Permulaan

1528 Words
Hari ini, hari Sabtu. Tak ada aktivitas belajar mengajar di hari ini. Membuat remaja lelaki berusia 18 tahun itu memilih untuk bangun siang. Suatu kerugian baginya kalau akhir pekan bangun pagi-pagi, sekalipun sudah bangun, wajib hukumnya untuk kembali melanjutkan tidur. Lagi pula, hitung-hitung hemat energi. Jam digital yang terpampang di kamarnya menunjukkan pukul 12.00, sudah tengah hari. Bocah lelaki itu lantas terusik dari tidurnya sebab kerongkongannya terasa begitu tandus, tubuhnya juga sudah nyaris bermandikan keringat. Lantas ia pun bangkit, membawa langkahnya keluar kamar menuju dapur. Dengan mata yang belum terbuka sempurna, bocah lelaki itu mulai menekan salah satu tombol pada dispenser yang ada di rumahnya itu, kemudian memasukkan beberapa digit angka yang menjadi kata sandinya. Seketika muncul sebuah tulisan "Saka Amalta: 50 ml." pada bagian tengah dispenser. Setelahnya, laki pemilik nama Saka itu menekan angka 5, yang artinya ia akan mengambil jatah airnya sebanyak 5 ml. Ya, kau tidak salah baca, 5 ml. Mungkin kau akan berpikir betapa canggihnya dispenser milik Saka, atau, betapa sedikitnya air 5 ml yang bahkan mungkin hanya terasa numpang lewat di tenggorokan. Semuanya terasa mustahil dan tidak masuk akal, bukan? Namun begitulah adanya. Begitulah kehidupan pada tahun 2083. Anjuran dokter yang mengharuskan kita untuk minum delapan gelas perhari tentu sekarang hanya tinggal mimpi belaka. Air, di masa sekarang ini menjadi sebuah barang mewah yang harganya bahkan melebihi peralatan elektronik. Untuk itulah, bahkan dispenser di rumah sendiri pun harus dilengkapi dengan kata sandi guna mencegah pencurian air. Tahun 2083 ini, merupakan tahun yang dapat dibilang neraka. Bahkan Saka sempat berpikir mungkin inilah sebuah akhir bagi umat manusia. Tidak dilebih-lebihkan, kenyataannya memang begitu. Kian lama, bumi kian ringkih. Saat ini bumi telah tercemar hebat. Atmosfer yang kurang lebih sudah dua milenium melindungi bumi dari radiasi matahari kini sekarat. Karenanya radiasi menjadi ancaman dari segala arah. Pepohonan menjadi pemandangan langka, tak ayal oksigen pun menjadi semakin langka. Sama halnya dengan air. Sungai-sungai dan sumber air lainnya sudah tercemar berat, karena itulah, air menjadi lebih berharga ketimbang emas sekali pun. Saka yang sudah kembali ke kamarnya pun kini berdiri di tepian jendela, menengadah, menatap kubah yang menjadi pembatas antara tempat dirinyanya berada dengan dunia luar. Dunia luar yang tentu udaranya sudah sangat tercemar dan beracun, maka siapapun yang nekat keluar dari kubah tentu akan mati. Kubah itu sendiri ialah sebuah inovasi yang diciptakan oleh organisasi dunia, guna melindungi tiap-tiap kota dari udara di luar, juga pada setiap kubah ini setiap harinya dipasok oksigen yang sudah berhasil dinetralisir oleh para ahli. Entah saat ini Saka mesti bersyukur atau justru mengumpat sebab diberi kesempatan mencicipi kehidupan yang tidak bisa dibilang hidup, seperti berada di ambang batas antara kehidupan dan kematian. Indonesia, menjadi satu dari sedikitnya negara yang mampu bertahan sampai detik ini dari serangan peristiwa-peristiwa gila pada tahun-tahun sebelumnya. Dimulai dari pandemi, adanya sebuah wabah virus yang amat mematikan dan tak ada satu pun ilmuwan yang dapat menciptakan penawar dari virus tersebut. Hingga ditutup dengan perang nuklir pada tahun 2055, itu semua cukup membuat bumi yang sudah tua ini menjadi semakin ringkih. Beruntung, pemerintah Indonesia kendati bergerak dengan lambat nyatanya mampu menunda kematian rakyatnya dan memperpanjang hidup meski diselimuti kesengsaraan. Namun, semakin kesini, justru situasi menjadi semakin runyam. Pemerintah memerintah untuk bertahan hidup. Meraup cuan dari rakyat sebanyak-banyaknya demi kepentingan diri sendiri. Korupsi yang memang sudah ada dari dulu jadi semakin menggila. Entah sampai kapan Indonesia bisa bertahan. Sambil mengibas-ngibaskan tangannya untuk mengusir panas, Saka melangkah menuju ruang tengah, di mana ada ayahnya yang tengah terduduk sembari menyapu jajaran kata yang tertoreh pada koran di genggamannya. "Besok wali kota akan menyampaikan pengumuman di alun-alun, bagi masyarakat yang tak punya televisi atau radio, disarankan untuk datang saja jam 10 pagi." Kata ayah tiba-tiba. "Kita datang, Yah?" Tanya Saka, ia menempati sisi sofa lainnya yang masih kosong. "Kau saja yang datang, ya, Saka. Ayah lelah." Katanya lagi. Kalau sang ayah sudah bermandat begitu, Saka jelas tak bisa menolak. Sudah pasti hari sabtu dan minggu ialah hari yang selalu dimanfaatkan oleh ayah Saka untuk melempar tubuhnya ke atas kasur, mengistirahatkan diri sebab dari senin sampai jumat sudah bekerja tanpa henti selama 15 jam. Ya, benar, 15 jam. Ayah Saka sebenarnya hanyalah seorang tenaga administrasi di salah satu perusahaan biasa. Gajinya standar, sebulan hanya sekitar 10 juta. Sebelum kalian bilang kalau itu jumlah yang lumayan besar atau menerka bahwa Saka berasal dari keluarga kaya, ku ingatkan sekali lagi, ini, 2083. Jangan kaget, gaji segitu memang standar di masa sekarang ini, bahkan terbilang rendah dan hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, mengingat memang harga-harga yang semakin melonjak apalagi air. Untuk air saja, bisa menghabiskan setengah dari jumlah gaji untuk tiga orang perbulannya. *** Skydrive terhenti di depan sebuah rumah tanpa pagar. Kemudian salah seorang bocah lelaki segera melangkah turun begitu pintunya terbuka. Lantas bocah itu melepaskan face-shield transparan yang melindungi bagian wajah sebelum memampangkannya di depan sebuah alat yang menyerupai gadget namun alat itu terpasang di bagian tembok depan rumah. Seketika, muncul sebuah tulisan, "Akasa: 36°C (Aman)" dan muncul tanda centang berwarna hijau setelahnya. Tak sampai di situ, di bagian depan rumah juga tersedia tempat cuci tangan yang hanya menggunakan sensor. Caranya, cukup ulurkan saja tanganmu, maka cuci tangan tanpa menyentuh pun dapat dilakukan dengan mudah. Barulah setelah ritual tersebut dilakukan, bocah itu mulai membawa kakinya menyusuri beranda rumah. "Permisi! Saka!" Panggilnya, saat ia sudah berdiri tepat di depan pintu. "Saka!" Teriaknya sekali lagi. "Sa--" Pun ketika baru saja teriakkan ketiga hendak dilempar, pintu sudah lebih dulu dibuka. "Berisik! Ayo masuk!" Ujar Saka, si tuan rumah, yang mempersilakan tamunya untuk masuk. Sebelum semakin jauh, biar kuberitahu apa itu skydrive yang ditumpangi bocah barusan, pun alasan kenapa ia harus mengenakan pelindung wajah juga melakukan pengecekkan suhu dan mencuci tangan terlebih dahulu sebelum memasuki kediaman Saka. Jadi begini, dimulai dari skydrive. Kau tahu mobil, bukan? Ya, skydrive itu sejenis mobil, namun yang membedakannya adalah, skydrive dapat melaju tanpa roda. Pun berbeda dengan mobil yang berbahan bakar bensin, skydrive ini cukup mengisi tenaga dengan mencharge mesinnya dengan aliran listrik. Canggih bukan? Tentu. Semakin kemari, teknologi memang semakin canggih, namun sayang, kerusakan lingkungan juga semakin menjadi. Kembali pada skydrive. Sesuai namanya, skydrive merupakan mobil terbang, inovasi yang diciptakan atas keinginan masyarakat yang berkhayal bisa menerbangkan mobilnya kala terjebak di kemacetan. Berpuluh tahun lalu, virus mematikan pernah menyerang seluruh penduduk bumi, penyebarannya yang dapat dengan mudah melalui udara tentu membuat organisasi kesehatan dunia mengimbau pada seluruh masyarakat agar selalu mengenakan masker dan rutin cuci tangan. Namun, semenjak meledaknya perang nuklir pada tahun 2055 silam, eksistensi virus tersebut mulai berkurang, kabar kematian bagi pengidapnya yang dulu hampir tersiar tiap jam, kini mulai jarang terdengar. Kendati begitu, pemerintah menegaskan kalau pencegahan-pencegahan tetap harus dilakukan dengan ketat sebab bukan tidak mungkin, virus itu akan kembali menciptakan gelombang berikutnya. Hanya saja, akibat penggunaan masker sekali pakai yang sempat melonjak itu, penumpukan sampah pun terjadi, terlebih bahan dasar masker tersebut memang sulit terurai. Jadilah masyarakat beralih pada face-shield, pelindung wajah dari bahan khusus yang transparan dan bisa dipakai berkali-kali. Bahkan kini, face-shield dilengkapi dengan sinar infra red dan sensor yang bisa mendeteksi virus maupun bakteri. "Kenapa tidak telepon dulu?" Tanya Saka sembari menyuguhkan dua cangkir teh yang baru saja dibuatnya. Eits, tunggu dulu, teh itu tidaklah terbuat dari air, melainkan dari benda yang menyerupai air, vilidis namanya. Meski tercipta sebagai pengganti air, nyatanya vilidis yang memiliki tekstur lebih kental tak bisa menghilangkan dahaga. Pun vilidis pula yang dipergunakan untuk mandi, mencuci dan sebagainya. "Internet di rumahku mati, ayahku belum membayarnya, sebab itu aku kemari tidak telepon dulu. Apa boleh aku ikut mengerjakan tugas di sini?" Kata Akasa. "Kau sudah jauh-jauh kemari, tidak mungkin aku menyuruhmu pulang lagi." Balas Saka, yang membuat Akasa terkekeh. "Terima kasih." "Ah, kau sudah tahu belum, kalau besok wali kota akan mengumumkan sesuatu?" Tanya Saka, sembari menyesap teh buatannya sendiri. Akasa yang tengah menghidupkan laptopnya pun memberi anggukan. "Kau akan datang?" "Mungkin ayahku yang datang." Sahut Akasa, dengan fokus yang tertuju pada layar laptopnya. Saka terdengar menghela napas, pandangannya menatap ke arah langit-langit rumahnya. "Menurutmu… pengumuman yang akan disampaikan itu, kabar baik atau kabar buruk?" "Apa masih ada kabar baik yang bisa didengar di masa sekarang ini?" *** Saka meraih hoodie biru dongker dari balik pintu kamarnya, kemudian lelaki itu berjalan ke arah cermin, merapikan kembali rambutnya yang berponi itu, membiarkan sedikit bagian dari dahinya terekspos. Berbalut kaus putih dan celana jeans berwarna senada dengan hoodie-nya, Saka membawa kakinya melangkah keluar kamar. "Hari ini kau ke alun-alun, bukan?" Tanya seorang wanita paruh baya yang muncul dari arah dapur. "Hendak bawa bekal atau air?" "Air boleh, Bu," Jawab Saka. "Aku akan bawa 30 ml." "Apa itu cukup? Ibu akan memberi setengah dari jatah air Ibu, ya. Lagi pula pekerjaan di rumah tidak banyak, jadi Ibu tidak akan kehausan." Begitulah naluri seorang ibu, selalu mengutamakan anaknya, ketimbang dirinya sendiri. "Tidak usah, Bu. Itu cukup." "Benar?" Saka tersenyum untuk meyakinkan sang ibu. "Benar." "Yasudah, kalau begitu hati-hati di jalan, ya!" Saka melangkahkan kakinya keluar, sementara ayah dan ibunya mengawasi dari halaman rumah. Ada perasaan tidak enak yang terbesit dalam benak Saka, mungkin sedikit khawatir tentang apa yang akan disampaikan walikota nantinya. Saka berharap, semoga saja itu hanya sekadar perasan bodoh semata, semoga saja, hanya kabar baik yang menyapa pendengarannya nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD