Inikah Hidup?

1326 Words
Saka menaiki skydrive bus dari depan komplek tempat tinggalnya, beruntung dilengkapi dengan fasilitas pendingin ruangan hingga panas dan haus yang dirasakan Saka bisa sedikit berkurang. Disebut skydrive bus, karena memang skydrive yang ditumpangi Saka ialah kendaraan umum yang bermuatan banyak, sangat mirip dengan bus. Lelaki itu memilih posisi duduk paling belakang, dekat jendela. Pandangannya di lempar ke jalanan luar yang ditudungi langit merah. Baru saja skydrive bus melaju, Saka sudah disuguhkan dengan pemandangan yang mengiris hati. Seorang lelaki tua dengan rambut gimbalnya, merangkak-rangkak di trotoar mencoba menghampiri wanita muda yang tengah melintas di sana. Tubuh lelaki tua yang kumal itu dipenuhi nanah, dan luka basah. Sontak wanita muda tersebut segera bertolak, mengambil jalan lain demi menghindari lelaki tua itu. Detik berikutnya, bahkan saat wanita muda itu belum melangkah jauh, lelaki berambut gimbal tersebut mengerang kesakitan, mulutnya mengeluarkan darah dan tewas seketika. Ditolong? Tentu tidak. Kematian sudah menjadi hal yang sangat akrab di masa sekarang ini. Bahkan skydrive bus yang ditumpangi Saka baru saja melintas di atas mayat yang terkapar di jalanan. Mereka yang tewas begitu saja, adalah mereka yang tak mampu bertahan dan hidup dalam serba kekurangan. Kebanyakan dari mereka dehidrasi, mengingat harga air yang memang melambung tentu tidak semua lapisan masyarakat bisa memperolehnya dengan mudah. "Inikah hidup?" Celetuk salah seorang lelaki yang duduk di kursi depan Saka, lelaki itu juga nampaknya menyaksikan kejadian yang baru saja Saka lihat. Lantas Saka yang semula sempat menoleh ke arah lelaki yang duduk di depannya, hanya mampu menghela napas, dan kembali melempar pandangannya ke luar jendela, menerawang jauh pada langit merah di atas sana. 30 menit sudah perjalan Saka. Skydrive bus yang ditumpanginya terhenti di depan alun-alun. Sebagian besar dari penumpang skydrive bus itu ikut turun, dan mulai memadati alun-alun yang sebelumnya juga sudah dipenuhi banyak orang. Saka melihat dari kejauhan Bapak Wali Kota yang berdiri di atas mimbar tengah alun-alun sana. Peluh keringat membasahi dahinya, rautnya seolah menyiratkan sedikit perasaan gugup. Tidak seperti biasanya, wali kota tidak pernah gugup untuk bicara di depan umum karena memang itu sudah menjadi tugasnya. Perasaan Saka semakin tidak enak, jangan-jangan benar, kabar yang akan disampaikan kali ini… bukanlah kabar baik. "Selamat siang, semuanya!" Ujar wali kota dengan pengeras suara, sampai Saka yang ada di barisan paling belakang pun dapat mendengarnya. Saka sengaja menempatkan diri di barisan belakang, sebagai antipati agar mudah meninggalkan alun-alun jika terjadi kerusuhan. "Saya benar-benar mengucapkan terima kasih, atas kehadiran kalian kemari," katanya, yang kemudian terlihat menelan ludah tiga kali, membetulkan kerah batik, dan berdehem sesaat. "Saya akan menyampaikan sesuatu yang buruk. Sebelumnya mohon maaf, tapi... Begitulah kenyataannya. Saya tidak mungkin menutup-nutupi hal yang memang sudah buruk, jadi... Saya harap kalian semua jangan terkejut," lanjutnya. Benar dugaan Saka, kabar buruk. Sementara Saka menanti wali kota melanjutkan kalimatnya, gumaman protes dan kecemasan mulai terdengar di mana-mana. Kenapa berhenti? Ayo, Pak, bicaralah! Ada apa sebenarnya? Saking riuhnya, Saka sampai-sampai harus menajamkan pendengarannya agar dapat mendengar kelanjutan kalimat dari wali kota di depan sana. "Mulai bulan depan sampai seterusnya, setiap bulan, kami akan menagih oksigen yang kalian hirup. Lima juta rupiah perbulan, untuk satu kepala yang berusia di atas 20 tahun. Dikarenakan kami sudah tidak lagi memiliki persediaan dan harus memasok oksigen dari negara luar yang memiliki teknologi lebih mumpuni. Dan satu lagi… bagi yang tidak mampu membayar, dengan sangat terpaksa harus meninggalkan kubah." Lima juta rupiah. Itu artinya keluarga Saka mesti membayar sepuluh juta rupiah perbulannya hanya untuk oksigen. Lantas bagaimana dengan keperluan lainnya? Saka tertunduk dan berbalik badan, menghela napas berat sambil menutupi kepalanya dengan tudung hoodie yang entah sejak kapan sudah ia kenakan. Di saat yang lain menyuarakan rasa keberatan juga melayangkan protes, Saka memilih untuk meninggalkan alun-alun dengan kepala yang terus menunduk. Seketika Saka teringat akan apa yang dikatakan lelaki yang duduk di depannya saat di skydrive bus tadi, "Inikah hidup?" Batinnya. *** "Alinea…" Panggil seorang lelaki paruh baya sambil terbatuk-batuk dari atas ranjangnya, suaranya terdengar begitu lirih. Sebenarnya, usianya belum terlalu tua untuk menjadi ringkih. Namun sayang, karena segala keterbatasan lah yang menjadikannya harus sakit-sakitan seperti ini. Gadis cantik dengan rambut hitam sebahu pun menghampirinya. Membantu lelaki paruh baya itu untuk meraih face-shield yang tergeletak di atas nakas sebelah ranjangnya. "Ada apa, Yah?" Tanya gadis itu dengan lembut. "Alinea, 18 tahun. Menatap sendu." Begitulah suara yang dikeluarkan oleh face-shield yang baru saja dikenakan lelaki itu. Ya, face-shield itu bukan face-shield biasa pada umumnya yang hanya menjadi pelindung wajah. Melainkan face-shield yang telah dilengkapi dengan teknologi terbaru, dikhususkan untuk penderita tunanetra. Teknologi tersebut merupakan kecerdasan buatan yang menggabungkan antara pengenalan gambar dan pemrosesan suara, dengan adanya teknologi tersebut, mereka yang penglihatannya tidak bisa kembali, dapat dengan mudahnya mengetahui situasi di sekitaran jika mengenakan face-shield tersebut. "Apa kau sudah mendengar berita apa yang disampaikan oleh wali kota hari ini?" Tanya lelaki itu lagi. Alinea menggeleng. "Belum." Tok… Tok… Suara ketukkan pintu menyudahi pembicaraan singkat antara ayah dan anak itu. "Ada tamu." Kata Ayah Alinea. "Mungkin itu Saka. Kemarin dia bilang akan mampir sepulang dari alun-alun." Balas Alinea, yang segera bangkit agar bisa membukakan pintu untuk tamunya. "Iya, sebentar!" Ujar Alinea dengan sedikit berteriak, kakinya berlari kecil menuju ke arah pintu. Ceklek. Pintu terbuka. Menampilkan sosok lelaki yang sebaya dengannya, berdiri di ambang pintu sambil melepas tudung hoodie yang menutupi kepalanya. Benar, itu Saka. "Ayo masuk! Kau mau minum apa?" Sambut Alinea, yang langsung menggiring tamunya masuk. "Apa saja." Jawab Saka sambil mendaratkan bokongnya di sofa milik teman sekolahnya itu, padahal belum dipersilakan. "Hanya ada teh, sih. Sebentar, ya, aku buatkan dulu!" Setelah Alinea berlalu menuju dapur, Saka yang ditinggal sendirian di ruang tamu pun hanya mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah. Potret kebersamaan putri semata wayang, Alinea, bersama kedua orang tuanya yang kini sudah tidak lengkap lagi, terpajang di mana-mana. Saka menghela napasnya, bersamaan dengan Ayah Alinea yang baru saja keluar dari kamarnya. "Pintu yang terbuka, dua meter di depan." Mendengar suara tersebut, Saka lantas menoleh. Lelaki itu lantas segera bangkit untuk memberi salam pada Ayah Alinea yang baru saja keluar. "Saka Amalta, 18 tahun. Tersenyum." Sebaris keterangan yang disuarakan oleh face-shieldnya berhasil membuat lengkung senyum terlukis di wajah Ayah Alinea. Dengan tangan yang meraba-raba ke tembok, perlahan kakinya melangkah untuk menghampiri teman satu sekolah anak gadisnya yang tengah bertamu itu. Pun dengan sigap, Saka, si tamu tersebut, segera mengambil langkah untuk menuntun Ayah Alinea, membantunya sampai terduduk di sofa. "Kau baru pulang dari alun-alun?" Tanyanya. Saka yang juga sudah menempatkan diri duduk di depan Ayah Alinea pun mengangguk, meski ia tahu kalau lawan bicaranya itu tak dapat melihat anggukannya. "Jadi… bagaimana?" Tak langsung memberi jawaban, Saka malah menundukkan kepalanya sembari menghela napas. Diam selama beberapa detik. "Pak wali kota bilang kalau… mulai bulan depan, kita harus membayar tagihan oksigen," susah payah Saka menuturkan kalimat tersebut, lidahnya sedikit tercekat, sampai-sampai ia harus menelan salivanya sendiri. Tentu penuturan Saka barusan berhasil membuat Ayah Aline terkejut bukan main. Apa lagi ini? Bahkan oksigen pun harus dibayar. "Lima juta per-orang, bagi mereka yang sudah berusia di atas 20 tahun." Lanjutnya. Saka memberanikan diri untuk mendongakkan wajah, menatap Ayah Alinea yang kini tengah mempertahankan senyumnya. Senyum yang Saka tahu betul berbanding terbalik dengan apa yang ada dalam benaknya kini. Lima juta rupiah, tentu bukanlah jumlah yang sedikit. Apalagi bagi musisi jalan yang mengandalkan penghasilan tak tentu demi keberlangsungan hidupnya. Ada sedikit perasaan bersalah yang menyelinap dalam lubuk Saka karena telah memberitahu kabar buruk tersebut pada Ayah Alinea. Namun, ya, mau bagaimana lagi? Itulah kenyataan pelik yang harus mereka telan. Pun sama melempar pandangannya sejenak pada gitar murah yang tergantung di sudut dinding, sebelum kembali menatap sosok yang ada di hadapannya ini. "Saka Amalta, 18 tahun. Menatap khawatir." Lagi, face-shield kembali bersuara. Membocorkan tatapan nanar yang Saka lemparkan pada Ayah Alinea. Lantas dengan senyuman yang masih belum juga pudar, Ayah Alinea pun menatap Saka, membuat mata mereka bertemu. "Jika menatapku seperti itu… aku merasa masalah besar tengah terjadi, seolah kehidupanku akan hancur sebentar lagi. Faktanya… apa yang terjadi sekarang, tidak akan lagi bisa membaik."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD