1.2

1319 Words
"Jangan bengong! Banyak yang dateng, noh!" Chandra mengerjap. Wanita itu mengusap wajahnya sekali dan menghela napas. Senyum ia terbitkan ketika salah satu pengunjung datang melewatinya. "Maaf dah." "Kenapa sih?" Tanya lelaki di samping Chandra. Chandra hanya mengedik dan berlalu pergi. Wanita itu tidak berubah. Dalam hidup Chandra, ada dua hal yang dia benci. Kebohongan dan penghinaan. Karena dua hal itu, Chandra harus kehilangan banyak hal. Karena dua hal itu, Chandra harus merasakan pahitnya sendirian. Dan karena dua hal itu, Chandra harus merasakan kesakitan. Maka dari itu, sebisa mungkin ia harus menghilangkan dua hal itu dalam hidupnya. Masalah dengan Riana mengenai ia yang membohongi wanita itu sudah selesai. Tidak ada yang perlu ia pikirkan. Ia juga tidak lagi harus menanggung rasa tak enak hati. Sebab tidak perlu melakukan akting murahan seperti sebelumnya. "Lo udah abis jamnya. Kagak pulang?" Chandra tersenyum pada pelanggan terakhir sebelum akhirnya membalikkan tubuh. Ia menghela napas panjang. Matanya melirik jam yang tak jauh dari tempat ia berdiri. Benar, waktu bekerjanya sudah selesai. "Okey. Makasih udah ngingetin!" Chandra tersenyum tipis. Wanita itu melangkah pergi menuju tasnya. Mengambil pakaian ganti dan pergi menuju toilet. Sesampainya di toilet, Chandra menaruh pakaiannya ke atas rak sebelah wetafel. Matanya melihat wajah yang terpantul lewat kaca. Bawah mata yang menghitam, lalu bibir yang pucat dan wajah yang tirus. Sangat mengenaskan. Sayangnya itu tidak membuat diri Chandra sadar jika dirinya butuh bangkit. Bukan semakin merenung dan sakit. "Huh.. nasib gua gini amat, ya," monolognya dan mulai mengganti baju. Karena sudah memakai kaos berwarna hitam di dalamnya, Chandra hanya perlu memasang jaket sebelum akhirnya menyisir rambut yang terlihat sangat acak-acakkan. Wanita itu menjetikkan jari melihat penampilannya. Sudah lebih segar dari sebelumnya. Memilih segera pergi dari sana dan pulang, Chandra merasakan tubuhnya memanas. Pasti karena ia yang tidak sarapan beberapa hari ini. Dan pola makan yang kembali memburuk. Sebal juga rasanya harus tetap terlihat baik-baik padahal sedang sakit. "Selamat malam, Ra." Chandra memejamkan matanya kecil. Ia tarik oksigen sebanyak yang ia bisa. Pria ini lagi. Apa tidak bosan?! "Maaf, Pak. Bisa menepi sedikit? Saya harus lewat," ujar Chandra sopan. Ia sedang berbaik hati sekarang untuk bicara pada pria ini. Tapi jangan sampai kebaikannya di salah gunakan oleh pria di depannya. Jika iya, lihat saja nanti. Chandra tidak akan tinggal diam. "Gak mau. Kamu belum balas sapaan Mas," ujar pria itu manja. Chandra memejamkan matanya menahan kesal. Pria ini benar-benar. "Terserah!" Balas Chandra kesal. Wanita itu berjalan menubruk tubuh pria di depannya. Menimbulkan suara yang cukup keras. Bahu Chandra juga terasa sakit. Sebenarnya yang ia tabrak tadi tangan atau besi, sih? Keras banget. "Chan, Mas sapa kamu lho ini." "Ck! Jijik tau gak?! Mending pergi deh!" Sentak Chandra geli. Wanita itu bahkan sampai membalikkan badan melihat wajah pria yang seharusnya tegas malah jadi seprihatin itu. Dan rasanya Chandra ingin mencubㅡ tidak! Apa-apaan otaknya ini! "Kamu ngusir, Mas?" Chandra menarik napasnya panjang. Ia mengulum bibirnya kesal. Sabar.. "Chan? Lo gak papa?" "Gak! Gua duluan," balas Chandra jutek. Wanita itu menyambar tasnya dan mengeluarkan kunci motor. Kepalanya terasa sangat panas sekarang. Bulu di sekitar leher dan lengannya meremang. Ia bergidik ngeri ketika suara menjijikan Revano di toilet tadi masih terdengar. Sialan! Revano memang sehebat itu. "Eh, Mbak Chandra udah mau pulang?" Tanya salah satu satpam yang sedang berdiri di samping pos jaga. Chandra mengangguk seraya tersenyum kecil. Ia membuka kaca helmnya dan memberikan kartu parkir pada satpam tersebut. Setelahnya ia melajukan motor ketika plang panjang itu terbuka. Ia lajukan motornya perlahan. Terlalu sayang pada nyawanya yang mungkin akan hilang jika nanti ia tak hati-hati. Wanita itu sesekali bersenandung. Menikmati angin malam yang menerpa kulit tangannya. Ia lupa membawa sarung tangan tadi. Walau tidak terlalu dingin, tetap saja bisa membuat tangannya terasa sejuk. Tepat saat lampu merah, Chandra berhenti mengikuti mobil besar di depannya. Wanita itu menurunkan kaki kanannya agar motor tetap seimbang. Hari yang tidak terlalu padat namun cukup melelahkan. Chandra mengangguk-anggukan kepala, mengikuti alunan lagu yang ia nyanyikan dalam hati. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di sampingnya. Kaca depannya terbuka. Tepat di kursi pengemudi. "Hai, Ra! Pulang bareng sama Mas, ya?" Chandra membulatkan matanya. Ia mendongkak kecil dan langsung menolehkan kepala.  "Lo lagi?!" *** Chandra memakirkan motornya di basement. Membuka helm dengan marah seraya mencabut kunci motor sekali tarik. Ia langsung berjalan cepat menuju lift. Memencet tombol segitiga di sebelah kanan beberapa kali, berharap lift langsung terbuka. Hanya butuh sekitar tujuh detik, lift terbuka. Buru-buru Chandra memasukinya. Memencet angka sesuai dengan lantai yang akan ia pijaki. Chandra bernapas lega karena lift sudah tertutup. Jika saja ia tidak dikejar pria gila yang selalu mengikutinya itu, Chandra paling enggan masuk lewat lift basement. Selain karena lebih sempit dan pengap. Lift ini juga sangat kotor. Wajar sih, karena hanya para pekerja tertentu saja yang turun dan naik menggunakan lift ini. Setelah keluar dari lift, Chandra harus melewati lorong yang biasanya diperuntukan para teknisi listrik. Belok kanan sekali, wanita itu akhirnya sampai pada pintu ujung. Ia membukanya dan kembali menutup pintu yang bertuliskan 'Selain Petugas Teknisi Dilarang Masuk'. Malam ini hujan turun. Tidak deras namun cukup dingin. Tapi yang Chandra rasakan pada tubuhnya adalah hawa panas. Kesal dan marah. Efek bertemu pria gila itu. Padahal sudah ia katakan semuanya tadi siang. Pada Riana dan juga pria itu. Untuk tidak menemuinya lagi. Karena 'kepura-puraan' mereka sudah selesai. Chandra kira anggukan pria itu bisa membuat hari-harinya tenang kembali. Namun nyatanya tidak. Yang ada malah sebaliknya. Pria itu malah semakin gencar mendekati dirinya dan membuat ia semakin kesal. Alih-alih tersanjung dan bahagia, yang Chandra rasakan saat ini adalah muak dan kesal. Tampang menjijikan pria itu selalu membuatnya mual. Percayalah, Revano dua tahun lalu tidak sejijik itu. "Kamu kok baru sampe? Pake lift pekerja, ya?" Chandra mengelus dadanya. Ia terperanjat kaget dan refleks menoleh. Giginya saling menyatu, menimbulkan suara gemelutuk kesal. Rahangnya juga mengeras. Menarik napas panjang, Chandra mencengkram kuat knop pintu. Ia tidak boleh sampai emosi. Dan membiarkan pria gila ini adalah satu-satunya cara agar ia bisa tenang. "Kamu keringetan? Kamu sakit, ya? Mas lihat di luar hujan kok. Apa kamu kehujanan?" Tanyanya tanpa henti. Chandra keluarkan napasnya lewat mulut. Begitu berulang kali sampai keadaan hatinya sedikit membaik. Tau akan terjadi hal ini hari ini, Chandra akan membawa earphonenya dan selalu memasang benda itu di telinga. Tak akan Chandra lepaskan kecuali masuk rumah.  "Kamu harus cepet ganti baju. Jangan sampe masuk angin. Ini Mas bawㅡ" Brak. Chandra menutup pintu apartemennya kesal. Terserah bagaimana keadaan pria di belakang pintu apartemennya itu saat ini. Yang terpenting, Chandra sudah masuk ke dalam dan tidak mendengar suara menyebalkan itu lagi. Ia menghela napas tenang dan berjalan pergi. Baru akan duduk di atas sofa, suara bel terdengar. Wanita itu mengernyit. Ia kembali bangkit. Niatnya ingin rebahan seketika urung. Tasnya juga belum ia taruh. Masih berada di pundak kanannya. Bodohnya, Chandra membuka pintu apartemennya. Tanpa mengingat jika di belakang pintu itu masih ada.. "Mas tahu kok, kamu gak mungkin tega sama Mas." Chandra sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. Terlebih kini pria itu ikut masuk ke dalam apartemennya tanpa ia suruh. Chandra menarik napas dalam-dalam. Bersiap mengeluarkan taringnya saat ini juga. Ia atur napasnya terlebih dahulu. Melepaskan cekalan tangannya pada knop pintu dan mulai melakukan pemanasan. Merentangkan tangannya ke kanan dan ke kiri. Lalu melakukan gerakan mematah-matahkan lehernya. Sampai suara 'krek' terdengar beberapa kali. Tak lupa ia lakukan hal itu juga pada jari-jari tangannya. Chandra bisa melihat pria itu menelan ludah kasar. "Pak, silahkan pergi," titah Chandra lembut. Masih dalam mode baik. Wanita itu mengambil langkah sekali ketika tidak ada jawaban dari pria di depannya. "Bapak, saya meminta anda pergi. Jadi.. tolong pergi sekarang juga," pinta Chandra mulai gemas. Revano tetap diam tidak bergeming. Baiklah. "Saya bilang pergi!" Bentak Chandra keras. Ia tarik keras jas Revano kencang dan mendorong lelaki itu keluar. Revano yang belum siap atau bahkan tidak siap itu akhirnya terjungkal ke belakang. Tubuhnya menubruk pintu apartemen di sebrang apartemen Chandra. Menimbulkan suara yang cukup keras. Brak. Lagi-lagi pintu ditutup keras. Semoga saja tidak rusak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD