oza besok kembali menemuinya sebelum ia kembali ke Bandung untuk memohon menghentikan hal gila yang ia lakukan. Lingga ingin melihat, seberapa peduli wanita itu. "Pak? Pak Lingga?" Lingga tersentak kaget, ia mendongakkan kepalanya menatap orang yang memanggil-manggil namanya didepan sana. "Ya, Aldo?" "Maaf Pak, tadi saya udah ngetuk pintu. Saya kira terjadi sesuatu dengan Bapak" "Tidak masalah" "Ini rincian pajak anak perusahaan Jakarta yang selesai di lakukan dua hari lalu" Lingga mengangguk kemudian menerima stop map yang diulurkan Aldo padanya. "Sudah kamu cek?" pria lulusan magister Manajemen dan Bisnis Universitas Oxford itu masih terfokus membaca rincian yang di berikan Aldo padanya, seraya membolak-balik data dominan angka tersebut tanpa minat. "Sudah, Pak" Lingga langsung menutup stop map yang tadi ia bolak-balik secara spontan kala mendengar perkataan dari sekretarisnya tersebut. Sudah jelas bukan? Ia tak perlu lagi membaca semacam hal tidak begitu penting ini. Ia percaya jika Aldo sudah memeriksanya terlebih dahulu sebelum pria itu memberikan pada dirinya, data itu bisa di jamin kemasuk akalannya. "Aldo," "Ya, Pak? Apa ada yang menggangu pikiran Bapak?" Aldo paham benar jika Bosnya ini setelah membaca rincian laporan yang ia berikan dan memanggil namanya secara tiba-tiba, ada saja data tidak valid yang tak sengaja ia lewatkan. Dan hal itu mampu membuatnya merasa ketar-ketir, walau baru disebut nama saja. "Tidak. Saya hanya ingin kamu pastikan kalau wanita yang melakukan negoisasi konyol bersama saya tadi datang lagi, langsung telepon saya kalau saya lagi tidak di kantor sini" "Baik saya akan menghubungi Bapak sesegera mungkin, tiga jam sebelum jam terbang Bapak saya tidak akan menghubungi Bapak lagi" "Tidak, tidak. Kapan pun wanita itu datang hubungi saya" Aldo terkejut bukan main. Pasalnya kebiasaan Lingga ini jika ia memiliki janji bertemu dengan koleganya, tapi di hari yang sama pria itu juga memiliki jam terbang, maka tiga jam sebelum waktu keberangkatannya tidak akan ia temui. Melainkan Aldo lah yang meng-handel. Dengan raut terkejut dan bingung luar biasa, Aldo mengangguk saja tanpa kembali membalas ucapan Lingga. Perintah Bos, sama dengan mutlak!   *** Pukul sembilan belas tiga puluh, Lingga memasuki kawasan perumahaan tempat tinggal orang tuanya. Satu tahun sudah ia tak pernah kembali ke daerah ini karena tuntutan pekerjaan. Selain itu, Lingga ini bukan lah tipe orang yang betah berlama-lama di dalam rumah. Mungkin semua waktunya lebih banyak ia habiskan di kantor dari pada dirumah. Di Bandung pun apartemen miliknya sangat jarang ia tinggali, walaupun sekedar tidur, Lingga lebih memilih tidur di kursi kebesarannya dari pada kasur empuk berukuran king size yang ada di apartemen elit miliknya. Jadi selain pemikiran yang gila, Pria ini juga gila bekerja? Seperti takut miskin saja orang ini! Heol! Pengeluaran pajak semua perusahaan miliknya saja hampir setara dengan subsidi listrik oleh pemerintah. Jadi apa yang pria ini takutkan? Harusnya pria ini takut akan umurnya yang semakin menua dan belum memiliki pasangan, bukan nya menghawatirkan pasang surut harga saham di bursa efek. Setelah sampai di pekarangan rumah orang tua nya, Lingga mematikan mesin mobil nya namun belum juga beranjak untuk keluar dengan sesegera mungkin. Ia harus menyiapkan jawaban yang berbeda dari tahun kemarin dan tentu saja harus masuk akal. Walaupun ia yakin benar Mama nya tak mungkin percaya begitu saja. Sepuluh menit kemudian, Lingga memutuskan keluar juga dari mobil nya. Namun sebelum ia keluar, pria itu mengusap wajah nya lalu menghembuskan napas nya kasar. "Assalamualaikum" Baru saja Lingga memasuki rumah masa kecil nya itu, suara ramai gelak tawa menyambut nya pertama kali. Tidak biasanya, selama tujuh belas tahun ia hidup disana tak pernah ia merasa rumah ini seperti ada penghuni nya. Namun kali ini, entah apa yang membuat rumah ini penuh dengan gelak tawa ramai yang di d******i suara anak kecil. "Waalaikumsalam" Serentak ketiga wanita dewasa dan seorang anak kecil yang tengah berkumpul disana menjawab salam Lingga. Padahal tidak terlalu banyak orang, tapi suara mereka ini mampu terdengar sampai keluar rumah ketika mengobrol. Wanita jika sudah berkumpul memang selalu saja membuat kegaduhan. Sekalipun jumlah mereka hanya bertiga, tapi mulut mereka seolah membuat suasana menjadi bertujuh. "Lingga, anak ku!" Airin, wanita paruh baya berpenampilan santai itu berdiri menuju anak nya lantas memeluk Lingga erat, menyalurkan rasa rindu nya pada sang anak Bungsu nya itu begitu dalam. "Ma, Lingga bau keringat" Lingga tersenyum melihat Airin yang memajukan bibir nya kala Lingga melepaskan pelukan mereka secara sepihak, membuat kerutan disekitar bibir wanita itu tampak jelas dimata Lingga. "Mama kan kangen" "Iya, nanti Lingga mandi dulu biar Mama bisa peluk" Balas Lingga sembari mengusap kepala Airin yang hanya sebatas d**a nya tersebut. "Mana calon mu? Mama kok dikasih harapan kosong terus sama kamu? Kamu ini normal apa enggak sih Nak?" "Lingga baru aja putus kok Ma, Mama kok ngomong gitu terus" Bullshit! Seorang Lingga Prabuyasa mana percaya perasaan cinta! Pria ini hanya mampu merasakan rasa makanan dan rasa kemanusiaan. Rasa sayang saja mutlak hanya untuk keluarga nya. Apakah manusia semacam ini bisa dikatakan normal? Wanita tangguh mana pun akan memilih mundur mendekati pria ini. "Kok bisa putus sih? Mama belum sempat kenal kok udah main putus? Mau umur berapa kamu punya anak? Kasihan istri mu nanti kalau kamu udah ga kuat ngasih keturunan" Airin menepuk bahu Lingga kesal. Putera semata wayang nya ini sangat sulit diatur. "Mama ngomong apa sih. Nanti kita bicarain ini lagi, tapi jangan sekarang, Lingga capek" Airin mendengus kasar mendengar jawaban final yang selalu putera nya ini lontarkan setiap tahun nya. Hanya alasan Lingga diawal pembicaraan mereka saja yang berbeda. Ujung-ujungnya selalu ditutup dengan alasan 'Lelah' oleh anak nya itu. "Ga kangen Mbak mu ini, Dek?" Lingga tersenyum melihat kakak perempuan nya yang berjalan mendekat dengan menggendong Arka, anak sulungnya. Buru-buru Lingga mendekat dan mencium punggung tangan kakak nya itu, kemudian beralih mencium pipi Arka yang semakin gembil tersebut. Terakhir kali ia melihat anak laki-laki ini tampak kurus tak terurus karena sering ditinggal Kakak nya itu bekerja. "Mbak Ambar udah ga kerja lagi?" tanya Lingga dengan tangan yang sekarang sudah ambil alih menggendong Arka seraya menciumi pipi keponakan nya itu gemas. "Masih kok. Arka Mbak kasih pengasuh biar dia lebih terurus. Tapi dari sore sampai malam aja, Soalnya jadwal Mbak kan mulai nya sore" Ambar ini seorang instruktur senam profesional. Ia melatih kebugaran untuk wanita dan ibu hamil di kelas nya. Selain karena wanita itu memang suka berolahraga, Ambar juga senang membagi tips kesehatan untuk sesama wanita lainnya. Bukan karena suami nya tak mampu membiayai biaya hidup nya, suami nya bahkan bisa dikatakan mampu disejajarkan dengan adiknya itu untuk urusan kekayaan tanpa campur tangan orang tua. Hanya saja passion Ambar memang sudah ada disana sejak lama, ia tak bisa begitu saja meninggalkan nya. "Oh iya, itu kenalin pengasuh Arka." Ambar membalikkan badannya, menatap seorang wanita yang sedari awal Lingga datang tadi mendadak tak berani  mengangkat kepalanya lagi. "Oza sini, kenalin Omnya Arka yang sok sibuk ini. Lingga Prabuyasa," ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD