Buku Harian N.S dan Jejak Empat Bayangan Lama

1290 Words
Sore itu langit tampak malas. Awan kelabu menggantung, seolah menahan hujan agar jatuh tepat saat waktu magrib. Tapi di dalam rumah Wulan, suasana justru penuh semangat. Keempat gadis itu duduk melingkar di atas karpet tua berwarna coklat, ditemani termos teh manis, lemper isi kelapa buatan Icha, dan… buku harian berwarna ungu pudar yang mereka temukan di perpustakaan. Wulan membuka halaman pertama dengan perlahan, seolah takut buku itu meledak. > “Namaku N.S. Hari ini aku duduk di kursi pojok, barisan terakhir kelas XI IPA 3. Tempat yang kata orang bawa s**l. Tapi buat aku, tempat ini jadi saksi semuanya. Tentang kami—empat sahabat. Tentang cinta pertama. Tentang pengkhianatan. Dan tentang kejadian yang mengubah segalanya.” Mereka terdiam beberapa saat. “N.S? Siapa ya?” gumam Naya, meletakkan senter kecil ke lantai. “Ini kayak kisah kita banget,” ujar Keira, matanya tak lepas dari tulisan tangan di halaman itu. “Empat sahabat… duduk di pojok… kelas XI IPA 3 juga!” Icha menunjuk tulisan dengan ekspresi shock abal-abal. “Gue mulai curiga, kita ini reinkarnasi mereka.” “Cha… kita masih hidup.” Wulan memutar bola mata. Mereka terus membaca. --- > “Ada kami berempat: Nara, Siska, Melati, dan Tami. Kami duduk di kursi pojok karena nggak punya pilihan lain—kami terlalu ‘bermasalah’ buat duduk di depan. Aku (Nara), anak pemilik warung kecil depan sekolah. Siska anak guru yang galak banget, Melati anak panti yang diam-diam jago musik, dan Tami… dia anak orang kaya yang selalu tampak bahagia, tapi sebenarnya paling sepi.” Semua langsung menoleh ke Keira. “Mirip banget ya…” bisik Wulan. “Tami = Keira, Melati = aku, Nara = Icha, dan Siska = Naya…” Wulan menyebutkan satu per satu. “Berarti kita versi reboot-nya?” Icha berkedip dramatis. “Tapi ini bukan film Marvel, Cha.” --- Mereka lanjut membaca babak-babak kecil dalam buku itu. Cerita persahabatan para pendahulu mereka terjalin manis—saling membela saat dihukum guru, bolos bareng ke kebun teh buat ngadem dari drama sekolah, hingga membuat ‘kode rahasia pojokan’ yang hanya mereka berempat tahu. Tapi semakin dibaca, semakin banyak rahasia yang terbuka. Seperti... > “Hari itu, Melati nggak masuk. Kami nggak tahu kenapa. Tami bilang dia sakit. Tapi besoknya kami tahu, Melati masuk RS karena pingsan di depan rumah panti. Dan lebih parahnya, ada kabar dia hamil.” Mata semua melebar. “WHAT???” teriak Naya, sampai teh dalam gelas Keira nyiprat ke celana. “Gila... dramanya mendadak kayak sinetron jam prime time,” bisik Icha. “Tapi ini serius. Ini sejarah sekolah kita,” kata Keira sambil menutup mulutnya. Wulan lanjut membaca: > “Tami tahu rahasia itu lebih dulu. Tapi dia nggak bilang ke kami. Dan akhirnya, semuanya runtuh. Kami nggak pernah duduk bersama lagi. Kursi pojok itu… jadi kosong sampai akhir semester.” Sunyi. Keempat gadis masa kini saling berpandangan. “Kita gak boleh kayak mereka,” gumam Wulan lirih. “Kita harus tetap jujur satu sama lain.” “Setuju,” ujar Keira. “Meskipun… gue belum cerita semua tentang rumah gue.” “Gue juga belum,” timpal Naya, pelan. “Gue juga belum ngomong soal… pacar kakak gue yang ngutangin emak gue,” tambah Icha asal. “Cha…” kata Wulan, “Itu kayaknya bukan rahasia, itu masalah ekonomi.” --- Mereka semua tertawa, membuyarkan suasana tegang. Tapi jelas, buku harian itu bukan sekadar cerita masa lalu—itu peringatan, juga petunjuk. Dan yang paling bikin merinding adalah satu halaman terakhir yang mereka temukan di dalam saku belakang buku itu. > “Kalau kalian baca ini, mungkin kalian duduk di tempat yang sama. Dan mungkin… kalian diberi kesempatan untuk tidak mengulangi kesalahan kami. Tapi ingat… kursi pojok itu menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang kalian kira. Dan salah satunya… masih belum selesai.” Tiba-tiba, listrik rumah Wulan padam. Mereka semua menjerit dan menempel satu sama lain. Icha spontan nyeletuk, “Wulan, lo punya lilin nggak?!” “Ada! Tapi di dapur!” “Yaudah lo ambil!” “Gue takut!” “Ya masa gue yang ambil?!” “Kan lo yang paling banyak dosa!” teriak Naya sambil dorong Icha ke arah dapur. Dalam gelap dan kekacauan itu, hanya satu hal yang pasti: petualangan mereka baru saja dimulai. Dan kursi pojok yang mereka duduki… belum selesai bicara. Listrik kembali menyala lima belas menit kemudian, tapi suasana di ruang tengah rumah Wulan belum juga kembali normal. Keira masih duduk dengan tangan memeluk bantal, Icha sudah membungkus diri pakai selimut tipis sampai menyerupai lontong, dan Naya terus mondar-mandir sambil nenteng sendok senter karena katanya lebih ampuh dari senter beneran. “Gue gak ngerti ya, itu buku harian bisa ada di rak paling atas, nyempil di belakang kamus Bahasa Rusia?” kata Keira sambil mengerutkan dahi. “Yang lebih gak gue ngerti, itu kamus Rusia kenapa ada di perpustakaan SMA kita?” sahut Icha, yang kemudian langsung tertawa sendiri. “Gue yakin... itu ada konspirasi global. Kita ditarik masuk ke teori dunia paralel.” Wulan, yang dari tadi diam, akhirnya buka suara. “Gue pernah denger… ada satu kasus di SMA Tirta Bangsa, sekitar sepuluh tahun lalu. Tentang siswi panti yang tiba-tiba pindah tanpa jejak. Katanya sih kabur. Tapi nggak pernah ada kepastian.” “Melati?” tanya Keira cepat. “Bisa jadi,” jawab Wulan pelan. Naya duduk di kursi kecil dekat jendela. “Gue makin yakin kita harus cari tahu siapa mereka. Gue gak mau jadi kayak mereka—persahabatan yang hancur cuma gara-gara saling bohong.” Semua mengangguk. Diam-diam, masing-masing dari mereka merasa… agak mirip. Bukan sekadar duduk di pojok yang sama, tapi juga sama-sama menyimpan rahasia, sama-sama terluka, dan sama-sama… takut kehilangan satu sama lain. --- Keesokan harinya, mereka berkumpul di perpustakaan saat jam istirahat. Tapi kali ini bukan buat belajar, melainkan menyelidiki. Keira bawa laptop, Icha nyelipin kamera handphone ke dalam buku biar kelihatan “detektif,” dan Naya… bawa gunting. “Buat jaga-jaga, siapa tahu ada lemari terkunci,” katanya enteng. Mereka mulai dari buku tahunan sekolah sepuluh tahun lalu. Wulan membolak-balik halaman dengan teliti. “Ini dia!” serunya sambil menunjuk foto kelas XI IPA 3 tahun 2013. Ada empat cewek berdiri berdempetan di barisan belakang. Satu mengenakan jaket merah, satu pakai seragam dengan bros bunga kecil, satu tampak lebih tinggi dari yang lain, dan satu lagi berambut pendek, dengan wajah dingin yang mengingatkan mereka pada... “Naya…” Icha menunjuk. “Itu versi lo, ya ampun! Serius deh!” “Gue? Masa sih gue segitunya galaknya?” kata Naya, agak tersipu. “Eh… enggak ding. Galakan gue sekarang, fix.” Di bawah foto itu tertera nama-nama: Tami, Melati, Siska, dan Nara. “Gak salah. Ini mereka,” kata Keira. “Gue akan cari nama alumni ini di sosial media, siapa tahu ada petunjuk.” --- Sementara itu, ada yang aneh terjadi saat mereka kembali ke kelas. Kursi pojok mereka… sudah ada orang lain yang duduk di situ. Seorang siswi pindahan, berambut ikal pendek, dengan wajah pucat dan mata tajam. Ia menoleh sebentar ke arah mereka, lalu menunduk. “Iya, saya duduk di sini sekarang,” kata gadis itu saat Keira bertanya baik-baik. “Pak Yanto yang suruh.” “Eh, nama kamu siapa?” tanya Icha cepat, seperti biasa paling ramah. Gadis itu menoleh, senyum tipis. “Melati.” Empat gadis langsung saling pandang. “…MELATI?” kata mereka hampir bersamaan, dalam bisikan panik. Tapi sebelum mereka sempat bertanya lebih lanjut, bel masuk berbunyi. Dan entah kenapa, saat guru masuk dan mereka duduk di tempat masing-masing, semua terasa berbeda. Seolah-olah, ruang kelas XI IPA 3 itu mulai menyimpan lebih dari sekadar papan tulis, meja, dan suara bel. Seolah-olah, ada jejak lama yang kembali menempati tempatnya. Dan kisah di pojokan itu… belum selesai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD