Sebuah Keinginan Part 3

1017 Words
"Ta, beneran kamu lihat Zidan ma Wina? Kok bisa ya Zidan jalan bareng lagi ma dia. Zidan kan udah tahu kelakuan tuh perempuan kaya gimana." "Iya, tadi aku lihat mereka Mir, rasanya sesek," Sita mengatakan hal itu sambil meneteskan air mata. "Udah ga usah dipikirin Ta, masa lalu, biarlah masa lalu, kaya judul lagu kan, hehe." Sita hanya bisa tersenyum kecut. Tak lama, ponselnya berbunyi. Ada panggilan dari Dafa. "Ta, maaf ganggu, kamu lagi ama bosmu ya? Kamu baik-baik saja? Tadi aku ketemu ama Wina dan Zidan." Kata Dafa. "Aku baik-baik saja Daf. Atasanku sudah duluan ke kantor. Ini aku kebetulan ketemu ama Mira, dia mau ke toilet. Dia lagi di kafe ma Gege dan Fara." "Berarti kamu masih di mal kan? Aku juga baru beres anter Kak Raisya beli kebaya buat wisuda, posisiku masih di mal." "Kamu bisa ke kafe Daf? Anter aku kembali ke kantor ya?" "Pasti. Aku akan menemani kamu, Ta. Jangan menangis di depan yang lain yang. Cukup menangis di bahuku." "Oke. Aku tunggu ya." Dafa pun mematikan ponselnya dan bergegas menuju kafe tempat mereka bertemu. Zidan sialan, kenapa dia masih jalan sama Wina. Kalo perempuan baik-baik, Dafa tak masalah. "Dari Dafa, Ta?" "Iya, dia baru beres anter Kak Raisya nyari kebaya. Dia mau ikut kita ke kafe." "Okelah. Yuk, takut Gege dan Fara kelamaan nunggu." Sita, Mira, dan Dafa sampai bersamaan ke kafe. Fara dan Gege kaget, kok bisa ada Sita dan Dafa barengan bersama Mira. Mira pun menjelaskan kronologisnya bisa berbarengan dengan Dafa dan Sita. "Gila tuh Zidan. Kok bisa dia jalan bareng kedua kalinya dengan Wina. Tuh anak udah ga beres." Ujar Fara. "Aku juga aneh. Kok Zidan mau ya? Dulu saat SMP dan SMA, Zidan udah jelas-jelas beberapa kali menolak Wina. Kenapa sekarang malah berubah." Gege menambahkan. "Mungkin itu hanya pelampiasan aza. Kan kita ga tahu cerita yang sebenarnya. Kita harus denger dulu versi Zidan temen-temen," kata Mira. "Betul kata Mira. Kita harus konfirmasi dulu ke Zidan. Siapa tahu ada alasan Zidan mau jalan dengan Wina." Dafa menambahkan. Sita hanya terdiam mendengarkan obrolan teman-temannya. Hatinya sudah terlanjur ngilu. Dia sudah tidak mau memikirkan hal itu. Membuat tambah sakit aza, pikir Sita. "Udah ga usah dipikirin, kita makan aza, aku yang traktir. Terakhir pas di pasar malam, aku ga sempet traktir," kata Fara. "Akhirnya aku bisa makan gratis, makasih Fara sayangku." Kata Mira. "Dasar gadis gratisan," gerutu Gege. "Hehe." Semuanya mulai memesan makanan. Setelah makanan datang, mereka pun mulai menyantapnya. Hanya Sita yang terlihat ga bersemangat. Dafa merasakan apa yang Sita rasakan. Setelah selesai makan, Dafa berniat langsung mengantar Sita ke kantor. "Temen-temen, aku duluan ya, Sita katanya mau balik lagi ke kantor." "Oke, Hati-hati ya," Kata Gege, Fara, dan Mira bersamaan. Dafa dan Sita pun berlalu dari kafe. Di perjalanan menuju tempat parkir, Sita menggenggam tangan Dafa. Ada perasaan hangat di dada Dafa saat Sita melakukan hal itu. Dafa merasa diperlukan oleh Sita. Senyum merekah di bibirnya. Tanpa Dafa dan Sita sadari, Zidan melihat pemandangan itu. Zidan pun bingung, bukannya tadi Sita bersama atasannya. Kenapa sekarang bersama Dafa. Sedikit sesak melihat mereka. "Zi, kita kan udah dapet kadonya, setelah ini mau ke mana lagi?" "Aku ga bisa lama Win, kan aku bilang ada urusan. "Ya udah, makasih ya udah nganter nyari kado." "Sama-sama. Mumpung aku bisa, siapa tahu nanti aku ga bisa, jangan tersinggung ya Win." "Ga apa. Yuk kita balik." Zidan dan Wina pun berlalu dari mal itu. Begitu juga dengan Sita dan Dafa. Di dalam mobil, Sita meminta Dafa mengantarnya ke sebuah tempat. "Daf, aku ga mau balik lagi ke kantor. Kamu mau anter aku ke tempat lain ga?" "Sudah kuduga kamu akan mengatakan hal ini. Aku pasti akan mengantar kamu ke mana pun." Sita pun mulai menunjukkan jalannya. Dafa bertanya-tanya ke mana Sita akan pergi. Sampailah mereka di sebuah kafe. "Yuk turun." "Oke." Tanpa banyak tanya, Dafa mulai memarkirkan mobilnya dan turun mengikuti Sita. Sita mengajaknya ke lantai teratas gedung tersebut. Ternyata mereka pergi ke rooftop di atas kafe tersebut. Sita berdiri di pinggiran gedung teratas tersebut dan memandang ke bawah. Tetapi, pandangannya kosong. Dafa yang paham, langsung mendekati Sita dan memeluknya dari pinggir. Sita menyenderkan kepalanya ke bahu Dafa. Sita sudah tidak bisa mengeluarkan air mata lagi. Hatinya udah kebal. Entah kenapa air matanya tak kunjung turun. "Kita duduk di bangku sebelah sana yuk." Ajak Dafa. Mereka pun beranjak dari sana dan memilih duduk di sebuah bangku. Sita kembali menyenderkan kepalanya. Dengan sigap, Dafa merangkulnya. "Aku hanya ingin melupakannya Daf, kenapa sulit sekali. Aku selalu saja bertemu dengan kondisi yang berakhir tidak baik- baik saja. Apakah keinginanku terlalu besar?" "Kamu sudah menentukan pilihanmu. Kamu yang paling tahu apa yang terbaik buat menyembuhkan luka itu. Semuanya berproses." "Tapi prosesnya bikin aku sakit." "Aku tahu." "Aku ga nyangka aza. Zidan sudah banyak berubah. Seperti bukan Zidan yang kukenal. Dan aku, dengan bodohnya, masih saja menyimpan namanya di hatiku." "Kamu tidak bodoh, hanya belum menyadarinya. Kamu harus mulai terbiasa dengan proses penyembuhan luka itu. Aku lihat, kamu malah tidak menangis hari ini. Itu sudah kemajuan yang bagus." "Aku udah nangis tadi. Pas anter Sita ke toilet." "Ga apa. Itu wajar. Kamu jalani prosesnya dengan baik. Aku tahu kamu bisa." "Makasih ya Daf. Kamu selalu menemaniku. Egoiskah aku jika memintamu ga balik ke Amerika, hehe." "Jika kamu yang minta, aku akan mengabulkannya. Aku juga agak sedikit malas kembali lagi ke sana." "Jangan. Kamu harus menyelesaikan kuliahmu di sana. Aku akan baik-baik saja." "Aku tahu. Bersabar dengan prosesnya ya." Sita dan Dafa untuk beberapa saat hanya terdiam. Mereka menikmati angin yang berembus di ketinggian. Angin dan diam. Solusi terbaik untuk hari ini. Di kediaman Wina, Zidan pamit akan pulang setelah mengantar Wina. "Aku balik dulu ya Win." "Oke, ga mampir dulu Zi?" "Aku ada urusan." Zidan pun berlalu dari sana. Hatinya masih sesak. Selalu sesak melihat pemandangan itu, pikirnya. Kenapa dia masih tak rela. Padahal dia sudah memutuskan untuk melupakan Sita, kenapa hal itu sangat sulit. Keinginannya hanya satu, sesegera mungkin balik lagi ke Amerika dan di sana, dia akan benar-benar menghapus nama Sita di hatinya. Setelah lama terdiam, Sita akhirnya bersuara. "Kita ke musola di bawah ya Daf." "Yuk."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD