1.1

1350 Words
Matahari di hari senin adalah sebuah anugerah yang paling luar biasa. Di mana untuk para anak sekolah, akan menghadapi panasnya upacara. Para pekerja kantor, akan menghadapi macetnya jalanan. Dan para ibu-ibu akan bertempur dengan segunuk pakaian. Berlomba-lomba menjemur agar siang nanti sudah kering. Namun, dari balik jendela mungil di usalah satu kamar apartemen. Wanita dengan baju tidur berwarna hitam itu masih bergelung nyaman di dalam selimut. Memimpikan bagaimana hidupnya yang indah bersama sang pangeran. Walau pulau sudah terbentuk di sebagian bantal. Nyatanya mata itu tetap terpejam. Kring! Kring! "Engh," lenguhnya kesal. Tangannya mencari keberadaan ponsel yang ternyata berada tepat di samping telinganya. Dengan gemas, ia membuka mata dan melihat pukul berapa saat ini. Masih pukul 7 pagi. Ia masih punya 2 jam lagi sebelum bersiap untuk berangkat kerja. Baru akan kembali menutup mata setelah mematikan alarm, Chandra tiba-tiba bangkit dan duduk dengan tegak. Menimbulkan efek pusing sehingga pandangan memburam. Ia mengerjap beberapa kali menormalkan mata dan juga kepalanya yang masih terasa berputar. Sebelum akhirnya buru-buru menyambar handuk dan keluar untuk mandi. Hari ini ada kuis! Dan akan dilaksanakan lima belas menit dari sekarang! Bodoh. Pantas saja alarm ponselnya terus berbunyi sejak tadi. Kenapa juga ia tidak menambahkan subjek di alarmnya? Kalau saja ia menambahkan subjek dengan kalimat 'KUIS WOY!'. Ia pasti akan langsung bangun. Sayangnya semua sudah terjadi. Dengan mandi super kilatㅡ karena hanya membutuhkan waktu 3 menitㅡ Chandra segeera berpakaian. Memakai celana jeans dengan kaos oblong berwarna merah tua. Rambut yang diikat satu, serta wajah yang hanya dilapisi liptint pada bibir. Terlihat begitu sangat simpel namun cantik. Bagi ukuran Chandra pastinya. Tangannya mengangkat setumpukan buku yang berada di rak dan menurunkannya di kasur. Mencari buku apa saja yang harus ia bawa. Beruntungnya kuis yang sekarang akan ia terima sudah diberitahu sebelumnya. Jika biasanya kuis mendadak, maka untuk dosen kali ini selalu memberitahu terlebih dahulu. Tapi.. jika salah satu mahasiswa tidak datang dan terlambat, maka dipastikan untuk kuis selanjutnya tidak ada toleransi. Nilainya berkurang setiap kuis selanjutnya berlangsung. Mengerikan bukan? "Nah, ini!" Pekik Chandra bahagia. Segera ia ambil tas salempang besar dengan bahan kain. Memasukkan beberapa buku dan alat tulis ke dalamnya. Chandra langsung turun ke bawah. Menghela napas karena lagi-lagi melewatkan sarapan. Wanita itu buru-buru mengambil sepatu. Tak. "Hape gue!" Teriaknya heboh. Chandra segera mengambil ponselnya yang jatuh ke bawah. Mantapnya nanar dengan hati yang lelah. Ya Tuhan, ini ponsel satu-satunya yang ia punya. Tak mau berlama-lama membuat drama, Chandra membuka pintu apartemen. Bugh. "Sialan!" Umpatnya kasar. Chandra mengusap keningnya yang terasa sangat sakit akibat benturan dasyat yang entah dari mana asalnya. Segera ia mendongkak. Matanya yang semula terlihat kesal, kini semakin kesal. Mengetahui siapa yang berada di depannya dan apa yang membuat dahinya sakit. "Selamat pagi," sapanya dengan senyuman indah. Chandra menarik napas dalam-dalam. Enggan meladeni orang bodoh di depannya. Waktunya semakin sedikit. Dengan sekuat tenaga, Chandra dorong tubuh besar di depannya lalu berjalan menjauh. Pintu yang belum ia tutup membuat Chandra harus membalikkan badan. Hatinya terus mengumpat kasar. Hari ini adalah hari terbodoh yang pernah ia lakukan. Karena pertandingan bola tengah malam, ia harus tertidur jam 3. "Pasti balik lagi karena mau balas sapaan Mas, kan?" Tanya orang tadi dengan penuh percaya diri. Chandra melengos kecil. Ia memutar bola matanya malas lalu menutup pintu. Melihat bagaimana dinginnya perlakuan Chandra, orang tadi malah semakin mendekat pada wanita itu. Alih-alih menjauh dan pergi. "Mas antar ya?" Tawarnya lembut. Chandra tidak mempedulikannya. Ia berjalan cepat menuju lift. Meninggalkan orang tadi yang terus-terusan menawarkan diri untuk mengantarkannya. Sialnya, Chandra dan orang itu berada dalam satu lift. "Ra, Mas antar ya?" Chandra memejamkan matanya. Sudah puluhan kali pertanyaan itu terlontar. Memberanikan diri, Chandra membalik badan. Grep. "Ada orang mau masuk," bisik orang itu setelah memeluk Chandra agar mendekat. Satu detik kemudian, beberapa orang memasuki lift. Memadati benda persegi panjang itu sampai mengharuskan Chandra mendekat pada orang yang lancang memeluknya. Sial! Sial! *** "Ana kira Cacan gak akan ikut kuis." Chandra tersenyum kecil. Ia mengambil sumpit besi di sebelah mangkuk ramennya. Mulai memakan makan siangnya hari ini. "Can, tumben banget lo diem," celetuk Jessica. Salah satu teman Chandra yang berada di sebelahnya. Chandra hanya menggumam. Ia terlalu malas berbicara dan mulutnya juga sedang penuh. "Hari ini kuisnya gampang ternyata. Gua padahal udah naro buku catetan. Eh, kagak jadi kepake," ujar Nica. Gadis dengan rambut hitam sebahu dan kacamata bulatnya itu memandang Chandra. Chandra masih diam. Tidak menjawab ucapan Nica atau temannya yang lain seperti biasa. Hari ini sudah terlalu melelahkan untuknya. Dan lagi, Chandra sedang malas membahas apapun. Gara-gara kejadian di lift tadi, semua moodnya buyar. "Chan?" "Hmm?" "Lo kenapa sih?" Tanya Jessica mulai khawatir. "Gak papa. Lagi menikmati makanan aja." "Chan, serius gak lucu lho," ujar Riana. Chandra menarik napas panjang. Wanita itu mendorong mangkuk ramennya ke tengah. Mood makannya sudah hilang sekarang. "Hmm, gua mau bayar makan dulu," ujar Chandra acuh. Wanita itu bangkit. Mengambil dompet yang berada di dalam tas sebelum akhirnya pergi. Meninggalkan tanda tanya besar bagi para teman-temannya. Chandra benar-benar malas bicara sekarang. Terlebih ketika teman-temannya berbicara mengenai keadaanya. Bukannya ingin mengacuhkan, tapi tidak akan baik jadinya jika nanti ia bicara. Yang ada malah menimbulkan masalah baru. Dan Chandra sedang menghindari hal itu. "Bu meja nomor 14. Ramen kuah satu plus jus jeruknya. Jadi berapa?" Tanya Chandra pada seorang yang menjaga kasir. "39 ribu ya, Kak." "Inㅡ" "Ini, Bu." Ucapan Chandra terpotong. Wanita itu menatap kartu hitam yang baru saja seseorang sodorkan pada kasir. Mencoba membiarkan apa yang dilakukan orang di belakang Chandra, wanita itu memilih mundur. Malas berdebat dengan orang yang tidak mengerti arti mengantre. "Nomor berapa, Pak? Dan pesanannya?" "Nomor 14, ramen kuah dengan satu jus jeruk." Chandra mengerutkan keningnya. Ia lantas mendongkak. Karena posisinya masih berada di depan kasir dan orang itu berada di belakang Chanda. Wanita itu jadi tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana wajah orang ini. Dan ketika tatapan mereka bertemu, Chandra membulatkan matanya. Ia segera menarik kartu hitam yang Ibu kasir pegang tadi.  "Ini uangnya, Bu. Besok saya ambil kembaliannya. Makasih," ujar Chandra buru-buru. Ia mengambil tangan besar di sampingnya dan membuka telapak tangan itu. "Saya tidak perlu uang anda satu peserpun. Terima kasih atas bantuannya," ujar Chandra tegas seraya menaruh kartu hitam itu pada telapak tangan pria di depannya. "Chandra!" Chandra berjalan. Matanya memerah menahan air mata yang akan keluar. Argh! Kenapa pria itu ada di sini juga?! "Chandra!" Panggilnya. Tangan Chandra dicekal. Membuat langkah wanita itu terhenti. Tidak ada balasan apapun dari Chandra. Wanita itu masih diam. Tidak mau membalikkan badan atau sekedar menjawab dengan gumaman. Menurutnya itu bukan hal penting yang harus ia lakukan sekarang. Tidak peduli dengan tatapan anak lain yang memandang mereka aneh. Siapa juga yang tidak akan berfiikiran negatif. Chandra yang masih berumur 23 tahun digandeng lelaki dengan umur 30-an. Belum lagi pria itu memakai jas lengkap dengan dasi dan lencana pangkat di d**a bidangnya. "Chan.." "Saya mohon, lepaskan," ujar Chandra mulai lirih. Wanita itu menahan sekuat tenaga tangis yang akan keluar. Ia tidak mau dilihat lemah di mata orang lain. Cukup dengan semua sandiwara yang pernah ia lakukan, Chandra ingin semuanya berhenti saat ini juga. Dirinya sudah muak dengan semua hal yang memuakkan. Entah dari dirinya sendiri atau bahkan lelaki di belakangnya. "Chan, kita bisa omongin ini baik-baik," ucap pria itu dengan tubuh yang perlahan mendekat. Chandra menahan napasnya. Ia mengepalkan tangan. Dalam sekali sentakan, cekalan pria itu terlepas. Chandra tidak berbalik. Wanita itu langsung berjalan pergi. Memejamkan mata kecil seraya mengatur napasnya. Chandra berjalan perlahan. Walau degup jantungnya tak normal serta lututnya melemas. Chandra harus tetap kuat. Tidak ada kata lemah dalam dirinya. Ia harus tegar dengan semuanya. "Chandra kenapa?!" Pekik Riana panik. Wanita yang baru saja menikah itu menyentuh lembut pipi Chandra. Wajah Chandra pucat dengan keringat yang menetes. Itu bukan keringat baik. Melainkan keringat dingin. "Na," panggil Chandra. Wanita itu membuka mata. Melihat sahabat yang selalu bersamanya kala sedih dan susah.  Riana tersenyum kecil dan menuntun Chandra agar duduk. Beruntungnya Jessica dan Nica sudah pergi. Keduanya ada rapat BEM dadakan. "Iya? Cacan mau cerita sama Ana?" "Gua minta maaf. Gua bohongin lo, Na. Gua sama Mas Revano gak ada apa-apa." "Maksudnya?" "Gua sama Mas Revano gak rujuk lagi."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD