Hari Senin datang terlalu cepat.
Icha datang ke sekolah dengan wajah kucel dan rambut dikuncir asal-asalan. “Gue kayak zombie yang bangkit bukan buat makan otak, tapi makan nasi uduk,” gerutunya sambil duduk di kursinya.
Keira yang baru masuk kelas langsung menutup hidung. “Astaga, Cha… kamu pakai parfum aroma bawang ya?”
“Ini bukan parfum! Ini perjuangan hidup!” balas Icha. “Gue bantu emak goreng bawang dari subuh!”
Wulan tertawa pelan, “Mending aroma bawang, daripada aroma drama.”
Naya datang terakhir. Seperti biasa, kaus kaki beda warna dan ransel jinjing. Tapi hari ini… dia jalannya agak janggal.
“Lo kenapa, Nay? Salah urat?” tanya Keira.
Naya menghela napas. “Celana gue robek… dari bawah sampe ke belakang. Tadi pagi gue ngejar ayam, terus nyangkut pagar. Sekarang jalan harus anggun kayak princess.”
Icha langsung ngakak sambil menepuk meja. “GILA LO! ITU BUKAN PRINCESS, ITU PRINPES!”
Wulan sampai nyemprot air minum dari mulutnya karena tak tahan tawa. Keira geleng-geleng sambil meraih tisu.
“Apa kita butuh semacam kode darurat? Kalo ada kejadian kayak gini, tinggal bilang… ‘kode celana robek’, gitu?” celetuk Keira.
Icha langsung bikin gerakan tangan aneh. “Kode! Kode! Tahan celana di sektor dua-tiga lima!”
---
Jam istirahat, mereka memutuskan makan bareng di kantin. Tapi karena tempat duduk penuh, mereka ambil posisi darurat di bawah pohon beringin dekat lapangan.
Keira membuka bekal mewahnya: sushi, salad alpukat, dan teh bunga krisan.
Icha membuka bungkus nasi uduk pakai koran, lengkap dengan sambal setan buatan mamanya.
“Lo yakin kuat makan itu, Cha?” tanya Wulan.
“Ini sambal setan, bukan sambal nyinyir. Gue udah biasa.”
Baru dua sendok masuk mulut, Icha langsung tersedak.
“PANASNYA NYAMPE KE RONGGA HIDUNG! GILEEEE! ADA PETASAN DI MULUT GUE NIH!” teriaknya sambil mutar-mutar di tanah.
Naya ikut nyicip. Baru nyolek sedikit, dia langsung bengong, lidahnya kaku. “Cha… ini sambal atau pelarut cat tembok?”
Keira mencoba tetap anggun tapi akhirnya juga meler dan berkata, “Aku kehilangan rasa hidup…”
Wulan dengan tenang makan bekalnya sambil menulis sesuatu di buku. “Aku kayak lagi nonton reality show di alam liar,” katanya datar.
---
Sambil ngelap air mata karena sambal, Icha tiba-tiba berkata, “Eh, ngomong-ngomong… kalian pernah suka sama cowok di sekolah ini gak sih?”
Langsung hening.
Naya melotot, “APA?! Kita lagi meleleh disiksa sambal, lo malah bahas cinta?”
“Tapi gue serius. Ayo ngaku. Satu-satu. Dimulai dari yang paling ‘putri’, Keira,” goda Icha.
Keira pura-pura menunduk sambil senyum malu. “Emm… ya, aku suka sih sama cowok kelas XII IPS 1.”
“SIAPA?!” tiga temannya kompak teriak.
“Namanya Arkan. Dia cowok rohis, tapi main basket. Ganteng, tapi religius. Pokoknya... balance banget!” Keira pipinya memerah.
Naya langsung menepuk jidat. “Gue juga suka sama Arkan, b**o!”
“HAAAAHH?!?!” Keira terlonjak.
Wulan cuma garuk kepala. “Kalau begitu… kita bertiga sama, deh.”
Icha langsung salto dalam hati. “WOOOWWW! Tiga dari empat cewek suka cowok yang sama?! Ini sinetron apa obrolan sore hari?”
Keira langsung merapat ke Wulan. “Wul… lo juga suka Arkan?”
Wulan mengangguk tenang. “Iya, tapi lebih suka dia pas diem. Soalnya kalau dia ngomong, logatnya kayak komentator bulu tangkis.”
Icha nyengir, “Lah, berarti tinggal gue doang yang beda. Gue suka sama si Bayu, tukang parkir kantin.”
“TUKANG PARKIR?!” semua langsung menganga.
“Dia dewasa, ramah, dan selalu ngingetin motor gue buat nggak miring,” jawab Icha bangga.
Naya tepok bahu Icha, “Gue gak tahu harus bangga apa prihatin.”
---
Setelah puas ketawa, mereka kembali ke kelas. Tapi di tengah jalan, Keira pelan-pelan nyamperin Wulan.
“Wul, tadi kamu serius soal Arkan?”
Wulan mengangguk. “Tapi santai aja. Aku gak akan ngerebut siapa-siapa. Lagian, aku lebih suka lihat dia dari jauh.”
Keira tersenyum, lega. “Makasih, Wul.”
Wulan membalas senyum. “Kamu yang cantik dan tajir. Aku cuma anak panti yang... yah, gitu deh. Tapi, senang bisa suka orang yang sama. Jadi tahu… kita juga punya hati yang mirip.”
---
Malamnya, mereka ngobrol di grup WA lagi.
> Icha: “GENG POJOKAN KITA UDAH LEVEL TINGGI NIH. DARI SURAT MISTERI, KE SAMBAL SETAN, KE CINTA SEGITIGA TRAPEZIUM.”
> Keira: “Trapezium darimana, Cha? Kita bukan Matematika.”
> Naya: “Next project: nulis surat buat Arkan. Tanda tangan: tiga cewek beda latar, satu tujuan.”
> Wulan: “Judulnya: Cinta di Pojokan, Edisi Pedas.”
Dan malam itu mereka tertawa bersama lewat layar, tanpa suara, tapi dengan rasa hangat yang sama.
Keesokan harinya, kelas XI IPA 3 dipenuhi aroma s**u kedelai. Bukan karena ada yang jualan, tapi karena Icha bawa termos besar berisi s**u kedelai buatan ibunya dan maksa semua teman satu geng buat minum.
“Minum ini bikin otak encer,” kata Icha sambil menuang ke gelas plastik.
“Cha… ini kayak air tahu sisa hujan,” ujar Keira, mencium aromanya dengan ragu.
“Itu namanya fermentasi alami! Biar sehat!” balas Icha ngotot.
Wulan, yang biasanya tenang, bahkan ikut angkat bicara, “Kalau otak encer, takutnya malah jadi bocor…”
Namun demi solidaritas, mereka semua minum.
Tiga menit kemudian…
> Naya: “Gue mules.”
> Keira: “Lidah gue mati rasa.”
> Wulan: “Aku ngerasa tercerahkan. Tapi mungkin itu efek sugesti.”
> Icha: “Yahhh… berarti batch kali ini gagal. Kemarin sih berhasil bikin tetangga pingsan—eh maksudnya, sehat.”
---
Usai jam pelajaran terakhir, mereka kembali kumpul di bangku pojok favorit. Angin sore masuk dari jendela, membawa aroma mie goreng kantin yang menggoda iman.
Naya mendadak berdiri. “Gue punya ide.”
Semua langsung tegang.
“Ini pasti ide gila,” gumam Keira.
“Kita selidiki siapa pengirim surat misterius di perpustakaan minggu lalu. Itu kan yang nyangkut di novel tua?” kata Naya sambil duduk dengan pose detektif.
“Oh iya!” seru Wulan, “Surat itu isinya kayak... pengakuan dosa anak sekolah zaman dulu.”
“Isinya penuh kode dan inisial. Si A naksir si B tapi dibenci si C karena si B itu adik tirinya si D, gitu deh,” jelas Keira.
Icha langsung meletakkan kotak pensil ke meja. “KITA BENTUK TIM PENYELIDIK!”
“Nama timnya apa?” tanya Wulan sambil menulis cepat di bukunya.
Icha berdiri dan berpose. “GENG POJOK PENDETEKSI! Singkatannya... GPP.”
“Gak papa?” tanya Keira heran.
“Iya, gak papa! Karena apapun masalahnya, kita bakal bilang... gak papa! Walau sebenernya... papa banget,” jelas Icha sambil menahan tawa.
Mereka semua tertawa keras sampai Pak Rudi, guru fisika yang baru lewat, mengintip dari pintu kelas.
“Kalian ketawa apa tuh? Belajar apa ngelawak?”
“Belajar ketawa, Pak!” seru Naya.
---
Malamnya, GPP mulai menyusun strategi lewat grup w******p:
> Keira: “Aku bawa buku-buku lama dari perpustakaan ke rumah. Banyak banget, kayak warisan zaman Majapahit.”
> Wulan: “Aku analisis tulisannya. Kayaknya cewek. Ada ciri khas hati kecil di atas huruf ‘i’.”
> Naya: “Kita perlu masuk ke perpustakaan malam-malam buat cari lagi. Katanya di pojokan ada laci rahasia.”
> Icha: “Siapin senter dan mi instan. Ini bakal jadi ekspedisi nasional.”
---
Keesokan harinya, mereka nekad minta izin ke Bu Dina, penjaga perpustakaan, untuk bantu beresin arsip buku.
Padahal niatnya… eksplorasi pojokan gelap yang katanya berhantu.
Keira bawa sarung tangan satin biar tetap “elegan”, Wulan bawa buku catatan untuk mencatat petunjuk, Naya bawa senter, dan Icha… bawa lemper dua biji, just in case.
Di tengah keheningan rak demi rak, Icha mendadak berbisik, “Gue denger suara bisikan…”
Semua langsung melotot.
“Ternyata perut gue sendiri. Belum makan siang,” katanya sambil malu-malu.
Di bawah tumpukan buku sejarah sekolah, mereka menemukan sebuah buku harian lusuh, tertulis: "Milik N.S" dengan tahun 2004.
Mereka semua saling pandang.
“Siapa N.S?” tanya Keira.
“Nama siswa?” ujar Wulan.
“Nama setan?” celetuk Naya.
“Nama suami bayangan?” Icha nyengir.
Buku itu jadi petunjuk baru. Mereka memutuskan membacanya bersama di rumah Wulan sore itu.
---
Dan saat mereka membuka halaman pertama…
Satu kalimat tertulis dengan tinta pudar:
> “Jika kamu menemukan ini, berarti kamu juga pernah duduk di pojok itu. Kursi itu menyimpan rahasia yang harus dijaga…”
Semua diam.
Kemudian Icha nyeletuk, “Tapi gue lebih penasaran siapa yang nyolong sandal gue di mushola…”
“Cha, fokus!” teriak Keira, Naya, dan Wulan bersamaan.
---
mereka duduk melingkar di ruang tamu Wulan, di atas karpet usang tapi hangat, dengan semangat petualangan baru, lemper sisa Icha, dan rasa penasaran yang belum terjawab