Lip Balm, Jambak, dan Rubik

1035 Words
Barisan paling pojok di kelas XI IPA 3 SMA Tirta Bangsa terkenal angker. Bukan karena dihuni hantu berkepang dua, tapi karena di sanalah duduk Keira, Icha, Wulan, dan Naya—empat cewek dengan energi yang lebih panas dari sambal setan kantin Bu Erni. Semua berawal dari pagi yang cerah tapi bikin emosi, ketika Keira menatap isi tasnya dengan mata membara. “Lip balm Dior-ku hilang,” katanya dengan nada setengah menuduh, setengah dramatis, dan seratus persen menyebalkan. Icha yang duduk di sebelahnya langsung reflek bilang, “Ya ampun, aku cuma make balsem Cap Kaki Tiga. Itu juga udah ngademin hidup aku, nggak perlu Dior-Dioran.” “Please, ya. Aku nggak bilang kamu nyuri, tapi cuma kamu yang duduk deket aku,” kata Keira dengan lirikan tajam yang bisa memotong harga diri siapa pun. Naya yang duduk di belakang mereka, mendongak dari posisi selonjorannya. Rambutnya diikat asal, seragamnya dikeluarin, dan mukanya udah kayak siap tarung. “Lo nuduh Icha nyuri? Sekali lagi lo buka mulut, sumpah, gue jambak,” ancam Naya sambil berdiri, menggetarkan meja. Keira berdiri juga, walau sepatu boots-nya terlalu modis buat berantem. “Gue nggak takut sama lo, ya! Nih barang mahal, bukan kayak dompet sobek lo!” Seketika kelas jadi ring tinju. Anak-anak cowok mulai bersorak, ada yang nyorot kamera, bahkan Pak Rudi wali kelas baru hampir melempar penghapus ke udara saking paniknya. Tapi di tengah semua itu, satu-satunya yang duduk tenang adalah Wulan. Wulan tidak berkata apa-apa. Ia hanya memainkan rubik warna pastel, matanya mengamati tapi tidak bereaksi. Dunia di sekitarnya seperti radio yang volumenya dimatikan. Keempat cewek itu akhirnya dipanggil ke ruang BK. “Mulai hari ini,” kata Bu Sinta guru BK dengan nada tegas, “Kalian berempat saya kelompokkan dalam satu tim proyek sosial ‘Empati dan Kepedulian’. Kalian harus kerja sama bikin kegiatan untuk murid baru minggu depan.” “Hah?! Serius, Bu?” keempatnya kompak—untuk pertama kalinya. Bu Sinta tersenyum tipis. “Biar kalian belajar: daripada saling tuduh, lebih baik saling tahu.” Dan begitulah awal petaka… sekaligus permulaan dari segalanya. Hari-hari selanjutnya jadi absurd. Keira yang biasa jalan pakai heels harus ikut Icha ke pasar beli kain bekas buat dekorasi. Naya yang biasa ngilang pulang jam sembilan malam, harus latihan drama dengan Wulan sampai magrib. Mereka sering adu argumen, saling sindir, bahkan saling ngerjain. Tapi tanpa sadar, sedikit demi sedikit… mereka mulai tertawa bersama. Suatu sore, saat mereka latihan nari untuk pertunjukan sambutan murid baru, Icha tiba-tiba pingsan. Semua panik, kecuali Keira—yang justru menangis diam-diam sambil memegang tangan Icha. “Ternyata bukan cuma aku yang capek hidup ya,” bisiknya lirih. Wulan diam, tapi malam itu ia menulis puisi untuk Icha dan menempelkannya diam-diam di loker. Puisi yang bikin Icha nangis saat membacanya pagi harinya. Dan Naya, yang paling jarang nangis, tiba-tiba melindungi Keira dari ejekan anak kelas sebelah. “Jangan karena dia kaya lo pikir dia kuat. Kalau lo tau hidup dia, lo juga bisa nunduk.” Namun semua berubah ketika mereka mengetahui satu hal... Seseorang di antara mereka—salah satu dari empat—menyimpan rahasia yang bisa menghancurkan persahabatan itu. Bukan lip balm, bukan soal cowok, tapi sesuatu yang menyangkut masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Rahasia yang, ketika terbongkar… akan membuat salah satu dari mereka berkata: “Kalau aku jujur dari awal, kalian pasti nggak akan mau temenan sama aku…” Hari itu baru saja bel masuk berbunyi, tapi suasana kelas XI IPA 3 sudah panas seperti pasar malam. Bukan karena PR Fisika yang belum dikumpulkan, tapi karena... satu lip balm mungil warna rose gold. “Aku bilang, jangan sok polos, Cha! Ini lip balm-ku yang ilang dari tas kemarin! Kamu yang duduk paling deket, kamu pasti ngambil!” suara Keira tajam, tajam banget sampai bisa ngiris hati. Icha yang baru duduk dan belum sempat naruh tas, langsung bengong, “Hah? Ngambil? Serius, lo nuduh gue, Ki?” Keira berdiri, menunjuk meja Icha, “Itu... itu! Persis kayak punyaku. Bahkan bekas goresan di tutupnya sama!” Icha langsung meraih lip balm itu, menatapnya dengan kening berkerut. “Ini? Ini gue nemu di lantai koridor kemarin sore. Gue pikir punya siapa, jadi gue simpen di meja buat nanya nanti. Lah kok sekarang gue dituduh maling?” Naya yang baru nongol dari pintu kelas, mendengar adu mulut itu, langsung angkat alis. “Woi woi, rame banget pagi-pagi. Emang kenapa sih?” Keira mendengus, “Gue gak suka ditipu.” Naya melipat tangan, berdiri di antara mereka berdua. “Dan gue gak suka orang sok suci. Kalau lo bener-bener kehilangan, tanya baik-baik, bukan main tuduh. Nih orang dari kemarin bantuin temen ngerjain tugas sampe malem, mana sempet nyolong barang receh kayak gitu?” “Receh?” Keira nyaris meledak. “Ini lip balm edisi terbatas Paris, Naya!” Wulan yang dari tadi duduk di pojok, fokus main rubik tanpa suara, akhirnya bersuara pelan, “Kayaknya sih... kemarin aku lihat Kak Devina dari kelas XII pegang lip balm serupa. Dia duduk di bangku lorong yang sama, mungkin jatuh dan kebawa ke kelas ini.” Keira terdiam. Icha langsung menoleh ke Wulan dengan wajah cerah, “Wulan, kenapa nggak dari tadi sih ngomong?!” Wulan mengangkat bahu. “Kalian keburu teriak-teriak. Aku tunggu momen tenang, tapi gak ada.” Suasana mendadak hening. Lalu... “HUAHAHAHA!” Icha ngakak lepas. “Gila lo semua! Cuma gara-gara lip balm! Naya, lo liat gak muka Keira tadi? Mukanya kayak abis kejebak gorengan basi!” “Woy!” Keira reflek melempar penghapus ke arah Icha, tapi meleset dan malah kena guru Matematika yang baru masuk. “ASTAGA!” teriak semua orang serempak. Pak Hardi berdiri di ambang pintu, menatap mereka dengan tatapan datar, penghapus masih menempel di pundaknya. “Ada yang mau menjelaskan,” katanya dingin, “kenapa pagi ini saya disambut dengan pelemparan alat tulis?” Seketika, semua mata memandang Keira, Icha, Naya, dan Wulan. Empat gadis yang tidak pernah menyangka bahwa hari itu adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar ribut soal lip balm. Dan hukuman kerja kelompok selama satu minggu yang diberikan Pak Hardi... menjadi momen di mana empat kursi di sudut kelas itu mulai saling mengenal. Bukan hanya nama, tapi juga luka, rahasia, dan tawa yang pelan-pelan mengubah semuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD