Sabtu pagi, matahari baru naik malu-malu di balik jendela kamar Icha yang sempit. Suara ayam tetangga, motor lewat, dan jeritan adik-adiknya yang rebutan remote TV sudah seperti alarm harian yang tak pernah gagal.
Icha membuka mata, menatap langit-langit kamar. Atap bocor di pojokan masih menghitam sejak musim hujan kemarin. Tapi bukan itu yang ia pikirkan. Semalam ia tertawa begitu keras bersama Keira, Wulan, Naya… dan Melati. Tapi pagi ini, ia kembali menjadi Icha yang harus bangun sebelum semuanya minta makan.
Ia berjalan ke dapur. Ayahnya duduk di kursi roda, menatap kosong ke arah luar jendela.
“Cha, minyak goreng habis,” kata ibunya dari arah kamar. “Kamu bisa beli ke warung Bu Umi, minta utang dulu ya.”
Icha mengangguk pelan.
Di sepanjang perjalanan ke warung, ia tersenyum menyapa tetangga. Semua kenal dia. Icha si anak SMA yang ceria dan cerewet. Tapi tak ada yang tahu, di balik senyum itu, dia menyimpan ketakutan: takut nggak bisa terus kuat.
---
Di sisi lain kota, Keira bangun dengan aroma parfum lavender dari seprai bersih dan suara piano yang dimainkan pelan di ruang tengah. Tapi bukan melodi indah yang mengisi rumah besar itu—melainkan dua suara yang tak pernah lelah saling menyalahkan.
“Aku bilang jangan ambil proyek itu! Sekarang kita harus ke Jakarta minggu depan!” bentak suara ayahnya.
“Dan aku bilang, aku bisa urus ini sendiri! Tapi kamu selalu ikut campur urusan yang bahkan bukan tanggung jawabmu!” balas ibunya.
Keira hanya duduk di pinggir tempat tidur. Ia menarik napas panjang, lalu mengambil headset dan menyalakan playlist “Relaxing Rain”. Tapi suara hujan buatan itu pun tak mampu menenggelamkan kenyataan bahwa rumahnya tak pernah benar-benar tenang.
Ia menatap foto lama: Keira kecil bersama kedua orang tuanya yang tertawa di pantai. Ia tak ingat kapan terakhir kali mereka tertawa bersama seperti itu.
---
Wulan menghabiskan pagi dengan mencuci baju di belakang panti. Suara radio dari dapur memutar lagu lawas yang menenangkan, tapi hatinya justru kacau.
Semalam sebelum tidur, kepala pengurus panti, Bu Rani, memanggilnya.
“Wulan, ini surat untukmu. Dari seseorang yang mengaku mengenal ibumu.”
Wulan tertegun. Sudah lama ia berhenti berharap. Ibunya meninggalkannya di panti sejak usia lima tahun. Tak pernah mengirim kabar. Tak ada tanda akan kembali. Tapi surat itu… membangunkan luka yang selama ini ia kubur.
Ia belum membuka suratnya. Masih tersimpan di dalam buku gambar, di bawah kasur tipisnya. Ia takut. Takut isi surat itu tak sesuai harapan, atau malah membuat semuanya lebih sakit.
---
Dan di satu rumah kecil dengan cat tembok terkelupas, Naya sedang adu mulut dengan kakaknya yang baru pulang pagi-pagi buta.
“Lo mabuk lagi, Bang? Lo pikir Mama bakal seneng lihat lo begini?” bentak Naya sambil memegangi tangan kakaknya yang hampir terjatuh.
“Aku nggak perlu ceramah dari bocah SMA!” seru kakaknya sambil melepaskan diri dan menendang kursi di ruang tamu.
Naya ingin teriak. Tapi ia hanya diam. Matanya panas, dadanya sesak. Ia berjalan ke dapur, membuka kulkas yang kosong, lalu duduk di lantai sambil menatap nasi sisa kemarin.
Mama-nya sudah lama meninggal. Ayahnya entah di mana. Kakaknya satu-satunya keluarga… tapi juga sumber luka terbesarnya.
---
Siang itu, mereka berempat duduk di bangku pojokan sekolah. Tak ada satu pun dari mereka yang cerita tentang pagi mereka. Tapi… ada keheningan yang sama, menyelimuti.
Keira tiba-tiba angkat suara.
“Gue bosen kalau tiap pulang ke rumah cuma jadi saksi debat orang tua gue.”
Wulan menoleh pelan. “Aku dapat surat dari ibuku. Yang ninggalin aku dulu.”
Naya cuma menjentikkan jari ke botol minum. “Kakak gue mabuk lagi pagi ini.”
Icha menggigit bibir. “Gue… minta utang lagi buat beli minyak. Tapi gue bilang ke ibu warung, utangnya buat beli buku. Gue malu kalau ketauan pinjem buat makan.”
Mereka saling tatap.
Dan untuk pertama kalinya, mereka tertawa… bukan karena hal lucu. Tapi karena ternyata, luka mereka tak perlu disembunyikan.
---
Wulan mengeluarkan surat dari sakunya. “Mau bantu gue baca?”
Mereka mengangguk. Surat itu dibuka perlahan, dan tulisan tangan dengan tinta biru terpampang jelas:
"Wulan, maaf. w besi yang menghadap danau."
Semuanya terdiam.
“Wul…” kata Icha pelan, “Kalau lo siap, kita semua bakal ikut. Kita temenin lo. Kita nggak bakal biarin lo ketemu siapa pun sendirian.”
Wulan menatap mereka satu per satu, dan matanya berkaca-kaca. “Makasih. Kalian rumah gue sekarang.”
Hari Sabtu belum sepenuhnya berjalan. Tapi empat gadis itu sudah merasakan seolah hidup mereka dihantam badai dari segala arah.
Selepas obrolan di bangku pojok kelas yang penuh rahasia tadi siang, mereka memutuskan untuk pulang masing-masing. Tapi nyatanya, kepala mereka masih dipenuhi kata-kata yang belum sempat diucap.
Rumah Icha
Di rumahnya yang hanya berukuran 6x9 meter, Icha sedang duduk di depan adik-adiknya yang berebut kue basah. Ia hanya beli tiga potong, sedangkan adiknya ada empat. Mau tak mau, ia menyisihkan bagiannya.
“Neng Icha nggak makan?” tanya si bungsu sambil mulutnya belepotan coklat.
Icha tersenyum. “Kenyang, Neng. Tadi makan di sekolah.” Padahal terakhir ia makan tadi malam, itu pun hanya nasi dan sambal tomat.
Setelah adik-adiknya tidur, Icha masuk ke kamar. Ia buka buku catatan kecil yang selalu ia simpan di bawah bantal. Halaman pertama bertuliskan: “Target: Masuk PTN, bebasin keluarga dari utang.”
Matanya menatap daftar mimpi yang ditulis dengan warna-warni spidol. Tapi entah kenapa, malam itu tulisan itu terlihat kabur. Air mata mulai turun, pelan-pelan, tanpa isakan. Icha merasa kuat… tapi ternyata, tidak setiap malam bisa ia tahan sendirian.
“Kalau bukan karena Keira, Naya, Wulan… mungkin aku udah menyerah,” bisiknya.
Ia lalu mengirim pesan ke grup kecil mereka berempat:
🟡 Empat Kursi Pojok
Icha: “Gue sayang kalian. Cuma itu mau gue bilang. Makasih ya, udah bikin hari ini gak kerasa sendirian.”
Rumah Keira
Sementara itu di rumah besar Keira, ruangan sudah sepi. Ayah dan ibunya mengunci diri di kamar masing-masing, seperti biasa, setelah bertengkar.
Keira berdiri di depan meja makan yang penuh makanan, tapi tak ada yang menyentuhnya. Ia duduk sendiri, menusuk-nusuk salmon panggang dengan garpu.
Ia mengingat saat kecil, saat ibunya masih rajin membacakan dongeng sebelum tidur, dan ayahnya menggendongnya sambil berlari keliling ruang tamu.
Sekarang? Semua penuh diam. Bahkan saat ia sakit pun, yang datang menjenguk pertama justru… Icha. Bukan orang tuanya.
Keira berdiri, mengambil ponsel, dan merekam video pendek di depan cermin.
> “Hai. Namaku Keira. Katanya aku cewek paling beruntung. Rumah besar, uang banyak, baju mahal. Tapi tau nggak, gue cuma pengen punya rumah yang rame. Yang... bener-bener ada orangnya, bukan cuma isi barang.”
Ia menghapus videonya, lalu memeluk boneka rusak di sudut ranjang. Satu-satunya hadiah ulang tahun dari ayahnya, sepuluh tahun lalu.
Keira lalu membalas pesan Icha di grup: Keira: “Sama, Cha. Gue juga gak bisa bayangin hidup gue sekarang tanpa kalian. Maaf kalau dulu gue nyebelin.”
Panti Asuhan Wulan
Wulan akhirnya duduk di bawah pohon mangga belakang panti. Ditemani buku gambar dan surat dari ibunya yang masih membuat jantungnya berdetak tidak karuan.
Bu Rani datang membawa teh hangat.
“Kamu takut?” tanya beliau lembut.
Wulan mengangguk.
“Aku takut... kalau dia datang cuma buat numpang sesal. Atau… lebih parah, ternyata dia bukan orang yang aku bayangin.”
Bu Rani menepuk pundaknya. “Apapun yang terjadi, kamu punya kami. Dan kamu punya Keira, Icha, Naya. Kamu gak sendirian, Lan.”
Malam itu, Wulan menulis puisi di kertas gambarnya:
> Ibu adalah rumah tanpa alamat,
Aku adalah anak yang berteduh di angin,
Tapi sekarang aku tahu… rumah bisa ditemukan,
Bahkan di bangku pojok sebuah kelas yang gaduh.
Ia tersenyum untuk pertama kalinya malam itu.
Rumah Naya
Sementara itu, Naya duduk di atap rumahnya, membawa dua botol teh manis dan roti sisa warung. Ia meletakkan satu botol di samping.
“Gue tahu lo tidur, Bang. Tapi gue juga butuh ngobrol, tahu nggak?” katanya, menatap langit.
Ia diam. Kemudian melanjutkan.
“Gue muak marah-marah terus. Tapi siapa lagi yang bisa gue andelin kalau bukan lo? Gue kangen Mama. Gue benci sekolah. Tapi… gue seneng juga. Gue ketemu temen-temen yang gila, lucu, dan… nerima gue walau gue suka ngamuk.”
Ia minum teh sambil menatap bintang. Lalu mengirim pesan ke grup:
Naya: “Gue mau ngajak kalian nginep di rumah gue Sabtu depan. Kita masak bareng, tidur di lantai, terus saling cerita sampe pagi. Deal?”
---
Keesokan Harinya
Empat pesan dari empat hati yang saling menjaga, akhirnya terkumpul di satu tempat: grup kecil itu.
Dan mereka semua menjawab dengan satu kata:
> DEAL.
---
Bab ini bukan tentang pertengkaran atau drama dramatis. Tapi tentang kenyataan: bahwa di balik tawa dan candaan, keempat gadis itu menyimpan luka yang tak selalu terlihat. Tapi ketika luka-luka itu bertemu, mereka tidak menjadi lemah—mereka justru saling menguatkan.
Karena persahabatan sejati, bukan soal seberapa sering tertawa bersama. Tapi seberapa dalam kamu bisa menangis tanpa harus menjelaskan kenapa.