Prolog

1276 Words
"Kamu, sini!" Teriak seorang lelaki dengan celana training dan kaos hitamnya itu. Kaki yang terbalut sandal jepit berjalan tertatih. Merasakan rasa sakit karena kaki yang bengkak. Tangannya menggapai seseorang yang berjalan di depannya dengan cepat. Menarik kerah kemeja berwarna putih itu dengan sekali sentakan. Membuat sang empunya terjungkal ke belakang dengan b****g yang terlebih dahulu mencium jalan. "Aws! Duh, apalagi sih?!" Kesal gadis itu dengan wajah kesakitan. "Kamu sudah buat kaki saya bengkak! Kamu harus tanggung jawab!" "Saya udah kasih sendal jepit. Saya juga udah buang sepatu Om. Apalagi?" Tanya gadis itu sebal. Ia bangkit dengan tangan yang menepuk-nepuk pantatnya beberapa kali. Menghilangkan debu yang menempel pada celana hitamnya. "Kaki saya sakit!" "Ya terus? Apa masalahnya sama saya? Situ yang jatoh, kok," jawab gadis itu malas. Ia segera mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbalik badan dan berjalan. Meninggalkan lelaki tadi dengan kaki telanjang. Sebab sandal jepitnya sudah ia berikan pada lelaki tadi. "Saya laporkan kamu nanti! Hey!" "Om-om tapi bawel!" Chandra tersenyum tanpa sadar. Wanita itu menunduk dengan bibir yang terus membentuk senyum. Tidak pernah menyangka jika pertemuannya dengan mantan suaminya akan terjadi saat itu. Wanita yang baru saja duduk di kursi hitam itu terkikik. Kenangan manis yang nyatanya hanya bisa ia kenang. Lelaki keras kepala yang memiliki ambisi dan obsesi besar terhadap bisnis. "Kenapa kamu senyam-senyum gak jelas?" Tanya seorang pria yang baru saja datang. Menarik kursi hitam di depan Chandra, pria itu langsung memesan segelas coklat hangat ketika pelayan datang. "Yang senyum saya ini," jawab Chandra sewot. Wanita itu mengambil kertas yang pria tadi sodorkan. Melihatnya dengan sangat detail seraya mengangguk kecil. "Kamu yakin akan menjadi bagian bawah saja? Mas bisa buat kamu jadi sekretaris Mas kalau kamu mau," tawar pria tadi lembut. "Sayangnya saya tidak mau. Dan lowongan ini juga belum tentu saya setujui. Jadi, jangan terlalu berharap dengan apa yang akan saya putuskan," jawab Chandra dingin. Wanita itu bangkit, tangannya mengambil tas dan menyampirkannya pada bahu. "Haruskah kamu bersikap seperti ini?" Chandra menghentikan pergerakannya yang baru saja akan pergi dari meja keduanya. Ia memejamkan mata malas. Rasanya sudah bosan ia mendengar pertanyaan sama dalam waktu sebulan ini. Ia cukup lelah bersandiwara. "Anda sudah tahu jawabannya." "Tapi kita bisa melakukannya tanpa berpura-pura, Ra." Chandra menahan napasnya yang terasa sesak. Malas menganggapi, wanita itu memilih pergi. Rasanya akan sangat percuma meladeni sifat batu Revano. Berkali-kali ia menjawab dan pria itu juga paham. Berkali-kali juga Revano akan membujuknya. Sekuat yang pria itu bisa. Sebulan lalu, setelah hilang dua tahun. Revano memintanya kembali. Memintanya hadir lagi di tengah-tengah keluarganya. Yang sayangnya tidak membuat wanita 23 tahun itu takluk. Jika saja bukan karena kebaikan sahabatnya yang sangat luar biasa, mungkin Chandra akan sangat malas melakukan sandiwara terbodoh yang pernah ia lakukan. Hanya atas nama Riana, Chandra lakukan hal menjijikkan bersama Revano. Tertawa bahagia.  Seakan memang benar adanya jika ia dan lelaki itu sudah bersama. Saling memeluk dan merangkul. Mungkin baik dan menguntungkan bagi Revano, tapi tidak dengannya. Sekuat apapun Chandra, nyatanya wanita itu masih belum bisa melupakan kejadian dua tahun lalu. Hari menyakitkan yang tidak pernah atau bahkan tidak akan pernah ia lupakan. Bagaimana sakitnya ketika ia mengetahui bahwa anaknya tiada, lalu hinaan dari anggota keluarga, cacian dari orang-orang sekitar, dan hidup bergantung pada orang lain. Chandra masih mengingatnya. Sangat. "Pak, apartemen di ujung jalan gading. Pertigaan belok kanan," pesan Chandra ketika ia memasuki sebuah taxi yang melintas di depannya. Wanita itu mengusap air matanya yang terasa turun membasahi pipi. Mengingatnya saja sesakit ini. Apalagi jika merasakannya lagi. Tidak, Chandra benar-benar menyerah untuk itu. Ia ingin mencapai kebahagiaan yang sebenarnya. Tidak dengan Revano. Atau lelaki lain. Chandra ingin menikmati waktunya sendiri.  *** "Silahkan dipilih, Mbak. Ada warna merah dan kuning. Untuk kaos ujung ukuran M masih tersisa," ujar Chandra fasih. Wanita berbaju kuning khusus itu tersenyum rapah pada pelanggan yang masuk dan melihat berbagai rentetan baju di rak coklat. Kaki jenjangnya yang tertutup celana bahan berwarna hitam terlihat sangat pas. Alih-alih memakai rok hitam span seperti pegawai yang lain. Chandra bukan tipe perempuan se-feminim itu sampai mau memakai bahan ribet untuk berjalan. "Mbak, yang ini ada ukuran S nya gak? Kalau ada, saya mau warna biru." Chandra mendekat dan melihat motif baju yang Ibu-ibu itu pegang. "Baik bu, sebentar, saya cek dulu ya, Bu." Chandra segera berjalan ke arah komputer yang di pasang di tengah-tengah tiang persegi besar. Wanita itu mengetik cepat barang yang dicari dan menelisik guna melihat ukuran yang tertera begitu kecil di layar monitor. "Ada, Bu. Kami akan mengambilnya." "Baik, Mbak." Chandra tersenyum sekali. Wanita itu sedikit berlari kecil menuju lelaki tinggi di ujung rak setelan pria. Ia tepuk bahu lelaki itu sekali. Karena tingginya yang jomplang, Chandra harus berjinjit untuk menepuk kembali bahu lelaki itu. "Eh, iya Chan?" "Tolong ambilin baju grisa ukuran S satu ya? Warna biru. Kalau gak salah di kardus deket rak sebelah paketan." "Buat siapa?" Tanya lelaki itu. "Tuh, ibu-ibu yang di sana. Lo nanti kasih. Ini biar gua yang layanin." Lelaki itu mengangguk sekali sebelum akhirnya pergi mengambil baju yang Chandra katakan tadi. Ting. Bunyi kecil yang terdengar di telinga Chandra sontak membuat wanita itu menolehkan kepala. Melihat siapa gerangan yang masuk ke dalam butik milik Mama Riana. Suara yang timbul karena pintu terbuka memudahkan beberapa pegawai menghampiri pelanggan. Chandra mengerutkan kening melihat pria jangkung yang masuk ke dalam butik tersebut. "Mbak, tolong bungkus yang satu ini." Chandra mengerjap dan langsung mengangguk. Ia ambil setelan yang sempat lelaki di depannya pilih lalu membawanya ke kasir. "Chan, lo dicariin sama Pak Bos," bisik salah satu teman Chandra. Wanita itu mengelus d**a karena terkejut. Ia menatap tajam temannya yang asal bisik di telinga. Namun tak urung mengangguk dan berterimakasih. Chandra sudah tidak aneh dengan kata 'dicariin sama Pak Bos'. Karena alasannya hanya dua. Tanggal gajiannya datang atau ada seseorang yang ia kenali kembali datang. Untuk opsi pertama sepertinya tidak. Sebab Selasa kemarin ia baru saja menerima uang hasil kerjanya. Dan kemungkinan opsi yang kedua yang akan ia dapatkan ketika memasuki ruangan besar itu. "Selamat siang, Pak." "Siang. Masuk, Chan." Chandra mengangguk. Ia sengaja tidak melihat ke arah sofa di sebelahnya. Berpura-pura tidak tahu seperti sebelumnya. Terlalu bosan menghadapi situasi seperti sekarang. "Ini Tuan Revano inginㅡ " "Saya sudah mengatakannya pada Bapak. Bahkan Ibu Carly juga sudah menetapkan ketentuan baru untuk saya. Bapak pasti mengetahuinya. Jadi, saya mohon untuk tidak memanggil saya lagi, Pak." Lelaki muda di depannya itu mengangguk kecil. Ia memang sudah mengetahui semuanya. Dan pemilik butik ini sendiri yang sudah memintanya. Tapi, rasanya sangat tidak sopan ketika Revano sudah datang dan memintanya untuk memanggilkan Chandra. Terlalu takut membantah. "Tuan Rev.." "Kamu ikut saya!" Revano menarik tangan Chandra dengan keras. Membawa keluar wanita itu. Sedangkan lelaki yang masih duduk di kursinya bingung. Tak tahu harus menolong atau tidak. Sebab ini bukan masalahnya. Dan akan berdampak buruk padanya jika nanti ia membantu Chandra sedangkan ia sendiri tidak tahu apa masalahnya. "Apaansih! Heh, lepas!" Berontak Chandra. Revano seakan tidak mendengar apa yang baru saja Chandra katakan. Telinganya seperti tuli. "Chandra kesakitan, sebaiknya anda lepaskan." Revano berhenti melangkah. Pria itu mendengkus kecil. Lagi-lagi lelaki bau kencur ini yang menghalanginya. Ia mencoba tidak menghiraukan ucapan lelaki itu dan terus berjalan. Namun ketika ia akan melewati lelaki itu. Taak. "Ssh!" Ringis Revano. Tangannya yang memegang pergelangan tangan Chandra terlepas begitu saja. Ketika sebuah tangan menepis kasar tangannya. Sangat sakit. Sebab apa yang lelaki itu lakukan persis seperti orang yang sudah terlatih dalam bidangnya. "Selesai. Lo bisa kerja lagi, Chan." "Makasih, Rey." Lelaki yang Chandra panggil Rey itu mengangguk dengan senyum kecil. "Apa urusan kamu dengan Chandra?!" "Kenalkan, saya Reyndi. Pacar Chandra," ujar Rey dengan tangan yang terangkat untuk meminta jabatan tangan dari pria di depannya. Revano tersenyum miring. "Saya Revano. Mantan suami Chandra."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD