SEBELAS
“Lo harus lupain Amira.”
Pernyataan Brian itu membuat Elang mendengus kemudian menggebrak meja. Cowok itu sama sekali tidak peduli dengan tatapan yang dilayangkan oleh hampir sebagian mahasiswa yang berada di sekitarnya dan Brian. Tatapan emosi Elang berbaur dengan tatapan sakit yang terbaca jelas oleh Brian, menyebabkan sahabat Amira itu mengerang dalam hati dan menarik napas lelah.
“Lo pikir, gue nggak mau ngelupain dia?” tanya Elang dengan rahang mengeras. “Lo pikir, gue nggak ngerasa bersalah sama Tasya karena udah berani cinta sama cewek lain padahal dia setia banget sama gue sampai detik ini? Lo pikir, gue nggak ngerasa jadi cowok paling b******k di muka bumi ini karena cinta sama sahabat lo itu di belakang Tasya?” Elang menggelengkan kepala dan tertawa hambar. “Gue. Nggak. Bisa.”
“Lo harus bisa!” Brian menatap manik Elang tegas. “Lo harus bisa ngelupain sahabat gue! Dengar, Lang... lo udah punya Tasya. Lo nggak boleh nyakitin hati cewek sebaik Tasya! Soal Amira, gue yakin lo hanya kagum sama dia. Lo kagum karena selama ini Amira tetap kuat dan tegar meskipun dia menanggung kesedihan yang amat besar karena perasaan nggak berbalasnya itu.”
“Tapi—“
“Lo bahkan benci dia sebelum ini, Lang.”
Elang menegang di tempatnya. Pernyataan Brian sekali lagi sanggup menohoknya keras. Ya, dia akui bahwa sebelum ini, dia memang membenci Amira. Dia kesal dengan cewek itu. Tapi, kalau sekarang dia mulai menyukai Amira, apakah dia salah?
Jawabannya tentu saja: ya dan tidak.
Ya, Elang salah karena berani mencintai cewek lain selain Tasya. Tidak, Elang tidak salah karena perasaan tidak pernah bisa dipaksa.
“Terus kenapa kalau gue benci sama dia sebelum ini?” Elang menantang. “Apa salah kalau setelah gue membenci dia, gue jadi jatuh cinta sama dia?”
“Lo udah nggak waras sepertinya,” dengus Brian seraya menggelengkan kepala. “Let me tell you this: elo udah punya pacar, b******k!”
“Sekarang gue tanya sama lo,” kata Elang dengan nada dinginnya yang khas. “Apa yang akan lo lakuin seandainya lo berada di posisi gue?” Elang tertawa keras. Cowok itu memukul dadanya berulang kali dengan keras. Rasa sakitnya jelas tidak sebanding dengan rasa sakit yang dia torehkan pada hati Tasya atau bahkan mungkin pada hati Amira. “LO NGGAK NGERTI GIMANA RASANYA!”
Brian menatap tajam Elang yang kini tertawa mengejek.
“Lo tau? Nyokap gue pergi ninggalin gue waktu gue masih berumur sepuluh tahun!” persetan dengan semua orang yang mungkin akan mengetahui masa lalu kelamnya, Elang kembali melanjutkan, “Dia ninggalin gue dan bokap gue! Hanya karena bokap gue bangkrut dan jatuh sakit, dia seenaknya aja pergi dengan pria lain! Seakan belum cukup dengan itu semua, Tuhan langsung ngambil bokap detik itu juga dari gue!”
Ada nada sakit yang tertangkap oleh telinga Brian. Namun, cowok itu terlalu kaget dan terlalu gengsi untuk bersuara. Jadi, apakah semua ini adalah penyebab kenapa Elang sangat kaku dan dingin pada semua cewek?
“Di saat gue jatuh, terpuruk dan nggak tau harus ngapain, Tasya yang ada di sana! Dia yang nolong gue, narik gue dari kegelapan! Lo pikir, dengan semua pengorbanannya itu, gue mau nyakitin dia dengan sengaja? NGGAK! GUE BAHKAN NGGAK AKAN PERNAH MENYANGKA KEJADIAN SEPERTI INI AKAN TERJADI!”
Selesai berbicara dengan volume suara yang gila-gilaan, Elang meraih gelas dan melemparnya ke dinding. Beling dari pecahan gelas tersebut berserakkan. Napas cowok itu terengah dan gerakan bahunya naik-turun. Mata Elang memerah karena emosi yang sangat besar di dalam dadanya. Cowok itu lantas memutar tubuh dan pergi dari sana.
###
Amira sampai di tempat tujuan lebih cepat dari yang seharusnya. Saat ini, Amira memang mempunyai janji untuk bertemu dengan Alfar.
Cewek itu mematikan mesin mobil dan menghembuskan napas panjang. Dia mengeluarkan cermin kecil dari dalam tas dan memeriksa keadaan wajahnya. Benar-benar kacau. Bisa-bisa, bukan hanya Alfar yang langsung kabur saat melihatnya, melainkan juga semua pengunjung kafe di depannya itu.
Amira sudah mengambil satu keputusan. Keputusan itu diambilnya setelah berpikir dengan kepala dingin selama tiga hari. Dia ingat saat itu Brian langsung menatapnya seperti sedang menatap seorang yang memiliki gangguan jiwa.
“Tell me that you’re not serious.” Brian berusaha menyelami kedua mata Amira yang saat ini menatapnya. Tapi, cowok itu tidak menemukan adanya unsur candaan dalam ucapan Amira beberapa saat lalu. Brian yang gusar akhirnya berdecak dan mengacak rambut. “Lo serius, Mir?”
“Kelihatannya?”
“Gue nggak habis pikir sama jalan pikiran lo,” kata Brian. “Kalau lo justru jadi jatuh cinta sama Kak Alfar lagi, gimana?”
“Yan, dasarnya gue emang jatuh cinta sama dia dari dulu.” Amira mengabaikan pelototan Brian. “Kalau gue jatuh cinta sama dia lagi, ya bagus, dong! Toh, dia udah menyatakan perasaannya sendiri ke gue waktu itu. Dia bilang dia cinta sama gue. Lo juga dengar, kan? Dia mau minta kesempatan kedua, dan gue bilang akan gue pikirkan.” Amira menarik napas panjang. “Dan setelah gue pikirkan matang-matang, gue akan kasih dia kesempatan itu. Mungkin dengan begitu, gue bisa melupakan Elang dan mengenyahkan rasa cinta gue ke dia.”
Lamunan Amira buyar ketika pintu kaca mobilnya diketuk dari luar. Cewek itu menoleh dan mengerutkan kening, saat sosok Alfar muncul di sana. Ragu, Amira membuka kaca mobilnya dan senyuman Alfar menyambutnya.
“Kenapa kamu nggak turun?” tanya Alfar lembut. Sungguh, harusnya Amira bahagia karena pada akhirnya, Alfar membalas cintanya. Tapi, dia justru merasakan sakit karena hal lain. Karena dia sekarang mencintai Elang. Mencintai pacar orang lain.
“Hmm?” gumam Amira tidak jelas. Dia memaksakan seulas senyum. “Aku agak sedikit pusing.”
“Kamu sakit?” Alfar kini menatap Amira cemas. Cowok itu menyuruh Amira untuk membuka pintu dan langsung membawa Amira keluar dari dalam mobil. Disentuhnya kening cewek itu dan Alfar sedikit mengerutkan kening kala mengetahui suhu tubuh Amira sedikit naik. “Kamu demam kayaknya.”
Amira menggeleng. “Aku nggak apa-apa, kok. Jadi, kita mau ke mana? Ke kafe di sana aja atau ke tempat lain?”
“Aku mau kita senang-senang,” kata Alfar lagi dan menggenggam tangan Amira dengan erat. Cewek itu terperanjat sesaat dan melirik tangannya yang digenggam oleh Alfar. “Aku mau bikin kamu tertawa sepanjang hari, sebagai ucapan terima kasih aku ke kamu karena kamu bersedia ngasih aku kesempatan.”
Seandainya semudah itu...
“Gimana?” Alfar mengembalikan Amira ke dunia nyata. “Kamu mau, kan? Kita naik mobil kamu aja, biar aku yang nyetir. Mobilku biar aku titipkan di sini.”
Amira menyerahkan kunci mobilnya kepada Alfar. Cowok itu mengantar Amira ke pintu penumpang dan mempersilahkan Amira untuk masuk. Dia menatap Amira lekat, tersenyum hangat ke arah cewek itu. Sebenarnya, ada sedikit perasaan kecewa ketika Amira hanya tersenyum samar ke arahnya kemudian memalingkan wajah. Namun, perasaan itu segera ditepis oleh Alfar. Dia ingin membuat Amira senang dan bahagia.
Dan Alfar akan pastikan, Amira mendapatkan kebahagiaannya. Dia akan memastikan kalau cewek itu akan mengejar kebahagiannya.
“Nah,” Alfar menggosokkan kedua tangannya dan menoleh ke samping. Dia tersenyum lebar lalu mengedipkan sebelah matanya. “Siap bersenang-senang, Amira?”
Entahlah... cewek itu membatin.
“Ya.” Amira mengangguk. “Mari bersenang-senang.”
###
Semua mesin permainan di timezone tidak luput dari perhatian Amira dan Alfar.
Alfar menatap cewek itu. Kedua matanya berbinar bak anak kecil. Terkesan polos dan lugu. Sosok yang akan Alfar lindungi mati-matian sampai kapan pun. Bukan hanya melindungi fisiknya, tetapi juga melindungi hatinya. Dan Alfar tahu bagaimana caranya.
“Amira,” panggil Alfar lembut sambil mengusap rambut cewek itu.
Amira mendongak dan mengerjap. Raut wajah Alfar terlihat sedikit berbeda sekarang. Tapi, cowok itu perlahan mulai mengubah air mukanya menjadi biasa. Sebersit gagasan yang sempat hadir di otaknya, dibuangnya jauh-jauh. Dia butuh waktu lebih lama lagi agar bisa menghabiskan waktu bersama dengan Amira.
“Nothing.” Alfar menarik napas panjang. “Gimana kalau kita sekarang main basket?”
Tanpa menunggu jawaban Amira, Alfar langsung menarik cewek itu ke tempat permainan basket. Setelah memasukkan tiga koin, bola basket itu mulai keluar dari penjaranya. Alfar meraih bola basket tersebut kemudian menyerahkannya pada Amira yang masih terlihat ragu.
“Ayo,” ajak Alfar. Amira memutar bola matanya dan tertawa kecil. Tawa yang menular, karena saat ini, Alfar mendapati diri sudah ikut tertawa bersama cewek manis itu. Dipandunya Amira untuk memegang bola cokelat tersebut dan diarahkannya ke ring basket. “Nah, coba kamu lempar bolanya. Fokus sama pergelangan tangan kamu dan ring di depan kamu, oke?”
Cewek itu mengangguk mengerti. Setelah menarik napas, Amira langsung memfokuskan penglihatannya pada ring basket. Dalam hati, dia menghitung satu sampai tiga. Dan setelah mencapai angka tiga, cewek itu melempar bola yang berada di tangannya... dan gagal.
“Kak Alfar aja yang main, ah. Aku ngeliat aja dari sini.”
“Aku maunya kamu yang main, Mir,” pinta Alfar.
Cowok itu meraih pergelangan tangan Amira, membawa tubuh cewek itu mendekat ke arahnya. Diberikannya bola basket itu kepada Amira yang masih setia berdiam diri. Setelah agak lama, juga karena Alfar terus membujuknya, Amira akhirnya menerima juga bola cokelat itu.
“Sini.”
Amira yang baru saja ingin bertanya maksud ucapan Alfar tadi dan menoleh, seketika itu juga tubuhnya menegang. Alfar berada sangat dekat dengannya hingga cewek itu bisa menghirup aroma maskulin cowok tersebut.
Alfar memegang kedua tangan Amira, mengarahkannya ke ring basket di depan mereka. Saking dekatnya jarak di antara mereka, Amira bisa merasakan punggungnya bersentuhan dengan d**a bidang Alfar. Hela napas Alfar bahkan menggelitik lehernya, menandakan jarak mereka hampir tidak ada.
“Aku bantu, ya.”
Amira hanya menjawab dengan anggukkan. Terlalu kaget dengan tindakan Alfar yang mendadak itu. Meski begitu, Amira sama sekali tidak merasakan getaran aneh apa pun pada hatinya. Dia hanya terlalu terkejut, itu saja. Semua orang pasti akan merasakan hal yang sama, bukan, kalau lawan jenis kita berada sangat dekat dengan kita?
Lemparan Amira kali ini berhasil. Bola itu masuk ke dalam ring berkat bantuan Alfar. Amira bahkan sampai berteriak heboh dan bertepuk tangan. Cewek itu melompat dan ber-high five dengan Alfar.
“Kalau kamu mau berusaha, kamu pasti bakalan bisa, Mir.” Alfar mengacungkan jempolnya dan tertawa. Detik berikutnya, ketika Amira pergi ke mesin pengambil boneka, wajah cowok itu berubah murung.
Ucapan Brian kembali terngiang.
###
Hari itu, entah kenapa Brian menghubunginya.
Alfar sendiri heran bagaimana sahabat Amira itu tahu akan nomor ponselnya. Yang jelas, Brian mengajaknya bertemu di salah satu kafe yang berada di dekat kampus.
Sesampainya di kafe, Brian sudah ada di sana. Duduk sambil bermain ponsel. Alfar bergegas menghampiri dan menarik kursi di depan cowok itu. Dilihatnya Brian sama sekali tidak terkejut dengan kehadirannya yang mendadak. Itu artinya, Brian sudah melihatnya datang. Kemungkinan besar dari jendela kafe yang memang letaknya tak jauh dari meja yang dipilih oleh Brian.
Melihat gestur wajah Brian yang tegas, Alfar jadi merasa pembicaraan mereka kali ini ada sangkut-pautnya dengan Amira. Selama dia mengenal Amira dan Brian, Brian tidak akan pernah membiarkan satu masalah pun menimpa sahabatnya itu.
“Lo... benar suka sama Amira?”
See?
“Kenapa lo tanya hal itu?” Alfar bersedekap. “Bukannya waktu itu gue udah mengatakannya dengan jelas? Di depan lo dan ada Beno juga di sana. Lo boleh tanya sama dia kalau lo emang meragukan pendengaran lo sendiri.”
Brian mengangguk dan tatapannya semakin tegas. “Sejak kapan?”
“Apa lo sedang menginterogasi gue, Yan?” tanya Alfar tenang. Dia sebenarnya tidak suka harus ditanya seperti ini oleh Brian. Ini masalah hatinya. Hanya dia yang boleh mengetahuinya. “Apa selama ini lo selalu menginterogasi orang yang dekat dengan Amira?”
“Jawab aja pertanyaan gue. Sejak kapan lo mulai menyukai Amira?”
“Sejak gue liat dia diseret pergi sama Elang, waktu kita bertiga ada di lobby kampus dan lo nyaris menghajar gue untuk yang kedua kalinya.” Alfar tersenyum tipis. “Saat itu, gue kesal karena Elang membawa pergi Amira. Gue nggak suka. Gue rasanya ingin berlari ke arah Amira dan Elang, merampas Amira dari Elang dan memberi cowok itu pelajaran untuk nggak ikut campur urusan orang lain. Tapi, di situ perasaan gue masih belum jelas. Dan gue benar-benar yakin setelah kejadian di aula itu.”
“Apa lo tau, Amira suka sama Elang?”
Apa Brian bercanda?
“Gue sama sekali nggak bercanda,” kata Brian, membuat Alfar sadar bahwa dia sudah menyuarakan isi pikirannya. “Amira suka sama Elang.”
“Gimana bisa?” tanya Alfar. Nada suaranya tanpa sadar mulai naik. “Maksud gue, bukannya Elang udah punya pacar? Siapa namanya waktu itu? Mmm... Ta... Ta....”
“Tasya.” Brian menyelesaikan ucapan Alfar.
Alfar menjentikkan jari. “Ya! Tasya!”
“Elang pernah membawa Amira pergi dari hadapan lo dua kali.” Brian kembali bersuara, ketika dilihatnya Alfar hanya diam setelah menyebutkan nama Tasya. “Elang pernah membantu gue untuk menenangkan Amira, di saat cewek itu jatuh terpuruk karena kemunculan lo lagi. Elang ada untuk Amira setiap cewek itu mengalami masa sulitnya. Alasan-alasan itulah yang akhirnya membuat Amira jatuh hati pada Elang.”
“Tapi—“
“Kenapa? Lo nggak rela?”
Jelas! Jelas Alfar tidak rela jika Amira melupakannya dan memulai perasaannya untuk Elang. Kalau Amira melakukan hal itu, bukankah cewek itu akan terluka nantinya?
“Gue nggak bisa apa-apa,” ucap Brian lagi. Wajahnya sarat akan kebingungan. “Ini berhubungan dengan perasaan. Perasaan nggak bisa dipaksa. Ada kalanya gue berterima kasih sama Elang karena udah bikin sahabat gue berhasil melupakan lo, tapi... di satu sisi, gue juga merasa lebih baik dia tetap mencintai lo aja, kalau pada akhirnya, lo juga memutuskan untuk jatuh cinta sama dia.”
Baik Alfar dan Brian sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
“Amira bilang, dia akan nyoba kasih lo kesempatan. Satu kesempatan lagi.” Tatapan Brian menerawang ketika dia mengingat pembicaraannya dengan Amira di ruang tamu rumahnya. “Dia berharap, dia bisa jatuh cinta lagi sama lo, sehingga dia bisa melupakan perasaannya untuk Elang. Gue kenal Amira dan gue tau, dia pun ragu sama keputusannya itu.”
Alfar termenung di tempatnya. Cowok itu memijat pelipisnya pelan dan menghela napas.
“Lo mau tau satu kenyataan lagi, Kak?”
Alfar mengangkat kepala dan bertemu mata dengan Brian. Dia tidak bisa membaca raut wajah cowok itu sekarang dan apa yang sedang berkecamuk di dalam pikirannya. Cowok itu hanya tersenyum kecut dan menggelengkan kepala.
“Gue rasa,” kata Brian dengan nada lelah. “Elang juga memiliki perasaan yang sama seperti Amira. Gue rasa, cowok itu juga menyukai Amira, seperti Amira yang menyukainya.”
Alfar speechless.
###
“Makasih buat es krim sama senang-senangnya hari ini, Kak!”
Nada riang dalam suara Amira membuat Alfar tersenyum lebar dan mengangguk. Keduanya saat ini sedang berjalan di sebuah taman yang berada tak jauh dari mall yang mereka datangi. Suasana taman mulai ramai dengan orang-orang yang ingin menghabiskan waktu bersama dengan orang terkasih mereka.
“Amira....”
“Hmm?”
Jeda beberapa saat. Amira yang bingung kontan menoleh. Didapatinya raut wajah Alfar yang muram. Benar-benar terkesan sangat sedih. Amira mengerutkan kening dan mengibaskan sebelah tangannya di depan Alfar guna mengembalikan kesadaran cowok itu.
Kedua mata Alfar menyelami mata Amira. Untuk apa Alfar mencoba meminta kesempatan pada Amira, jika dia tahu bahwa Amira mungkin tidak akan bahagia apabila bersamanya? Apa gunanya dia berhasil mendapatkan fisik Amira, tetapi tidak dengan hati cewek itu?
“Aku... aku tau kalau kamu cinta sama Elang.”
Amira memucat di tempatnya. Tangannya mendadak gemetar. Fokus matanya mulai berkurang akibat lapisan bening yang mendadak hadir tanpa diundang. Dari mana Alfar tahu akan hal itu?
“Brian yang ngasih tau aku.” Alfar seakan bisa membaca isi pikiran Amira. Digenggamnya tangan cewek itu dengan erat sambil tersenyum tipis. “Kamu nggak perlu marah sama dia. Dia ngelakuin semua itu karena terpaksa, kok. Waktu itu, dia sama aku ketemuan. Kami bicara cukup lama. Dia hanya khawatir sama kamu. Dia bingung harus bagaimana, sampai akhirnya, kalimat itu keluar dari mulutnya.”
Melihat Amira masih diam, Alfar kembali berbicara. “Karena ucapan dia, aku jadi sadar. Mau sebanyak apa pun aku meminta kesempatan dari kamu, kalau hati kamu cuma untuk Elang, aku bisa apa? Aku nggak akan mungkin bisa menangin hati kamu.”
“Kak, aku....”
“Ssst... kamu nggak perlu menjelaskan apa pun, Amira.” Alfar segera mencegah cewek itu untuk berbicara. “Kamu nggak salah apa pun sama aku. Aku paham sama kondisi kamu. Semuanya emang udah terlambat buat aku. Aku ikhlas kalau misalnya aku nggak bisa mendapatkan hati kamu.”
“Jangan nangis,” ucap cowok itu tenang, ketika dia melihat Amira mulai menangis. Padahal, hatinya sangat bergejolak saat ini. “Aku nggak suka liat kamu nangis. Kamu lebih cocok jadi cewek cerewet, Amira. Makasih untuk semua cinta terpendam kamu selama ini, Mir.” Cowok itu tersenyum tulus dan berdiri. Diulurkannya tangan kanan, menunggu Amira untuk menjabat tangannya. “Friends?”
Amira merasakan lega yang luar biasa pada hatinya. Sejujurnya, di saat dia mengambil keputusan ini, cewek itu juga tidak begitu yakin. Sekarang, setelah Alfar mengetahui isi hatinya kepada Elang—thanks to her best friend, Brian—cowok itu memilih mundur dan mengalah. Benar-benar cowok yang sangat baik hati serta tulus. Amira tidak menyesal pernah mencintai cowok itu sebelum ini.
Tangan kanan Amira terulur untuk menjabat tangan Alfar yang sudah menunggunya. Ketika kepala Amira mengangguk, Alfar menarik tubuh cewek itu ke arahnya. Amira yang tidak menduga, hanya bisa memekik tertahan dan berakhir pada pelukan erat Alfar. Cowok itu menarik napas panjang di balik bahu Amira dan mengusap rambut cewek itu lembut.
Ini bukan perpisahan sesungguhnya. Ini hanya perpisahan mengenai hati.
“Aku sebenarnya kepengin banget nangis,” ucap Alfar mencairkan suasana canggung yang terjadi akibat pelukannya pada Amira saat ini, “tapi, aku cowok sejati. Pantang bagi seorang cowok sejati untuk nangis.”
Keduanya tertawa renyah. Esok adalah hari yang baru bagi hubungan Alfar dan Amira. Hubungan pertemanan yang akan mereka mulai lagi dari awal.