Pagi itu suasana kelas XI IPA 3 lebih ramai dari biasanya. Bahkan sebelum bel masuk berbunyi, para siswa sudah ribut dengan satu topik:
> “Katanya murid baru, lho! Dari Bandung! Anak pemilik pabrik parfum!”
> “Gila, katanya pernah jadi model iklan sabun!”
> “Masa sih? Jangan-jangan dia wangi banget. Jangan sampai duduk deket Icha, bisa ilang wanginya…”
Icha langsung berdiri dari kursinya sambil menunjuk teman yang ngomong barusan.
“Sini! Ayo kita cium-ciuman, siapa yang lebih wangi!”
Suasana makin pecah. Tapi di pojok kelas, empat gadis kesayangan kita — Keira, Icha, Wulan, dan Naya — justru saling pandang dengan tatapan penasaran.
“Eh, jangan-jangan anak baru itu... cowok yang pernah kamu omongin dulu, Wil?” bisik Naya ke Wulan.
Wulan mengangkat bahu santai. “Cowok? Hmm. Aku lebih peduli sama coretan pensilku yang patah ini, sumpah.”
Tiba-tiba, pintu kelas terbuka.
Pak Hadi masuk dengan gaya khasnya: jalan pelan, suara tenang, tapi bisa bikin satu kelas gemetar kalau udah mulai berkata: “Catat di buku latihan kalian…”
Tapi hari ini beda. Beliau tersenyum.
“Anak-anak, hari ini kita kedatangan siswa baru. Perkenalkan, ini Damar Aji Saputra. Pindahan dari Bandung.”
Masuklah seorang cowok dengan rambut sedikit ikal, kulit bersih, ransel hitam, dan... ya, benar saja: wangi banget.
Satu kelas mendadak menarik napas dalam-dalam seperti lagi mencium aroma sate di malam minggu.
“Silakan perkenalkan diri, Damar,” ujar Pak Hadi.
Damar tersenyum sopan. “Halo semuanya. Aku Damar, suka fotografi dan... um, ya, semoga bisa cepat akrab sama kalian.”
Suaranya berat, agak serak.
Beberapa cewek langsung heboh, bisik-bisik penuh harapan.
“YA AMPUN, SUARANYA KAYAK RADIO FM MALAM-MALAM!”
Tapi bukan itu yang bikin geger. Saat Damar melihat sekeliling mencari tempat duduk, matanya berhenti di empat kursi pojok belakang — tepat di sebelah Keira, Icha, Wulan, dan Naya.
Dia menunjuk kursi kosong di samping Wulan.
> “Boleh duduk di situ, Pak?”
Wulan menatap Damar tanpa ekspresi. Tapi Keira melihat tangan Wulan tiba-tiba mencengkeram pulpen kuat-kuat.
Naya mendecak pelan. “Eh, dia mantan lo ya?”
Icha, seperti biasa, tak bisa menahan diri.
“Atau... mantan yang lo tolak, tapi ternyata sekarang GANTENG BANGET dan lo nyesel?”
Wulan hanya menjawab, “Nggak, cuma... dia pernah minjem penghapusku waktu lomba puisi dua tahun lalu. Terus nggak dibalikin.”
Seisi kursi pojok ngakak.
“DUA TAHUN NGGAK MOVE ON GARA-GARA PENGHAPUS! WULAN, PLIS!”
---
Beberapa hari kemudian…
Damar mulai akrab dengan satu kelas. Tapi yang paling menarik, dia mulai sering duduk bareng Keira, Icha, Wulan, dan Naya saat istirahat.
“Gue suka duduk sini,” katanya suatu hari. “Tempat ini... penuh energi aneh. Lucu, tapi hangat.”
Icha menepuk d**a. “Itu karena kita punya dua jenis kepribadian di sini: tukang ceramah dan tukang ngedumel.”
Naya menyahut. “Sama satu yang jago nutupin perasaan, dan satu yang jago ngelawak tapi hatinya remuk.”
Semua tertawa. Bahkan Damar ikut tertawa, walau kadang bingung. Terutama saat Icha mulai ngajak dia main tebak-tebakan aneh.
“Apa bedanya tukang parkir sama jomblo?”
“Apa?” tanya Damar penasaran.
“Tukang parkir itu nyuruh orang maju, jomblo itu nyuruh diri sendiri maju — tapi ke tembok!”
Semua ketawa sampai Icha jatuh dari kursi. Naya sampe semprot minumannya ke baju Keira, dan Wulan ketawa sambil... nangis.
Keira langsung panik. “Eh Wil, lo kenapa nangis?”
Wulan menghapus air matanya. “Enggak tahu... aku baru ngerasa sesenang ini setelah lama banget. Dan... rasanya aneh.”
Damar menatap Wulan.
Perlahan, ia buka dompet dan mengeluarkan sesuatu kecil:
Penghapus putih kecil dengan tulisan "Wulan Panti" di belakangnya.
“Gue temuin ini waktu mindahin laci meja di Bandung sebelum pindahan. Nggak nyangka ketemu orangnya lagi.”
Wulan membeku. Lalu... tersenyum.
“Jadi kamu nggak lupa ya.”
“Nggak. Cuma lama balikinnya.”
Keira langsung berdiri dan bertepuk tangan.
“SAH! NIKAHI DIA, WULAN!”
---
Bab 4 diakhiri dengan momen absurd:
Icha tiba-tiba ngangkat roti bakar dan berkata:
“Kalau nanti kita lulus, aku pengin kita tetap sahabatan. Bikin warung mie instan bareng, tapi namanya bukan ‘Warung Pojok’. Namanya ‘Empat Kursi, Satu Hati’. Biar orang mikir kita jualan mie campur air mata.”
Mereka semua ketawa. Bahkan Damar.
Dan tanpa sadar, empat kursi itu sudah mulai terasa seperti rumah.
Hari itu hujan turun pelan. Rintiknya tidak deras, tapi cukup membuat kaca-kaca kelas berkabut. Siswa-siswi banyak yang memilih tetap di dalam ruangan saat istirahat. Termasuk empat s*****n kita, plus satu tambahan tetap: Damar.
“Bosen, ah. Mau ngapain ya?” Icha bersandar di kursi sambil menggambar kumis di wajah Damar yang ada di majalah dinding. “Ganteng juga harus dirusak biar setara.”
Naya melempar penghapus. “Lo kenapa sih suka banget ngerusak wajah cowok ganteng? Trauma ditolak anak Pramuka ya dulu?”
Keira menyahut, “Eh serius-serius, kita belum pernah jelajahin semua ruangan sekolah ini, kan? Padahal kata kakak kelasku dulu, perpustakaan lama di belakang itu angker lho.”
Wulan, yang sedari tadi diam sambil memperhatikan hujan, mendadak menoleh.
“Perpustakaan belakang? Yang pintunya ditutup pakai rak buku? Aku pernah lihat sekali waktu nyasar nyari ruang UKS.”
“Lah? Kita nyasar bareng, Wil,” ujar Icha sambil tertawa. “Tapi waktu itu kamu nggak ngomong!”
“Aku pikir kamu tahu jalan,” jawab Wulan polos.
Keira berdiri. “Ayo kita ke sana sore ini. Pulang sekolah, pas semua orang udah sepi. Petualangan!”
Naya memicingkan mata. “Dan kalo kita mati ketemu hantu, setidaknya kita mati berjamaah.”
---
Sore harinya…
Keempat gadis dan Damar menyelinap ke bagian belakang gedung sekolah. Udara lembap, bau kayu tua dan buku lapuk memenuhi lorong sempit. Rak-rak tua berdiri seperti raksasa bisu, dan di ujungnya... sebuah pintu dengan gembok tua yang sudah karatan.
“Ini dia,” bisik Keira. “Perpustakaan lama.”
Naya mengeluarkan penjepit rambut dan mulai mengutak-atik gembok.
“Eh... lo bisa beneran buka?” tanya Damar takjub.
“Gue punya kakak mantan maling motor,” jawab Naya santai. “Skill-nya menurun ke aku.”
Dan benar saja. Klik.
Pintu terbuka. Bunyi engsel berderit membuat bulu kuduk mereka berdiri. Ruangan itu gelap dan berdebu. Tapi di tengah rak tua dan meja reyot, ada satu lemari kayu yang separuh terbuka... dan di dalamnya, tumpukan buku lusuh dan map cokelat.
“Ini kayak... file siswa zaman dulu?” tanya Icha.
Wulan menarik satu amplop besar. Di atasnya tertulis dengan tinta pudar:
> UNTUK SISWA-SISWI YANG PUNYA LUKA, TAPI TAK PERNAH BICARA
Semua saling pandang.
“Boleh gue buka?” tanya Wulan.
Tak ada yang menjawab, tapi semua mendekat. Wulan membuka amplop itu dengan hati-hati. Di dalamnya, satu lembar surat yang ditulis tangan. Tulisan halus, tapi tegas. Mereka membaca pelan-pelan.
---
Surat:
> Aku tahu kalian mungkin sedang merasa sendiri. Atau mungkin sedang tertawa untuk menyembunyikan tangis.
Aku tahu kalian mungkin menyimpan banyak yang tak bisa diceritakan.
Mungkin keluargamu hancur. Atau kau kehilangan seseorang.
Atau... kau hanya merasa dunia tidak adil.
> Aku juga pernah duduk di kursi pojok kelas ini.
Bersama tiga teman, kami saling benci dulu. Tapi kemudian kami saling jaga.
> Jika kalian membaca ini... maka kursi itu belum kehilangan maknanya.
> Jangan pergi sebelum kalian jujur — pada diri sendiri, dan satu sama lain.
> – R.S.
---
Semua terdiam. Lama. Bahkan Icha yang biasanya tak tahan hening, hanya bisa menelan ludah.
“Siapa R.S.?” tanya Keira akhirnya.
Wulan menatap surat itu dalam-dalam. “Entahlah. Tapi... aku merasa kayak pernah baca tulisan kayak gini. Entah di mana.”
Naya bersandar di rak. “Gue ngerasa kayak... ini buat kita.”
“Kayak ditulis sama versi tua dari kita,” tambah Keira.
“Versi yang udah belajar dari rasa sakit,” bisik Wulan.
Damar mendekat. “Kayaknya kalian semua punya hal yang belum diceritain ke satu sama lain.”
Icha tertawa, tapi matanya sembab. “Dari tadi... aku pengin ngomong sebenarnya. Tapi takut dikira drama.”
Naya duduk di lantai, memeluk lututnya. “Kalau kamu drama, berarti gue juga. Dan mungkin kita semua emang luka-luka yang lagi pura-pura utuh.”
Hujan di luar semakin deras. Tapi di dalam ruangan itu, keheningan berubah menjadi ruang aman. Keira memeluk Icha. Naya menyandarkan kepala di bahu Wulan.
Wulan pun akhirnya bicara.
“Aku pernah disuruh ganti nama waktu pertama masuk panti. Katanya biar nggak diingat orangtuaku yang ninggalin. Tapi aku selalu nulis nama asliku di belakang puisi. Wulan Arasy.”
“Arasy?” tanya Keira pelan.
“Artinya langit,” jawab Wulan. “Tapi dulu... aku cuma anak kecil yang pengin ditatap, bukan dilupakan.”
Icha memeluk Wulan. “Lo ditatap, Wil. Sama kita. Dan lo penting.”
Naya menambahkan, “Dan lo nggak sendirian.”
Damar mengangkat map berisi surat-surat lain. “Mungkin ada lebih banyak kisah dari masa lalu yang bisa bantu kalian menyembuhkan.”