Tugas yang Mengikat

1430 Words
Hari pertama kerja kelompok, ruang kelas kosong setelah jam pelajaran terakhir. Hanya tersisa empat kursi di pojok belakang, dan empat gadis yang sama-sama malas memulai. Keira duduk paling rapi, membuka laptopnya dengan elegan. “Oke, kita dapet tugas presentasi tentang logaritma. Aku bisa bagian penjelasan teori dan visualnya. Yang lain?” Icha mengunyah ciki, duduk nyelonong di meja. “Gue mah bisa bikin jokes biar presentasi nggak boring. Tapi ya jangan suruh gambar atau desain, jelek. Sejelek mantan gue.” “Jangankan desain, nulis rapi aja susah,” sahut Naya, nyengir sinis sambil nyandar ke kursi. “Tapi kalau perlu bikin slide malam-malam sambil nyelinap ke warnet, gue jagonya.” Keira memutar bola mata. “Warnet? Kita udah era Google Classroom, Nay.” Wulan diam saja. Tangannya sibuk corat-coret buku tulis dengan pensil 2B-nya. Gambar empat bangku di pojok kelas. Diam-diam dia menggambar Keira, Icha, Naya… dan dirinya sendiri, dalam bentuk sketsa kartun. Keira menatap Wulan. “Kamu bisa desain kan?” Wulan mendongak. “Bisa… tapi biasanya untuk diriku sendiri.” “Tolonglah. Kita kan satu kelompok sekarang,” Icha menyenggol Wulan. “Anggep aja ini misi persahabatan.” Wulan terdiam, lalu mengangguk pelan. Naya membuka tutup botol air mineral dan meneguk setengah isinya. “Gue gak ngerti kenapa harus kita berempat yang satu kelompok. Ini sih karma pelemparan penghapus kemarin.” Icha ketawa. “Ya kali Pak Hardi spiritual gitu, bisa ngebaca aura kebencian kita berempat.” Tapi di balik canda itu, sesuatu mulai tumbuh. Mereka mulai saling ngobrol bukan cuma soal tugas, tapi juga soal hal-hal kecil. Tentang drama sinetron yang mereka tonton, guru killer yang suka pake parfum menyengat, sampai kisah cinta diam-diam dengan kakak kelas. Malam harinya, di grup w******p yang baru mereka buat—dengan nama “POJOK BERACUN”—muncul notifikasi: Wulan: Aku udah kirim desainnya ya. Coba cek, kalau kurang aku revisi. Keira: Oke. Aku suka style-nya. Clean tapi tetap estetik. Icha: Wulan, sumpah... lu jago banget! Nanti gue bikinin meme buat slide terakhir ya. Biar ngakak dikit. Naya: Besok latihan presentasi, atau kita langsung ngacir ke kantin? Keira: Latihan. Gue gak mau malu di depan kelas. Icha: Eaaa... takut malu, tapi kemarin nuduh orang di depan umum. Keira: ... Wulan: Tenang, Cha. Semua orang pernah salah. Yang penting, minta maaf dan belajar. Hening sejenak. Keira: Yaudah, besok gue bawain roti sobek buat semuanya. Deal? Naya: Kalau gak enak, lo gue lempar pake penghapus lagi. Icha ngakak sampai kirim 20 stiker tertawa. Malam itu, keempatnya tidur dengan senyum kecil di wajah masing-masing. Mereka belum tahu bahwa tugas ini bukan cuma tentang matematika… tapi tentang bagaimana empat dunia yang sangat berbeda bisa bertemu, saling menerima, dan suatu hari... saling menyelamatkan. Minggu pagi, jam delapan. Yang lainnya masih molor, Keira sudah tiba lebih dulu di rumah Wulan, tempat yang mereka sepakati untuk mengerjakan tugas bersama. Tapi Keira sedikit kaget saat melihat tempat tinggal Wulan. Bukan rumah besar berpagar besi seperti miliknya. Bukan pula rumah tipe sederhana seperti rumah Icha. Tempat itu adalah bangunan lama dua lantai, bertuliskan “Panti Asuhan Cahaya Hati”. Keira berdiri kaku di depan pagar. Tangannya gemetar saat menekan bel. Tak lama, seorang anak kecil membuka pintu. “Kak Wulan ya? Di atas tuh, Kak. Ayo masuk!” Keira masuk pelan. Matanya menyapu isi rumah yang hangat tapi sederhana. Ada suara anak-anak tertawa di ruang tengah, beberapa lagi sedang belajar mengaji. Di tembok tergantung bingkai-bingkai foto kegiatan sosial. Ia menelan ludah. Baru kali ini ia merasa seperti turis yang datang ke dunia yang berbeda. Wulan turun dari tangga membawa nampan berisi teh hangat. Ia tersenyum kecil. “Maaf ya, tempatnya nggak kayak Starbucks.” Keira hanya tersenyum canggung. “Nggak apa-apa. Malah… kayak rumah beneran.” Tak lama, Icha datang bersepeda, keringetan dan bawa tas kresek isi gorengan. Disusul Naya yang nyaris nyasar karena alamatnya dianggap “nggak ada di Google Maps”. Di kamar Wulan yang kecil tapi rapi, mereka duduk lesehan. Wulan buka laptop dan menunjukkan desain slide yang sudah ia buat. “Ini halaman judul. Terus ini bagian isi. Aku pakai warna biru karena katanya bisa bantu otak fokus.” Keira manggut-manggut. “Aku suka. Profesional banget.” Icha menepuk pundak Wulan. “Wulan, sumpah, kalau nanti lo nikah sama desainer, lo tinggal buka studio ilustrasi deh.” Naya memandang Wulan sambil mencondongkan badan. “Lo belajar dari mana bisa bikin desain kayak gini?” “Autodidak. Dulu sering pinjam komputer pengurus panti, terus latihan sendiri.” Ada kekaguman di mata mereka bertiga. Seketika, Wulan bukan lagi si pendiam yang misterius—dia punya dunia yang dalam dan tidak semua orang bisa memasukinya. Mereka lalu mulai latihan presentasi. Icha bagian pembuka dengan gaya lawaknya. Keira menjelaskan teori logaritma seperti dosen muda. Naya jadi pengatur transisi slide, sementara Wulan mengecek tata letak agar rapi. Semua berjalan lancar—hingga sebuah pertanyaan iseng dari Icha memicu sesuatu. “Eh, Nay. Lo kan anaknya suka ngilang-ngilang. Emangnya lo tinggal sama siapa sih?” Naya berhenti mengunyah gorengan. Tatapannya tajam seketika. “Ngapain lo nanya?” Icha terdiam, merasa bersalah. Tapi Wulan menengahi dengan kalimat pelan. “Maaf ya Nay, Icha bukan maksud nyerang.” Naya menghela napas, lalu berdiri. “Gue tinggal sama nenek. Nyokap-bokap gue cerai. Dan enggak, gue gak suka ngomongin itu.” Keheningan menggantung. Bahkan cicit kipas angin pun terdengar lebih nyaring. Tapi kemudian Keira bicara, lirih. “Kalau gitu kita bikin kesepakatan, deh. Di antara kita berempat… kita boleh cerita, atau memilih diam. Tapi gak ada yang ngejek, gak ada yang ngejek balik, dan gak ada yang bocorin.” Wulan mengangguk. Icha ikut mengacungkan jari kelingking. “Janji?” “Janji,” kata Naya akhirnya, pelan. Dan saat jari-jari kelingking mereka bertaut, persahabatan itu bukan sekadar kerja kelompok. Tapi ikatan baru yang mulai tumbuh dari sudut kelas, menjalar ke sudut hati masing-masing. Mereka belum tahu badai apa yang akan datang. Tapi saat ini, mereka tahu: mereka tidak sendirian. Sore mulai turun. Langit jingga mengintip dari balik jendela kamar Wulan. Suasana sudah lebih cair. Mereka tak lagi kikuk seperti awal pertemuan. Bahkan Naya, yang biasanya nyinyir dan ogah dekat-dekat orang, sudah mulai ikut tertawa waktu Icha nyanyi lagu dangdut sambil joget di atas bantal. “Cuy, lo kalau masuk TVRI, menang lomba nyanyi deh,” kata Keira sambil ngakak, memegang perut. “TVRI mah kalah! Ini cocoknya masuk Indonesian Joget Talent!” tambah Naya, tertawa terpingkal. Wulan cuma tersenyum sambil terus menggoreskan pensilnya di buku gambar. Tak lama, ia menyodorkan satu lembar pada mereka. Gambar empat cewek dengan ekspresi unik: satu pegang lip balm, satu bawa gorengan, satu main rubik, satu lagi tampang galak sambil nyendok nasi padang. “Ini kita?” tanya Keira sambil memandangi sketsa itu takjub. “Yap. Tim Sudut Kelas,” jawab Wulan, malu-malu. “Eh, keren banget sumpah! Gue mau bawa ini ke fotokopian, kita cetak terus tempel di loker sekolah yuk!” ujar Icha semangat. Naya mendecak, “Yaelah, lebay. Tapi… keren sih.” Lalu, tanpa disadari, mereka sudah bicara tentang hal-hal di luar tugas. Tentang guru killer, tentang cowok cakep dari kelas sebelah, dan tentang gosip kocak anak OSIS yang katanya nyimpen k****g buat cadangan lomba drama. Namun momen itu pecah ketika notifikasi HP Keira berbunyi. Ia melihat layar, lalu wajahnya mendadak berubah. “Ada apa?” tanya Wulan. Keira menelan ludah. Ia menunjukkan layarnya. Sebuah pesan dari ibunya: > Keira, Papa sama Mama ribut lagi. Kalau Papa keluar rumah malam ini, kamu jangan ikut campur. Kunci pintu kamar. Semua terdiam. Naya mendekat. “Serius?” Keira mengangguk pelan. “Kayaknya mereka bakal pisah. Ini udah yang kesekian kali…” Icha menyentuh tangan Keira. “Maaf ya. Gue gak nyangka hidup lo ternyata juga... rumit.” Keira menghela napas. “Orang mikir aku anak kaya, hidup enak. Tapi sebenarnya... kadang rumahku lebih dingin dari AC di mall.” Tak ada yang bicara. Tapi keheningan itu tidak membuat suasana canggung. Justru jadi jembatan. Karena di titik itu, mereka saling paham—bahwa setiap orang punya beban, punya luka, meski tak semua terlihat dari luar. Matahari mulai tenggelam. Tugas selesai. Mereka pulang dengan hati yang aneh: hangat, walau banyak cerita sedih yang masih tertahan. Dan malam itu, di grup w******p kecil bernama “Geng Sudut Kelas”, muncul pesan dari Wulan: > Terima kasih ya. Aku kira aku cuma akan jadi anak panti yang nggak pernah punya sahabat. Ternyata Tuhan ngasih kejutan lewat kalian. Keira membalas: > Kejutan ya? Kalo gitu siap-siap. Hidup kita bakal makin drama kayak sinetron striping! Dan semua tertawa. Bahkan Naya yang jarang pakai emoji, malam itu mengirim satu: (emoji api dan hati merah)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD