1.5

1329 Words
Detingan sendok yang beradu dengan piring menjadi pengiring makan malam di rumah besar keluarga Revano. Pria yang baru saja mendapat lolongan besar dari mantan istrinya itu hanya mengaduk-aduk makanan. Tidak berniat memakan apa yang sudah disajikan oleh Mamanya. Nafsu makannya menurun. "Dek, dimakan!" Titah Papanya dengan nada tegas. Revano menghembuskan napas. Adek-adek! Dia bahkan sudah 31 tahun! Apa tidak bisa hanya memanggil nama seperti biasanya? Revano jadi menyesal ketika kecil dulu ingin sekali dipanggil Adik. "Hmm," gumam Revano sebagai jawaban. Pria yang sedang galau merana itu mendorong piringnya dan bangkit. Meninggalkan keluarga besarnya yang hanya berisi ia dan kedua orang tuanya. Sebab para kakak-kakaknya sudah menikah semua. Dan hanya ia yang melajang. Ralat, sengaja menduda. "Revano!" Panggil Papanya murka. Pria baya itu sangat marah melihat anaknya mencampakkan makanan begitu saja. Makanan adalah hal yang utama dalam kehidupan. Tidak semua orang bisa memakan apa yang kita makan hari ini. Dan terkadang, banyak sekali di luar sana yang berlomba-lomba menghabiskan waktunya untuk bekerja hanya untuk memakan sesuap nasi. "Pa, udah. Ndak baik teriak depan makanan!" Peringat sang istri. "Anakmu itu lho!" "Ya, anakmu juga!" Sedangkan di dalam kamar, Revano meluruhkan dirinya di kasur. Ia menenggelamkan kepalanya di bantal. Menghela napas pelan, Revano kemudian membalikkan tubuh menjadi terlentang. Ia menatap langit-langit kamar. Otaknya bekerja begitu lambat hari ini. Tidak paham harus melakukan apa lagi agar Chandra mau menikah dengannya. Padahal tadi ajakan nikahnya sudah sangat baik. Ia juga tetap tersenyum. Semua cara yang ada di gugel sudah ia coba. Tapi kenapa masih belum berhasil juga? Arrgh! Mana besok dia harus menjauhi wanita itu lagi! Drrt. Drtt. Berdecak pelan, Revano ambil ponsel di saku celananya. Mengangkat panggilan yang entah dari siapa asalnya. "Halo?" "..." Memijit keningnya sekali, Revano bangkit. Ia berdehem pelan menjawab ucapan di sebrang sana. Terlalu malas membahas pekerjaan di saat dirinya sedang tidak bahagia. Sebab dirinya tidak ingin pekerjaannya malah berantakan. Seprofesional apapun dirinya, jika sudah menyangkut nama Chandra. Tidak ada lagi kata profesional. Wanita itu memang memiliki banyak virus berbahaya dalam tubuh Revano. "Iya, Revan dengar. Sudah, kan? Assalamualaikum," tutup Revano malas. Ia matikan panggilan secara sepihak. Otaknya sedang tidak bisa sinkron dengan pekerjaan. Dan tadi Kakak laki-lakinya baru saja meminta ia mengirim data kantor. "Ra, Mas harus gimana lagi coba?" Racau Revan memulai. "Padahal tadi Mas udah ajakin kamu rujuk, masa gak mau? Mas baik tau, Ra." Menyedihkan. Begitulah kehidupan Revano dua tahun belakangan ini. Bicara pada diri sendiri dan juga angin, nyatanya tidak membuat Revano menjadi lebih baik. Malah semakin memburuk. Mungkin jika sebagian orang yang melihat dan mendengar akan berfikir jika Revano ini gila. Walau begitu, Revano tidak bisa jika tidak bicara setiap malam. Tak hanya bicara pada angin dan diri sendiri. Terkadang Revano juga bicara pada foto Chandra. Ia terlalu munafik untuk tidak mengungkapkan perasaanya dua tahun lalu. Ia terlalu takut jika Chandra semakin menjauh darinya. Dan ternyata yang ia lakukan sebagai keputusan terakhir juga membuat Chandra menjauh. Revano rasanya ingin memutar waktu. Meminta maaf sebesar-besarnya pada Chandra di hari itu. Bukan malah meninggalkan wanita rapuh itu di ruang pengadilan sendirian. Ia memang bodoh.  Dan Revano tahu jika ini adalah hasil dari perbuatannya. Banyak sekali kemungkinan terjadi jika saat itu Revano tidak mementingkan ego. Banyak sekali hal baik yang akan terjadi jika saja Revano melirik Chandra barang sedetik. Tapi, seperti pepatah. Waktu tidak bisa diulang, namun masa depan bisa ditentukan. Revano akan menentukan masa depannya mulai sekarang. Termasuk jodohnya. Ia yakin jika Chandra adalah wanita yang Tuhan titipkan untuknya. Yang Tuhan berikan padanya untuk ia jaga dan ia lindungi. Ia bimbing menuju jalan yang lebih baik. Namun memang pada dasarnya Revano bodoh dulu, semuanya harus ia lakukan hari ini. Biarlah dua tahun menjadi tahun yang sia-sia. Biarlah dua tahun belakang Revano si bodoh tidak bangkit. Tapi hari ini dan seterusnya, tidak akan pernah Revano biarkan siapapun membuatnya kembali bodoh. Sekalipun orang tuanya. Revano bangkit. Mengangkat tinggi-tinggi tangannya yang dikepal. Meninju angin seraya berkata. "TUNGGU MAS, CHANDRA!" *** Di lain tempat Chandra tengah merenung. Ia masih syok dengan apa yang Revano ucapkan. Bahkan sudah sejam lamanya ia masih berada di posisi yang sama. Duduk dengan tangan mengepal. Napasnya masih memburu. Namun perbedaannya, kali ini wanita itu menangis. Sebenarnya Revano sedang bercanda atau serius sih?! Kenapa rasanya pria itu benar-benar serius? Chandra lagi dan lagi menghela napas. Sudah lelah memikirkan semua yang rasanya tidak pasti. Tubuhnya lelah, otaknya lemah dan hatinya resah. Apa tidak cukup membuatnya bimbang selama sebulan terakhir? Apa tidak cukup membuatnya merasa terbebani dua tahun kemarin? Atau.. memang seperti dugaanya dulu? Revano hanya bermain-main dengannya? "Huaa! Cacan pusing ya Allah!" Jerit Chandra tiba-tiba. Tangisnya semakin kencang. Bahkan ia sampai terisak. Tangisan yang jarang sekali ia keluarkan. Chandra sudah malas melakukan kegiatan apapun jika begini caranya. "Cacan kenapa?!" Daebak! Chandra harus bersyukur kepada Tuhan. Harus. Sebab di mana ia yang lemah seperti ini, maka Riana akan datang. Sahabat yang ia temui dua tahun lalu itu benar-benar membantunya. Wanita yang menjadi istri dari keponakan Revano itu datang memeluk Chandra. Membiarkan tangis sahabatnya tumpah di bahunya. "Hikss.. Na, boleh gak sih, hikss.. kita gak punya kepala?" Tanya Chandra asal disertai isakkan. Riana mengernyit. Wanita itu melepaskan pelukannya dan menatap Chandra bingung. Seakan paham dengan apa yang Riana tunjukan pada ekspresinya, Chandra malah semakin menangis. "Pala gue pusing banget, Na! Sumpah!" "Cacan apaan sih! Itu kepala dikasih sama Allah juga! Bukannya bersyukur malah gak mau ada kepalanya!" Marah Riana. Wanita itu sepenuhnya melepas pelukan. Menatap meja kaca yang kini terdapat sebungkus makanan. "Ini apaan, Chan? Tumben Cacan jajan malem," ejek Riana. Chandra mendengkus. Walau Riana selalu ada menemaninya dan sangat baik. Sikap bodo amat dan kekanakkan wanita muda itu ternyata masih ada. Chandra masih menangis saja Riana abaikan. Dan malah bertanya masalah makanan. Mengejek lagi. "Bukan gua yang beli," ketus Chandra. Wanita itu mengusap air matanya dan mengambil bungkusan di meja. Membukanya lalu mengeluarkan sterofoam yang entah isinya apa sebelum beranjak pergi. Membuang plastik ke tempat sampah seraya berjalan menuju rak piring. Mengambil satu piring kecil dan mangkuk sambal. Tak lupa dua sendok serta satu gelas plastik besar. "Cacan emang tau itu apaan?" Tanya Riana. Chandra hanya menggumam. Dalamnya tidak akan jauh dari.. "Pempek kapal selam?!" Pekik Riana bahagia. Chandra mendesah kecil. Tanpa sadar ia tersenyum. Revano tidak lupa makanan kesukaannya ternyata. Riana yang kebetulan berada di sebelah Chandra menatap sahabatnya itu dengan senyum miring. "Dari pacar Cacan, ya? Ciee.. siapa sih? Kok Cacan gak kasih tau Ana?" Goda Riana. Chandra melunturkan senyumnya. Menarik kembali bibirnya ke bawah. "Gak usah ngada-ngada! Pacar apaan!" Ketus Chandra. Padahal saat ini dalam hati ia tertawa. Cara Riana membuatnya berhenti menangis memang berbeda dengan para temannya yang lain. Riana bukan orang yang akan memeluk lalu ikut bersedih seraya mengatakan kata-kata semangat padanya. Riana juga bukan orang yang kepo dengan bertanya kenapa ketika ia menangis. Riana adalah Riana. Wanita itu akan membuatnya lupa dengan masalah. Membuatnya bersenang-senang tanpa harus mengungkit yang terjadi. Karena hal itulah Chandra tidak bisa membuat Riana terluka. Termasuk membohongi Riana sebulan lalu. Tapi semuanya sudah berakhir. Sebab ia juga sudah mengatakan yang sebenarnya. "Itu kok mukanya merah?" Goda Riana lagi. Chandra mendengkus kasar. Ia hempaskan gelas yang akan ia isi dengan air. Tangannya berada di pinggang. Dengan mata yang menatap wajah Riana kesal. Persis seperti ibu yang akan memarahi anaknya. Melihat hal itu Riana sontak mengacungkan jari tengah dan jari telunjuknya. Meminta maaf pada Chandra seraya menyengir lebar. "Maaf, Cacan!" "Awas aja lo! Sekali lagi ngejek gua, gak akan gua kasih pempeknya!" Riana langsung mengangguk cepat. Wanita itu memeluk Chandra dari belakang. Ketika Chandra berbalik mengambil kembali gelasnya. Chandra tersenyum. Riana memang bukan keluarganya. Tapi hubungan mereka sudah seperti adik dan kakak kandung. Yang akan bertengkar lalu saling bicara kembali. "Eh, btw, lo ke sini ngapain? Udah izin lo sama suami lo belum?" Tanya Chandra seraya melepaskan tangan Riana yang masih bertengger di pinggangnya. Riana menggumam dan mengangguk. Tangannya mencomot salah satu pempek yang berada di piring. Hal itu mengundang delikan tajam dari Chandra. "Udah. Ana bilang Ana kangen sama Cacan." "Oh.. kirain ada apaan." "Chan?" "Hemm.." "Ana hamil."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD