"Eh aku belum nanya, kok kamu tahu tempat ini? Kamu pernah ke sini?"
"Dulu aku magang di sini sebelum lulus SMK. Setiap aku bersedih, aku selalu ke tempat ini dan merenung. Tempat yang bagus buat mencari solusi atas semua masalahku."
"Sendirian?"
"Iya. Aku ga berteman
dekat dengan siapa pun. Hanya dengan Fara dan Mira saja, aku merasa nyaman. Yang lain, seperlunya saja."
"Jangan menyimpannya sendiri. Biasakan selalu bercerita pada Fara dan Mira. Mereka sahabat kita sejak kecil."
"Aku tahu. Aku kadang cerita sama Mira. Kalo dengan Fara, dia terlalu barbar menyikapi masalahku. Aku kadang takut cerita ma dia, hehe."
"Itu karena dia sayang sama kamu, Fara ga mau lihat kamu terluka, Ta."
"Aku tahu. Sekali lagi, makasih ya Daf."
"Anytime."
Mereka pun beranjak dari sana dan segera menuju musola untuk menunaikan kewajibannya. Dafa tahu, Sita butuh waktu untuk berkeluh kesah, makanya setelah dia selesai, dengan sabar dia menunggu Sita selesai. Akhirnya Sita pun selesai dan mengajak Dafa keluar.
"Kamu mau ke mana lagi Ta?"
"Entahlah. Pikiranku masih buntu."
"Mau aku ajak ke suatu tempat?"
"Boleh."
Dafa mengendarai
mobilnya menuju suatu tempat. Dia mengajak Sita pergi ke sebuah taman yang sangat indah, sejuk. Mereka
menyewa tikar dan duduk di sana. Tak lama, seorang kurir mengantarkan makanan pada Dafa. Lalu Dafa menerima makanan itu dan menyimpannya di atas tikar.
"Makan dulu yuk, aku tahu kamu pasti lapar.
Bersedih selalu menghabiskan banyak energi, hehe."
"Kamu tahu aza yang aku mau."
"Soalnya aku aza yang ga sedih lapar, apalagi kamu."
"Kamu nyindir aku."
"Ga, itu kan kenyataan.
Yuk makan, jangan berdebat lagi, ujung-ujungnya takut kamu marah."
"Iya. Makasih ya Daf."
Mereka pun melanjutkan makan sambil melihat orang yang berlalu lalang di sana. Tamannya sangat bersih dan sejuk. Ga salah Dafa mengajak Sita ke sana. Setelah selesai, Dafa membuang semua sampah sisa makanannya. Mereka kembali bercakap-cakap.
"Ta, apa kamu selalu menemani atasanmu kalo keluar?"
"Iya, dia belum menemukan asisten yang pas. Katanya kalo sudah menemukan asisten, dia akan memintaku standbye di kantor dan ga akan memintaku selalu keluar bersamanya."
"Dia sudah pernah melakukan seleksi?"
"Pernah beberapa kali,
dan ga ada yang cocok untuk kriterianya."
"Bos kamu pemilih juga ya?"
"Bukan selektif, tapi dia belum menemukan yang klik dengannya. Yang ada chemistry dengannya terkait pekerjaan."
"Oh begitu. Dia cari asisten laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki. Biar lebih gesit katanya, hehe."
"Hmmm."
"Mungkin dia takut ketahuan ama istrinya, kalo dia sedang dinas keluar kalo asistennya perempuan. Istrinya agak cemburuan, hehe."
Dua jam tak terasa mereka habiskan di sana hanya untuk bercakap-cakap. Melihat Sita tersenyum, membuat Dafa menjadi tenang. Sita hanya perlu bersabar dengan prosesnya, begitu pikir Dafa.
Sedangkan di kafe, Gege, Sita, dan Mira masih betah di sana. Ini saatnya meminta pendapat Gege, begitu menurut Mira.
"Ge, menurut kamu, Zidan serius ama Wina?" Tanya Mira.
"Entahlah. Kalaupun serius, pasti ga akan lebih dari 3-4 bulanan. Di Amerika juga dia seperti itu. Paling lama hubungannya hanya bertahan 4 bulan. Entah apa yang dia cari."
"Terus, para perempuan itu, hanya menerima saat Zidan memutuskan mereka?" Fara mulai menebak-nebak.
"Ya mau gimana lagi, setelah memutuskan mereka, Zidan menjadi dingin pada mereka. Walaupun mereka tidak mau putus, kalo Zidan sudah memutuskan seperti itu, ya mau gimana lagi. Sasaran mereka ya Dafa ma aku, teman terdekatnya Zidan."
"Jadi kamu deket dong dengan para mantannya?"
"Mereka hanya mau mengorek informasi dari aku ma Dafa. Hanya itu. Aku tidak tertarik mencari kekasih di sana. Aku sukanya orang lokal, begitu juga Dafa."
"Masa sih, kan mahasiswi di sana pasti cantik-cantik?" Mira mulai penasaran.
"Mereka memang cantik. Tapi pergaulan mereka sudah bebas Mir. Aku ga terlalu suka perempuan yang terlalu bebas. Untungnya Zidan masih tahu batasan norma ketimuran."
"Kamu tidak pernah tergoda Ge?" tanya Mira lagi.
"Ga, aku ma Dafa ga pernah tergoda. Aku dan Dafa hanya fokus untuk belajar. Aku sebenarnya males balik lagi ke sana. Tapi papaku yang memintaku kuliah di sana. Biar aku lebih siap menjalankan perusahaan keluarga kita kelak."
"Kamu ternyata dah berpikir ke masa depan Ge. Dah cocok jadi bos sepertinya, iya ga Mir?"
"Ya bener Far. Wah, nanti kalo dah jadi bos, jangan lupain kita ya Ge," Mira memandang Gege dengan wajah sedih.
"Ga akanlah. Kalian temenku dari kecil. Aku pasti akan selalu inget. Di Amerika, aku ma Dafa belum menemukan teman sebaik kalian. Di sana, kebanyakan mahasiswa dan mahasiswi tidak fokus belajar.
Mereka hanya bersenang-senang dan menghabiskan uang orangtuanya. Aku kurang suka dengan sikap mereka."
"Kasihan orangtuanya ya. Mereka mati-matian cari uang demi anak."
"Karena pada dasarnya rata-rata yang kuliah di sana orang berada Mir. Jadi ya, sah-sah saja sih."
"Balik lagi ke topik utama, kalian merhatiin ga sikap Sita tadi?" Fara mengganti topik obrolan.
"Aku lihat Sita kaya yang sedih ya. Mungkin dia masih ada rasa ga sih ama Zidan?" tambah Mira.
"Bukan masih, Sita memang masih mencintai Zidan kali Mira sayang." Fara menambahkan.
"Walaupun Sita ga pernah cerita ma aku, aku tahu dia masih mencintainya. Tadi kulihat Sita juga seperti mau nangis, tapi berusaha dia tahan sekuat tenaga, mungkin karena ada kita-kita, dia ga mau terlihat rapuh."
"Tadi dia udah nangis di toilet Far. Aku ga bisa ngomong apa-apa lagi. Bingung juga mau kasih saran apa. Takut salah."
"Serius Mir?" Tanya Gege.
"Iya bener Ge, dia menangis. Tak lama dari itu, Dafa menelepon, dia menjadi lebih tenang sesudah menerima telepon dari Dafa."
"Dafa memang baik. Aku sangat mengenalnya. Kadang kebaikannya membuat para perempuan klepek-klepek, hehe," ujar Gege.
"Jadi dia juga sama kaya Zidan, deket dengan para perempuan?" cecar Fara.
"Ga kaya gitu konsepnya Far. Dafa hanya membantu, selebihnya, ga kayanya. Dafa sama dinginnya kaya Zidan."
"Tapi kok sama Sita dia bisa lembut banget ya Ge?" Tanya Mira.
"Dafa itu udah
menganggap kalian bertiga bagian dari hidupnya. Ya wajarlah seperti itu. Karena menurutku, itu bentuk dari sikapnya untuk melindungi kalian."
Gege menambahkan.
"Aku juga akan bersikap seperti itu jika ada di antara kalian bertiga yang terluka, walaupun yang melukai adalah temanku juga."
"Duh Gege, so sweet banget sih, meleleh nih eneng," kata Fara sambil cengar-cengir menahan senyum. Membuat Gege seketika menahan sebalnya melihat raut muka Farah yang terlihat begitu menyebalkan.