Melati yang Tumbuh di Kursi Pojok

1459 Words
Hari itu, pelajaran Matematika terasa lebih menegangkan daripada biasanya. Bukan karena rumus-rumus integral yang bikin otak meledak, tapi karena keberadaan gadis baru yang duduk di kursi pojok—tempat sakral milik Keira, Icha, Naya, dan Wulan. Melati. Ia tidak banyak bicara. Tapi kehadirannya membuat suasana kelas seperti berubah frekuensi. Bahkan Bu Ratna, guru matematika yang biasanya bawel dan hobi lempar penghapus, tiba-tiba lebih lembut saat menegur Melati. “Melati, kamu ngerti penjelasan Ibu?” “Iya, Bu.” Suaranya pelan, tapi jernih. Keira mencolek Icha dari bangku belakang sambil mengedip. “Tuh kan, anak baru mah selalu dapet perhatian. Kita dulu? Disuruh nyalin soal dari halaman 1 sampai 56!” Icha menahan tawa sampai wajahnya merah. Naya, yang duduk di sebelah mereka, mencoret-coret kertas dengan tulisan “Anak ini kayak detektif palsu. Bawaannya misterius tapi cantik.” Wulan, seperti biasa, lebih tenang. Tapi tangannya sibuk menggambar sketsa wajah Melati di sudut bukunya. “Mata dia kayak pernah ngelihat banyak hal,” gumamnya pelan. --- Saat jam istirahat, mereka akhirnya memberanikan diri untuk ngajak Melati makan bareng di kantin. “Nggak, makasih. Aku bawa bekal,” kata Melati sopan sambil menunjukkan kotak makan kecil berisi nasi, telur dadar, dan acar wortel. Tapi saat mereka mau jalan, tiba-tiba perut Icha bunyi kencang seperti sirine ambulan. “KRUUUUKKK—” Semua melongo. Icha cuma nyengir. “Eh, maaf ya. Itu bukan protes sosial, cuma lambung gue aja yang meronta,” katanya santai sambil melirik Keira, “Kira-kira sponsorin nasi goreng gak, Yang Maha Kaya?” Keira menghela napas, “Yaudah, ayo! Tapi kalian semua hutang cerita. Jangan lupa, makan siang bareng artinya pengakuan dosa juga bareng.” Mereka pun duduk di meja kantin belakang. Tapi Melati tetap duduk di sebelah, membuka bekalnya, dan diam. Naya mulai duluan. “Eh, Mel, lo tinggal di mana sih sekarang?” “Daerah belakang kampus… di kosan.” “Kosan? Sendiri?” Melati mengangguk. “Berani banget. Gue aja waktu pertama kali ngekos di Jogja, seminggu nangis tiap malam. Gara-gara dikira lemari bisa pindah sendiri,” kata Icha. “Lemari lo bukan jalan sendiri, Cha. Itu waktu lo salah buka, terus kena dorongan baju-baju sampe lo kejedot,” sahut Keira. Semua ketawa. Melati tersenyum kecil. Tapi di balik tawa itu, ada rasa penasaran yang makin besar. Kenapa dia pindah ke sekolah ini? Kenapa dia duduk di pojokan tempat mereka? Dan kenapa namanya… Melati? --- Hari Jumat siang, usai pelajaran terakhir, mereka akhirnya memutuskan ‘rapat darurat’ di rumah Wulan lagi. Topik: Melati. Lebih tepatnya, investigasi Melati. Wulan bawa buku tahunan lama yang mereka temukan tempo hari. Ia membandingkan wajah Melati sekarang dengan foto gadis yang hilang sepuluh tahun lalu. “Nggak mungkin anak yang sama, tapi…,” bisik Wulan. “Wajahnya mirip. Serius. Apalagi senyumnya,” kata Keira. “Waktu gue tadi iseng nanya tentang guru lama, dia sempat jawab cepet banget soal Pak Sumarna. Padahal Pak Sumarna udah pensiun dua tahun lalu. Dia tahu loh, nama lengkapnya, hobi narik keris dan motret ikan koi,” tambah Icha. “Apa mungkin dia anak dari salah satu alumni itu?” gumam Naya. Semua terdiam. Lalu tiba-tiba Icha nyeletuk, “Atau jangan-jangan… dia reinkarnasi? Aduh, kok gue merinding.” Wulan melotot. “Cha… dia masih hidup, bukan hantu.” Icha menatap Wulan serius. “Iya, tapi gue pernah nonton film Thailand—judulnya ‘Teman Sebangku dari Masa Lalu’. Lo bayangin, anak baru yang sebenernya... ROH!” “Cha… LO KEJAUHAN!” --- Malamnya, mereka mulai membuat rencana lebih serius. Keira akan mencari data sekolah, Icha menyusup ke ruang BK buat nyari data pendaftaran Melati (pakai alasan mau pinjam penggaris panjang), dan Naya akan coba ‘menginterogasi’ Melati pas mereka kebetulan piket bareng minggu depan. Wulan? Ia diam-diam membuat komik kecil, berjudul: Melati, Gadis Kursi Kosong. --- Tapi yang tidak mereka duga, minggu berikutnya… Melati tidak masuk sekolah. Hari Senin. Tidak datang. Selasa. Tidak ada kabar. Rabu. Masih absen. Kursi pojok yang sempat direbut Melati… kembali kosong. Dan di laci mejanya, hanya tertinggal satu surat kecil… tanpa nama. “Kalau kalian mau tahu siapa aku sebenarnya… temui aku di belakang aula, Jumat malam. Jangan bawa siapa-siapa.” Tanda tangan? Tidak ada. Tapi di sudut surat itu… ada gambar bunga melati kecil yang dilukis dengan tinta hitam. Keempatnya menatap surat itu tanpa berkedip. Icha bahkan sampai lupa mengunyah gorengan yang sudah hampir separuh masuk ke mulutnya. “Gue nggak salah liat kan? Ini bukan tugas kelompok Bahasa Indonesia, kan?” tanya Icha. “Ya ampun Cha, kalau ini tugas, kita udah dapat nilai A semua buat akting detektif,” jawab Naya sambil merebut surat itu dari tangan Keira. Wulan mengamati simbol bunga melati kecil di sudut kertas. Tangannya langsung bergerak menggambar ulang di buku sketsanya. “Ini… bukan gambar biasa. Aku pernah lihat motif ini di lukisan tua di aula sekolah. Mungkin ada hubungannya.” “Lo yakin bukan dari film horor? Yang begitu-begitu tuh biasanya muncul di pojok layar terus bikin orang kesurupan,” kata Icha dengan mata membesar, sambil memegang pundak Keira dramatis. “Cha, plis, ini serius,” potong Keira. “Kalau kita mau tahu siapa Melati sebenarnya, kita harus dateng hari Jumat. Tapi serius deh… jangan sampai guru-guru tahu.” --- Hari Jumat pun tiba… Dan seperti biasa, ide mereka untuk bertindak diam-diam berakhir dengan… kehebohan yang sangat tidak diam-diam. “Gue udah bilang, jangan bawa snack!” bisik Keira kesal melihat Icha datang membawa tas berisi keripik, minuman soda, dan… bantal leher. “Maaf, gue kira kita bakal begadang sampe pagi. Ya kali ketemu Melati terus dia ngajakin ngobrol tentang kehidupan,” bisik Icha polos. Mereka menyelinap ke belakang aula, tempat yang jarang dilewati guru malam hari. Hanya ada satu lampu redup di dekat pohon beringin besar. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, dan suara jangkrik seperti musik latar misteri. “Wulan, lo bawa senter?” bisik Naya. “Bawa,” jawab Wulan sambil menyalakan lampu kecil dari handphonenya. Tapi bukan ke tanah yang ia sorot—melainkan ke langit-langit pohon. “Gue suka lihat ke atas. Kadang ada jawaban di sana,” gumamnya. Yang lain saling pandang, antara kagum dan bingung. --- Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki. Pelan. Berirama. Seperti sepatu bersol karet di atas semen tua. Mereka saling merapat. Icha refleks memeluk Keira sambil berbisik, “Kalau gue kesurupan, panggilin Ustaz.” Dari balik bayangan, muncullah… Melati. Tapi ada yang berbeda. Ia mengenakan baju seragam, tapi bukan seragam SMA mereka. Modelnya kuno. Dengan lencana nama berwarna pudar yang tulisannya… nyaris tak terbaca. “Melati?” tanya Wulan hati-hati. Gadis itu tersenyum. “Terima kasih sudah datang.” “Lo siapa sebenernya?” potong Naya langsung. “Aku… dulu pernah duduk di sini. Di kelas yang sama. Di kursi pojok itu,” katanya pelan. Keira melangkah maju. “Tapi kamu bukan siswa resmi. Nama kamu nggak ada di daftar. Dan kamu nggak pernah ikut upacara. Gue udah cek.” Melati menunduk. “Aku tidak terdaftar karena aku… hanya datang kembali. Untuk satu hal yang belum selesai.” “OKE, STOP!” Icha tiba-tiba berdiri dengan tangan ke atas. “Gue nggak siap kalau ini jadi cerita Kuntilanak Pojokan. Plis, Mel. Lo jangan bilang lo… bukan manusia.” Melati tersenyum. “Aku manusia, Icha. Tapi masa laluku... pernah menghilang di tempat ini. Dulu, aku siswa tahun 2009. Tapi aku harus pindah tiba-tiba karena…” Suara Melati tertelan angin malam. Ia membuka kancing kecil di bagian kerah, memperlihatkan liontin tua berbentuk bunga melati. “Ini… milik sahabatku dulu. Kami janji akan bertemu di sini sepuluh tahun kemudian. Tapi aku tak pernah sempat kembali. Sampai akhirnya aku nekat menyamar jadi murid pindahan dan… duduk di kursi itu. Tempat kami biasa duduk bareng.” Semua terdiam. Bahkan Icha pun tak bisa nyeletuk apapun. Suasana menjadi hening. Bahkan jangkrik pun seolah berhenti menyanyi. --- Tapi kemudian… perut Icha bunyi lagi. KRUUUUUUUKK. “Duh, sorry. Gue serius, suasana sedih tuh bikin laper,” bisiknya malu. Mereka semua akhirnya tertawa. Bahkan Melati pun ikut tersenyum lebar. “Gue suka kalian. Gue pikir, duduk di pojokan lagi cuma akan bikin gue mengingat rasa kehilangan. Tapi ternyata… malah nemu tawa yang baru,” katanya sambil menatap mereka satu per satu. Keira melipat tangan. “Oke. Jadi, mulai Senin lo balik ke tempat lo duduk sekarang. Tapi siap-siap. Kita nggak cuma sahabatan. Kita saling bikin repot.” “Dan kadang saling pinjem uang kalau warung depan tutup,” tambah Icha. “Dan harus tahan kalau Wulan tiba-tiba nangis karena baca puisi sendiri,” kata Naya. Wulan langsung melempar tisu ke arah Naya sambil senyum malu. --- Malam itu, di belakang aula sekolah, lima gadis duduk berderet sambil berbagi keripik, cerita, dan tawa. Bukan sekadar geng pojokan. Tapi persahabatan yang tumbuh dari luka, tawa, dan satu janji kecil yang membuat hidup lebih berwarna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD