Surat dari Masa Lalu

1282 Words
Pagi itu, kelas XI IPA 3 terasa lebih ramai dari biasanya. Bukan karena ulangan mendadak atau guru killer masuk kelas, tapi karena sebuah penemuan aneh yang langsung bikin satu kelas heboh. “Ih, sumpah ini serem, asli! Ini dari siapa coba?” teriak Acha, si ketua kelas, sambil menunjuk sebuah amplop cokelat lusuh yang ditemukan di laci belakang lemari kelas. Tentu saja empat kursi di pojok langsung panas. Keira, yang paling penasaran, berdiri duluan dan melipat tangan. “Amplop apa sih? Surat cinta jadul?” Icha langsung nyeletuk, “Atau surat dari mantan yang belum move on?” Naya menguap malas. “Atau surat utang, lebih realistis.” Wulan hanya memandangi amplop itu dengan tatapan kosong, seperti sedang memproses sesuatu yang jauh di dalam pikirannya. Ia melirik sedikit ke arah papan nama di pojok amplop itu. Tulisan tangan rapi dengan tinta biru pudar. Untuk: Kursi Pojok Kanan Belakang Dari: Yang Pernah Duduk di Sana. “Eh, ini serius lho… kayaknya emang ditujukan buat tempat kita duduk sekarang,” gumam Wulan pelan. Mereka berempat saling pandang. Keira mengangkat alis. “Kamu jangan bikin suasana makin horor deh, Lan.” Tapi Wulan tak menjawab. Ia membuka amplop itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ada secarik kertas tipis penuh tulisan tangan. Kertas yang sudah agak menguning tapi masih bisa terbaca. > "Jika kamu membaca ini, berarti kamu duduk di tempat yang sama seperti kami dulu. Kursi pojok ini adalah tempat kami tertawa, menangis, bahkan menyimpan luka yang tak semua guru tahu. Kami pernah bersahabat. Pernah berjanji untuk tetap bersama. Tapi satu kejadian… menghancurkan semua. Jangan ulangi kesalahan kami. Dengarkan satu sama lain sebelum semuanya terlambat." Mereka semua terdiam. Sunyi. Bahkan si Dika yang biasanya hobi kentut diam-diam pun ikut menahan napas. “Apa maksudnya? Mereka juga empat orang?” tanya Keira pelan. Wulan menatap tulisan itu lekat-lekat. Hatinya terasa aneh. Bukan takut. Tapi seperti ada bagian dari dirinya yang… nyambung dengan cerita dalam surat itu. “Kita cari tahu. Ini nggak bisa dibiarkan begitu aja,” gumam Wulan. — Usut Punya Usut... Siang itu, setelah jam sekolah, mereka berempat menyelinap ke perpustakaan lama yang sekarang jadi gudang. Tempat yang bahkan satpam pun males masuk karena “aura” lamanya. Di sana, Naya secara ajaib menemukan album tahunan sekolah—angkatan sepuluh tahun lalu. Dan benar saja. Ada satu foto berisi empat gadis remaja yang duduk di barisan pojok kanan belakang. Posisi yang sama. Bahkan salah satu dari mereka memegang rubik seperti Wulan. “Lihat ini… dia kayak Wulan banget!” teriak Icha, menunjuk foto itu. Keira memicingkan mata. “Nama-namanya siapa sih? Eh, ini… Arista, Dewi, Mitha, dan... Ratih?” Wulan bergumam. “Ratih… kayaknya aku pernah denger nama itu.” Naya mendadak berdiri. “Tunggu. RATIH? Ini nggak kebetulan. Kepala Panti Asuhan tempat Wulan tinggal dulu… namanya Bu Ratih.” Semua menoleh ke Wulan. Dan detik itu juga, jantung Wulan terasa seperti dipukul keras. Setelah jam sekolah usai dan suasana mulai sepi, keempat gadis itu masih duduk di pojok kelas. Surat itu tergeletak di meja, seperti magnet yang menahan langkah mereka. “Beneran deh… Ini surat bikin merinding tapi penasaran,” kata Icha sambil menggigit ujung pulpen, kebiasaannya kalau mikir keras. Keira menopang dagu dengan sebelah tangan. “Kalau mereka nulis kayak gitu… berarti tempat duduk kita ini, dulu juga jadi markas empat orang ya? Kayak kita.” “Dan mereka juga temenan. Terus… hancur. Karena satu kejadian,” ujar Naya pelan, suaranya datar tapi ada nada serius yang tidak biasa. Wulan mengelus bagian belakang amplop itu. Kertasnya tipis dan mudah sobek. Tapi terasa berat, seperti membawa cerita yang belum selesai. “Nggak tahu kenapa… aku ngerasa kita harus tahu kelanjutannya. Bukan karena kepo aja. Tapi kayak… ada yang penting di sini,” bisik Wulan. Icha menyenggol bahunya pelan. “Kamu jadi kayak cenayang, Lan. Tapi aku setuju.” “Apa kita cari tahu siapa mereka?” tanya Keira. “Tapi… dari mana?” “Album tahunan, data alumni, atau tanya guru yang udah lama di sini. Bu Ayu mungkin?” saran Naya. Tapi kemudian Icha malah berdiri sambil membuka tangan lebar-lebar. “Aku punya ide!” serunya dramatis. “Kita bentuk tim pencari fakta!” Naya nyengir. “Apaan tuh? Gaya banget.” “Serius! Nama timnya... ‘Geng Pojokan’!” Icha menunjuk satu per satu. “Keira si pemikir logis dan tajir, Naya si penjaga fisik dan nyali, Wulan si pencari intuisi, dan aku… ya… badutnya.” Keira tak bisa menahan tawa kecilnya. “Badut sih kamu banget.” Mereka tertawa bersama. Suasana yang sebelumnya hening berubah jadi hangat. Matahari sore menembus kisi-kisi jendela, menyorot keempat wajah itu—masing-masing dengan ekspresi yang berbeda, tapi hati yang mulai menyatu. --- Malam harinya, mereka membuat grup baru di w******p: “Geng Pojokan—Rahasia Kelas XI IPA 3” Isi obrolannya? Campur aduk. Mulai dari pembahasan serius soal surat, debat tentang siapa yang bakal tanya Bu Ayu, sampai becandaan receh khas Icha: > Icha: “Kalau mereka jadi sahabat kayak kita, berarti dulu juga ada versi kita dong. Si Tajir, Si Tukang Ngocol, Si Beringas, dan Si Misterius.” > Keira: “Jangan-jangan, kita reinkarnasi mereka.” > Naya: “Gue protes. Masa gue jadi reinkarnasi beringas juga?” > Wulan: “Mungkin mereka cuma pengen kisahnya dilanjutkan. Tapi kali ini… dengan akhir yang lebih baik.” Seketika, grup itu hening. Hanya centang dua biru, tapi tak ada balasan. Kalimat Wulan terasa… dalam. Seolah surat itu bukan cuma pesan, tapi wasiat. --- Keesokan harinya, mereka berempat memutuskan untuk mampir ke ruang guru sepulang sekolah. Dengan alasan butuh referensi tugas sejarah sekolah, mereka mendatangi Bu Ayu, guru senior yang mengajar sejak zaman Keira belum lahir. “Bu, kami nemu surat lama di kelas. Kayaknya ditulis oleh kakak kelas zaman dulu. Ibu kenal nggak sama nama-nama ini?” Keira menyodorkan secarik kertas dengan tulisan nama-nama dari album tahunan yang mereka salin kemarin. Bu Ayu mengambil kacamata bacanya. Tatapannya berubah saat membaca satu per satu nama. “Ini… kalian dapat dari mana?” tanyanya. “Dari kelas, Bu. Di laci belakang,” jawab Naya cepat. Bu Ayu terdiam cukup lama. Lalu ia berkata pelan, “Dulu… mereka juga duduk di pojok kelas. Seperti kalian. Sahabat. Sampai suatu ketika… ada sesuatu yang membuat mereka tak pernah bicara lagi.” Icha menelan ludah. “Apa, Bu?” Bu Ayu menggeleng. “Ibu nggak bisa cerita tanpa izin. Tapi satu hal yang Ibu tahu… kadang, duduk di pojok membuat kita merasa aman. Tapi kalau terlalu sering diam di pojok, kita juga bisa kehilangan kesempatan untuk bicara jujur.” Keempat gadis itu saling pandang. Ada yang mengendap-endap di hati mereka, tapi belum bisa mereka ungkapkan sepenuhnya. “Jaga pertemanan kalian,” lanjut Bu Ayu, sebelum kembali menulis sesuatu di bukunya. --- Sore itu, mereka kembali ke kelas, hanya untuk duduk di kursi mereka. Seperti biasa. Tapi rasanya tidak lagi sama. “Lucu ya,” kata Wulan pelan. “Kita dulunya saling tuduh, saling sindir, saling gak suka…” “Tapi sekarang malah jadi geng,” sahut Naya, menyandarkan kepala ke sandaran kursi. Keira menambahkan, “Mungkin memang benar. Hal-hal penting kadang berawal dari hal yang gak penting.” Icha menatap langit-langit kelas lalu tiba-tiba berkata, “Gue penasaran… kalau kita ninggalin surat juga buat anak-anak yang duduk di sini nanti, kira-kira mereka bakal baca gak ya?” Yang lain terdiam. Kemudian Keira tertawa. “Pasti. Dan mereka bakal bilang… ‘Ih, ini dari geng paling random sedunia.’” “Random tapi solid,” Wulan mengangguk. Dan mereka pun tertawa. Tawa yang tulus. Di tempat duduk paling pojok, di kelas yang sama, mereka membuktikan satu hal: Kadang, rumah bukan tentang dinding. Tapi tentang siapa yang duduk di sampingmu saat kamu merasa sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD