1.3

1326 Words
Ruangan dengan cahaya minim itu terlihat semakin gelap ketika pintu di tutup. Sampah berserakan dengan beberapa kertas yang berhambur, menjadi tempat yang disebut kamar itu lebih pantas menjadi gudang. Bau rokok dan juga pakaian kotor, semakin membuat kamar itu tidak layak dipakai. Untungnya, kasur besar dengan sprai abu itu baru saja diganti. Ctak. Lampu kamar tiba-tiba dinyalakan. Membuat sang empunya kamar mengerang kesal. Ia baru saja tertidur tiga jam yang lalu. Ia pastikan tidak akan selamat orang yang sudah menganggu tidurnya. Membuka mata dengan malas, pria bertubuh besar itu membulatkan mata melihat siapa yang ada di ujung kamarnya. Menatap nanar pada setiap sudut kamar yang sangat tidak terurus. "Papa ngapain ke sini?!" Pekiknya kaget. Pria paruh baya yang memakai kemeja berbahan dasar batik itu menggelengkan kepala. Tidak pernah membayangkan akan memiliki anak sekotor ini. Krek. Pria di atas kasur itu meringis. Mendengar suara sepatu Ayahnya yang menginjak kaleng minuman. Diambil kaleng minuman dengan gambar tiga kaki itu. "Papa kira kamu minum alkohol," celetuk pria itu dan membuang kaleng yang ia temukan tadi. Sang anak kembali meringis melihat pria itu menginjak pulpen hitam miliknya sampai terbelah dua. "Berapa lama kamar kamu tidak dibersihkan?" "Emm, satu bulan yang lalu?" Jawabnya tidak percaya. "Sebaiknya kamu pindah kamar. Papa akan jadikan kamar kamu sebagai gudang," ujar pria paruh baya itu santai. Namun mampu mengundang amarah dari sang anak. Dengan kesal, pria muda itu bangkit dari tidurnya. Tidak memperdulikan keadaan tubuhnya yang hanya terbalut boxer lebar berwarna merah tua. "Mau apa kamu?" Tanya pria itu dengan tangan yang bersedekap. Anaknya tak menjawab. Sibuk memungut barang-barang miliknya yang entah bagaimana bisa berada di sekitar ruangan. Dan berserakan ke sana kemari. Seperti pulpen yang berada di ujung jendela. Lalu penghapus berada di balkon. Dan kertas-kertas penting sampai masuk ke dalam kamar mandi. Ia jadi meringis sendiri melihat bagaimana hancurnya kamar idaman ini. Kamar yang dulunya ia konsep dan rancang sebagus mungkin. Sekarang sampai tak bisa terlihat mana tempat sepatu dan mana rak buku. "Kamu bahkan sudah bukan anak remaja lagi. Kamu sudah dewasa, Revano. Tapi kenapa kamar kamu bahkan melebihi anak usia 3 tahun?" Sindir sang ayah. Revano sendiri tidak tahu kenapa kamarnya bisa seperti ini. Dan juga, setiap ia datang ke kamar. Keadaanya tidak separah ini. Atau karena kamarnya yang selalu dalam keadaan gelap? Lagipula, ketika ia masuk kamar. Keadaannya sudah sangat lelah dan harus tertidur. Mungkin itu yang bisa menjadi alasan kenapa Revano tidak pernah menyadari jika kamarnya sebobrok ini. "Di bawah ada yang menanyakan kamu. Cepatlah temui. Tidak baik membiarkan tamu menunggu," ujar pria itu lalu pergi dari kamar anaknya. Yang sialnya kembali menginjak sesuatu. Namun ini lebih keras dan sepertinya akan menjadi bencana. "Dek, Papa rasa.. Papa baru menginjak laptop kamu." Dan setelahnya, pria itu benar-benar menghilang dari kamar Revano. Sedangkan pria yang baru saja dipanggil itu lantas menegakkan punggung. Berlari sekuat tenaga dan melihat salah satu laptopnya hancur. Revano yakin Ayahnya sengaja menginjak. Sebab jika itu tidak disengaja, retaknya tidak mungkin sampai keyboard, kan? "Laptop gua.." gumamnya sendu. Selamat Revano! Kamu harus kembali merevisi data-data yang ada. Data-data semalam yang bahkan belum sempat ia simpan di dalam flashdisk. Tok. Tok. Tok. "Tuan Revano, maaf menganggu. Tuan meminta anda segera turun." Revano menghembuskan napasnya kesal. Ia tidak menjawab. Memilih pergi ke dalam kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Mengganti baju menjadi kaos biru dongker dengan celana jeans selutut. Tanpa merapikan rambut panjangnya, Revano menyambar minyak wangi. Menyemprotkan di sebagian titik dan langsung turun ke bawah. Matanya menyipit ketika berada di tangga. Siapa di sana? Kenapa bukan hanya satu orang yang duduk di sofa? "Tuan, Nyonya meminta anda untuk menemuinya dahulu di dapur," ujar seorang pelayan yang datang pada Revano. Revano hanya mengangguk. Ia mengibaskan tangan dan langsung berjalan belok. Melewati segerombolan orang-orang aneh menurit Revano. Tidak diundang, tidak diberitahu atau kabar. Tiba-tiba datang dan menanyakannya lagi. Mereka waras? "Wes, iki dah sedap! Tar sama Mbok taruh saja di mangkuk besar. Jangan lupa ikannya ya, Mbok." Revano menepuk bahu wanita di depannya. "Astagfirullah! Kamu ini! Bukannya cepet-cepet! Itu calonmu sudah tak nungguin dari tadi!" Calon? *** "Chan, lo beli karton sono! Kurang satu nih. Daripada diem terus kan, lo." Chandra mendelik pada teman satu kelompoknya. Wanita itu menyikut angin, pertanda jika ia akan memukul lelaki itu. Dan yang tadi bicara pada Chandra hanya menyengir lebar. Chandra menaruh laptop di pangkuannya ke meja. Mengambil uang di dompet dan bergegas keluar. "Chan, gua sekalian nitip bakso dong!" "Gua mie ayam aja, Chan!" "Gua apa aja dah." "Dih, beli sono sendiri!" Balas Chandra keki. Wanita itu membuka pintu kamar kost temannya. Karena hari ini mereka ditugaskan membuat tugas terakhir sebelum persiapan skripsi, Chandra harus ikut pada temannya. Sebab Riana tidak bisa datang karena sedang berada di rumah mertua wanita itu. Chandra yang memang malas mengerjakan sendiri karena takut salah, akhirnya memilih gabung dengan beberapa anak yang juga kebagian tugas yang sama. "Pak, karton putihnya satu. Sama spidol hitam satu sama.. lem kertasnya dua," pesan Chandra ketika sampai pada fotocopy-an. Wanita itu mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu dari dompetnya. Mengetuk jari guna menghalau bosan, Chandra melihat sekeliling. Awan mulai menggelap. Pasti akan turun hujan. Wanita itu berdecak karena lagi-lagi harus kehujanan. Padahal baru kemarin malam dia mandi dikeramas. "Ini, Mbak. Kartonnya enam ribu, spidolnya tiga ribu, lemnya satu dua ribu. Jadi tiga belas ribu, Mbak," ucap bapak-bapak pemilik fotocopy. Chandra mengangguk dan mengambil bon yang pria itu berikan padanya. Lalu ia memberikan selembar uang dua puluh ribu. Ketika menjinjing plastik hitam di tangan, hujan turun. Duh, Chandra lupa meminjam payung tadi. Ia buru-buru berjalan menuju lorong besar karena hujan semakin deras. Yang sialnya, rumah temannya itu malah terlihat semakin jauh. Ia berdecak. Percuma berlari, pasti basah juga. Chandra memilih berjalan santai. Biarlah hujan membasahi tubuhnya. Dulu juga hantaman cacian menghantam hatinya. Kenapa ia harus takut dengan hujan. "Kamu nanti sakit. Jangan sepelekan kesehatan tubuh," kata seseorang di samping Chandra. Pria tinggi yang kini memayungi Chandra dengan payungnya. Chandra memberhentikan langkah, membuat pria itu dua langkah lebih depan darinya. Di saat pria itu tidak sadar bahwa Chandra tidak ada di sampingnya, barulah Chandra berjalan di sisi lain. Enggan dilindungi dengan payung. "Eh, kok?" Monolog pria itu bingung. Menyadari jika ternyata Chandra tidak ada di sebelahnya. Pria dengan payung hitam itu mencari Chandra. Menolehkan kepalanya ke segala arah. Dan ternyata Chandra ada di depannya. Tentu saja ia langsung berlari menuju wanita itu. Crash. Chandra menggeram marah. Plastik sedang yang berisi kartonnya basah kuyup dan terisi air. Karena pria di belakangnya tak sengaja menginjak kubangan air yang membuat airnya muncrat kemana-mana. Chandra buang plastik itu ke sembarang arah dan memilih kembali berjalan. Terserah dengan para temannya yang akan memarahinya nanti. Ia akan langsung pulang dan meminta Riana mengerjakan tugas miliknya juga. Biasanya Riana akan mau jika mendengar alasan jujur darinya. "Ra, maaf." Chandra tidak menghiraukan ucapan pria itu. Ia memilih berjalan cepat. "Ra.." Chandra berhenti. Pria itu juga berhenti. Tangan yang memegang payung itu terulur ke arah Chandra. Membuat wanita dengan jaket hitam itu tidak lagi kehujanan. "Ra, maaf." "Pergi," desis Chandra kecil.  "Ra.." "Gua bilang pergi!" Bentak Chandra kesal. Ia berlari. Meninggalkan pria itu yang mematung dengan payung yang masih terulur. Sedangkan Chandra menahan emosinya agar tidak kembali keluar. Ia berhenti tepat di depan gerbang kost-kostan temannya. Memegang gerbang itu dan membukanya perlahan. "Zayid!" Teriak Chandra memanggil.  Beruntung para pemilik kamar kost yang lain sedang bekerja. Jadi teriakan Chandra tidak menganggu. "Elah ini anak! Lo ngapain woy!" Balas Zayid. "Kunci motor sama tas gua dong, tolong. Gua mau langsung balik nih. Basah semua baju gue. Ntar gua kasih duit buat alat yang kurang, dah!" "Oke, sebentar." Chandra mengangguk. Kakinya berlari menuju motornya berada. Mendorong motor maticnya agar lebih mudah keluar dari pekarangan kost ini. Tak lama, Zayid keluar dengan tas juga kunci motornya. "Besok aja, lo kasih duitnya. Lo pulang aja. Ntar gua sama yang lain coba handle bagian lo." "Aaa.. makasih jayid! Kalau gitu, gua pulang ya. Titip salam sama yang lain. Bye!"  Setelahnya, Chandra pulang. Keduanya tidak melihat pria dengan payung hitamnya. "Zayid, heh?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD