SEPULUH

2902 Words
SEPULUH   “Makasih udah nganterin pulang, Lang.” Tasya turun dan menyerahkan helm yang dia pakai. Elang menerima benda itu tanpa menoleh dan hanya mengangguk atas ucapan terima kasih Tasya.             “Aku pamit, Sya.”             “Elang!”             Panggilan Tasya itu menghentikan niat Elang untuk meneruskan perjalanan menuju rumah. Elang menoleh, mengangkat kaca helmnya. Alisnya terangkat satu ketika dia melihat raut wajah pacarnya itu. Ada yang disembunyikan Tasya, Elang yakin itu.             “Kenapa, Sya?” tanya Elang kemudian mematikan mesin motornya kembali.             “Aku....” Tasya membasahi bibirnya. Bimbang, apakah dia harus mengeluarkan semua unek-uneknya kepada Elang. Kedua tangannya saling meremas satu sama lain dan mata Tasya tidak menatap langsung ke mata Elang. “Aku....”             Elang menghela napas panjang. Cowok itu membuka helm dan mengulurkan tangan kanan. Dia menunggu Tasya meraih tangannya. Tasya sendiri masih diam, menunduk dan menatap aspal serta tangan Elang bergantian. Sampai akhirnya, cewek itu dengan ragu menyambut uluran tangan Elang.             “Ayo, kita jalan-jalan sebentar.” Elang membantu Tasya naik ke boncengan motornya dan kembali menyalakan mesin. Motor Elang melaju dengan kecepatan sedang, membelah kota Jakarta di malam hari dan memasuki kawasan pantai Ancol.             “Kita ngapain ke sini, Lang?” Tasya membuka helm dan menatap sekitarnya.             “Jalan-jalan.” Elang mengambil helm yang dipeluk Tasya dan diletakkan di atas jok motor. Cowok itu mengambil tangan Tasya dan menggenggamnya dengan erat. Dibawanya cewek itu menyusuri pantai, membiarkan angin memainkan rambut keduanya. “Ayo, kita duduk di sana.”             Tasya melihat arah yang ditunjuk oleh Elang kemudian mengangguk. Bau air laut langsung menerpa indra penciuman mereka dan memberikan ketenangan yang amat besar.             “Maaf.”             Permintaan maaf Elang terdengar samar di kedua telinga Tasya karena bersahutan dengan suara ombak di depan mereka. Tasya menoleh, menatap Elang yang menunduk. Cukup lama, sampai akhirnya, cowok itu mengangkat kepala dan menarik napas. Dia menoleh ke arah Tasya lalu tersenyum tipis. “Aku minta maaf untuk kejadian hari ini di aula. Aku cuma... aku cuma nggak nyangka sama sekali kalau Amira bisa sebodoh itu.”             Karena aku mulai goyah sama diri aku sendiri, Sya...             “Nggak apa-apa,” kata Tasya pelan. Dia menggenggam tangan Elang dan menjatuhkan kepalanya di pundak cowok itu seraya memejamkan mata. “Aku ngerti kalau kamu khawatir sama teman kamu.”             Aku nggak bisa ngeliat kamu mulai sayang sama Amira, Lang... aku takut kehilangan kamu...             “Ada yang mau aku omongin sama kamu.” Elang balas menggenggam tangan Tasya. “Aku... entah sejak kapan, mulai bisa membuka diri untuk lawan jenis. Untuk kaum cewek. Dan itu semua berkat... Amira.”             “Aku nggak ngerti gimana bisa dia bikin kamu membuka diri sama semua cewek. Hebat ya, dia.” Tasya tertawa renyah. Agak dipaksakan. Namun, Elang sama sekali tidak mendengar nada tawa yang dipaksakan itu.             “Aku juga nggak ngerti.” Elang tertawa pelan. Pikirannya kini tanpa sadar membawa semua kenangannya bersama Amira selama beberapa hari terakhir ini. “Tapi, dia berhasil bikin aku sadar kalau nggak semua perempuan itu sama.”             Aku selalu meyakinkan kamu akan hal itu dari dulu, Lang! Aku! Aku! Tapi, kamu sama sekali nggak pernah berusaha percaya sama aku! Kenapa sekarang kamu justru percaya sama ucapan Amira?!             “Amira mungkin emang cewek berisik sampai-sampai aku sebal sama dia,” aku Elang. Matanya menerawang, mengajaknya kembali ke masa di mana dia dan Amira saling menatap tidak suka dan menyuarakan kekesalan pada diri masing-masing, “tapi, dia adalah cewek yang polos. Semua yang Amira rasakan dan pikirkan akan terpampang jelas di kedua mata dan raut wajahnya. Tidak ada yang ditutupi, tidak bisa disembunyikan. Kepolosan itu yang bikin aku merubah sudut pandang aku selama ini. Bahwa kenyataannya, di dunia ini, nggak semua cewek memiliki sifat dan sikap yang sama seperti... Mama.” Pertama kalinya, sejak sebelas tahun Tasya mengenal Elang, semenjak kejadian itu memukul Elang hingga menyebabkan cowok tersebut menutup diri dari semua cewek, dia kembali menceritakan soal... Mamanya.             “Kisah di antara Amira dan Alfar adalah alasan lainnya yang bikin aku sadar, Sya,” kata Elang lagi, membuat Tasya mengerutkan kening. Ada apa dengan Amira dan Alfar memangnya? Yang Tasya tahu, dikutip dari pernyataan Elang tadi di kampus cowok itu, Alfar adalah alumni kampus Elang yang menyukai Amira. Itu saja. Memang, ada kisah apa lagi yang terjadi di antara kedua orang itu? “Kamu tau? Sebenarnya, Amira lah yang mencintai Alfar sejak cewek itu masih menjadi mahasiswi baru di kampus dan Alfar hanya menganggap Amira sebagai adiknya saja. Selama ini,” penjelasan Elang masih berlanjut. Nada suaranya terdengar ragu, seperti tidak rela menceritakan hal ini pada Tasya karena akan menimbulkan efek tersendiri bagi cowok itu. Sejak awal bercerita, setiap kali Elang menyebutkan nama Amira dan Alfar, ada tikaman pada jantungnya yang akan membuat cowok itu merasa nyeri. “Amira selalu memendam perasaan cintanya itu buat Alfar. Dia hanya berbagi cerita pada Brian, sahabatnya. Tapi, nggak ada yang bisa Brian lakuin selama ini, selain menyuruh Amira untuk segera melupakan perasaan cewek itu pada Alfar. Dan Amira sama sekali nggak bisa buat ngelakuin hal itu. Dia terus saja mencintai Alfar dalam diam. Sampai akhirnya, Alfar muncul lagi di hadapan Amira setelah satu tahun lamanya cowok itu nggak ada kabar.”             “Amira yang cerita semua ini sama kamu, Lang?” tanya Tasya getir. Kedua matanya memanas dan cewek itu berusaha untuk tidak menangis. Dia tersenyum, menjauhkan kepalanya dari lengan atas Elang dan memiringkan kepala saat menatap pacarnya itu. “Kalau Amira cerita sama kamu soal perasaannya, berarti dia percaya sama kamu.”             “Brian yang cerita.” Elang mengusap wajah dengan sebelah tangan kemudian menatap hamparan laut di depannya. “Waktu itu, Amira nangis hebat di lembaga. Aku yang minta izin sama Brian buat bikin Amira jadi Amira yang seperti biasanya, karena aku tau, kalau dia berhadapan sama aku, dia pasti akan kesal dan berakhir dengan marah-marah.”             “Dan apa yang bikin kamu berpikir bahwa semua cewek itu nggak sama seperti Mama kamu, hanya dengan berpatokan pada kisah Amira?” Tasya tidak bisa menahan nada sinis dalam suaranya. Sungguh, semua ini benar-benar tidak masuk akal! Amira, cewek itu bisa membuat sudut pandang Elang berubah hanya dalam waktu sekejap?             Elang tidak langsung menjawab. Mendengar dan menyebutkan kata ‘Mama’ bukanlah sesuatu yang gampang dia lakukan. Dia butuh kekuatan untuk melakukan kedua hal tersebut. Tidak mudah mengangkat batu besar yang menindih hatinya tersebut. Butuh perjuangan untuk membiasakan diri dengan rasa nyeri yang sejak dulu selalu dia kubur dalam-dalam.             Tapi, di satu sisi, dia juga menyadari satu hal. Bahwa hidup dalam bayang-bayang masa lalu tidak akan menghasilkan hal yang baik untuknya juga untuk masa depannya.             “Karena dia cewek kuat.” Elang menjawab mantap. Senyum simpul muncul di bibirnya. “Karena dia sanggup mencintai dan menunggu Alfar selama ini. Dia bersikap biasa saja di depan semua orang padahal hatinya sakit luar biasa karena terus mengingat Alfar dan mengharapkan cowok itu. Dia... berbeda dari... Mama.”             “Kenapa selama ini kamu nggak pernah percaya sama kata-kata aku?”             Elang mendongak ketika tiba-tiba saja, Tasya berdiri. “Kenapa kamu percaya justru sama cewek itu?”             Kening Elang mengerut dalam. “Sya?”             “Kamu suka, kan, sama Amira?”             Elang terperanjat. Cowok itu berdiri dan memegang lengan Tasya yang langsung ditepis oleh cewek itu. Elang bingung. Cowok itu tidak paham dengan ucapan Tasya yang mendadak itu. Ketika Elang mencoba berbicara lagi, Tasya sudah mengangkat kepalanya dan menatap manik mata Elang.             Mata yang berkaca. Mata yang menyiratkan luka. Mata yang terlihat sedih.             “Kenapa kamu justru lebih percaya sama Amira daripada sama aku yang selama ini mati-matian mengubah sudut pandang kamu terhadap kaum cewek? Apa yang udah Amira lakukan dan belum aku lakukan, hah? APA?!”             Keterdiaman Elang membuat emosi Tasya semakin menjadi. Cewek itu tertawa hambar dan menghapus air mata di pipinya dengan kasar. Kepalanya menggeleng dan cewek itu kembali menatap Elang seraya menunjuk cowok itu.             “Kamu tau? Aku sakit liatnya, Lang! Kamu, yang selama ini selalu ngeliat ke arah aku, sekarang mulai ngeliat ke arah lain. Aku senang kalau kamu mulai bisa membuka diri kamu sama kaum cewek, tapi... bukan seperti ini! Bukan dengan cara kamu suka sama Amira!”             Tasya menangis keras kemudian berlutut di atas pasir. Cewek itu menunduk, memejamkan kedua matanya. Bahunya berguncang, tubuhnya pun gemetar hebat. Sesak bukan main. Tidak menyangka, cowok yang dicintainya selama ini dan juga mencintainya, kini mulai membagi cinta itu untuk cewek lain.             Elang terpaku. Belum pernah dia melihat Tasya seperti ini. Dia ingin menyakiti dirinya sendiri sekarang karena sudah membuat cewek sebaik Tasya tersakiti. Apa pun, apa pun yang bisa dia lakukan akan dia lakukan, asalkan Tasya tidak menangis lagi.             Tapi... apa yang bisa dia lakukan seandainya hatinya memang mulai menyayangi Amira?             “Jangan pergi dari aku, Lang...,” Tasya berkata lirih. Cewek itu menutup wajah dengan kedua tangan, membiarkan dingin memeluk tubuhnya erat.             Tak lama, rasa dingin itu berganti dengan kehangatan. Sesuatu yang besar melingkupi tubuh Tasya, mendekapnya dengan kuat. Tasya semakin menangis dalam pelukan itu sambil mencengkram kaus Elang. Dia menggeleng kuat di d**a cowok itu.             “Aku nggak akan pernah ninggalin kamu, Sya....” Rahang Elang mengeras. Bayangan Amira hadir di benaknya, tidak mau pergi. Elang mengabaikan rasa nyeri pada hatinya saat ini. Nyeri karena sudah menyakiti Tasya dan untuk perasaan barunya kepada Amira. Perasaan terlarangnya untuk cewek itu.             Maafin gue, Amira....             Yang Elang tidak sadar, suara hatinya barusan ternyata lolos dari mulutnya walau hanya menyerupai bisikan. Dan Tasya mendengarnya dengan jelas. ### Hubungan Tasya dan Elang akhirnya kembali normal sejak pembicaraan mereka di pantai malam itu. Mereka tidak menyebutkan nama Amira lagi dan tidak membahas hal tersebut, baik itu dalam perjalanan pulang dari pantai sampai hari ini. Latihan drama untuk pementasan di acara makrab pun semakin intens dilakukan. Beno menyuruh semua pemeran untuk fokus, pun dengan tugas mereka sebagai panitia dalam membimbing para mahasiswa semester awal nanti.             Yang tidak nampak dalam latihan itu hanyalah Amira. Cewek itu tidak pernah terlihat di saat semuanya sedang menjalankan latihan. Padahal, sekarang sudah H-5.             “Oke, gue ngerasa nggak ada masalah, meskipun pemeran utama kita nggak pernah muncul di saat latihan.” Beno mulai memberikan arahan. Dia melirik Brian dan cowok itu hanya memutar mata sambil berdecak. Cowok itu membuka telapak tangan kanannya, mengisyaratkan Beno untuk melanjutkan pidatonya itu. Di sisi lain, Elang terlihat biasa saja. Raut wajah cowok itu datar, membuat darah Brian mendidih karenanya.             Dia bikin sahabat gue menderita dan yang dilakukannya cuma diam?! b******k!             “Lo tau ke mana Amira, Yan?”             Brian mengerang dalam hati. Si Beno ini minta dibogem kali, ya? Sudah diingatkan saban hari juga, masih saja keukeuh nanya soal Amira! Brian juga sudah memperingatkan cowok itu untuk tidak membahas Amira selama latihan atau rapat.             “Sakit,” jawab Brian acuh.             Mendengar itu, alis Elang terangkat satu. Entah apa yang terjadi padanya, tapi refleks kepalanya terlalu cepat. Dia menoleh begitu saja. Menatap Brian yang fokus pada ponsel di tangannya itu.             “Amira sakit apa, Yan?” tanya Beno mewakili semua orang di aula itu. Brian mengangkat kepala dari ponsel dan berdecak.             “Jangan kepo!” tegas cowok itu. Dia menunjuk Beno dengan menggunakan ponselnya, membuat beberapa orang menahan tawa karena tingkah lucu sahabat Amira itu. “Terusin aja pidatonya, bisa? Udah pernah gue bilang sama lo, kan, kalau dia pasti bakalan muncul di makrab nanti!” Elang mengumpat tanpa suara dan mengacak rambutnya frustasi. Brian memperhatikan dari tempatnya dan mencibir. Tidak peduli dengan apa pun yang akan terjadi pada Elang nantinya. Dia sudah menyakiti Amira dan Brian akan memastikan Elang akan membayarnya nanti.             Elang tidak mendengarkan Beno. Cowok itu melirik Brian lagi dan mendapati sahabat Amira itu bangkit berdiri. Dia menghampiri Beno, membisikkan sesuatu pada cowok itu dan dijawab dengan anggukkan kepala oleh Beno. Tak lama, Brian mengacungkan jempolnya dan berjalan keluar aula.             Tidak tahan dengan semua pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya, Elang mengikuti jejak Brian tanpa memperdulikan seruan Beno. Melihat Elang mengabaikannya, Beno hanya bisa mencak-mencak nggak karuan sambil menggerutu. Heran dengan kelakuan dua adik tingkatnya itu.             Di luar, di sepanjang lorong kampus yang dipenuhi oleh mahasiswa, Elang menerebos dengan hati gelisah. Sosok Brian masih bisa dilihatnya. Punggung itu berbelok ke kanan setelah menyapa salah satu mahasiswa dan Elang nyaris saja mendorong pintu di hadapannya itu ketika dia berbelok mengikuti jejak Brian, saat didengarnya suara tersebut. Suara yang sangat dia rindukan. Terlebih si pemilik suara itu.             Amira Alanis ada di sini. Amira Alanis ada di dekatnya. Di depannya. Yang perlu Elang lakukan hanyalah mendorong pintu itu agar terbuka, tapi nyatanya, cowok itu justru terpaku di tempatnya. Terlalu lega ketika mendengar suara Amira sampai-sampai kedua lututnya lemas.             “Lo ngapain di sini?” Pertanyaan yang dilontarkan Brian itu membuat Elang tersadar. Cowok itu segera merapatkan diri ke daun pintu yang masih terbuka sedikit untuk mendengar percakapan dua orang di dalam ruangan tersebut.             “Gue suntuk.” Kali ini, Elang memejamkan mata saat suara Amira kembali terdengar. Dia membuka mata, melirik dari celah pintu yang terbuka sedikit dan menatap wajah cewek itu.             “Suntuk? Elo dikasih libur malah suntuh? Lo kesurupan setan penunggu rumah gue kali, ya, waktu nginap di sana?”             Kening Elang mengerut. Menginap di rumah Brian?             “Rese!” Amira menggerutu dan memukul lengan Brian hingga sahabatnya itu terkekeh. Elang yang menyaksikan itu mendadak kesal. Namun, dia toh tetap berdiri di sana, memperhatikan gerak-gerik Amira dan Brian. “Gue kangen kuliah, tau!”             “Lah? Yang kepengin kabur dari semua aktivitas, siapa? Gue? Elo, kan? Kenapa jadi kangen kuliah?” Amira mendengus dan menarik napas panjang. “Gimana kabar semua panitia? Kak Beno? Latihan lancar?”             “Mir, gue udah cerita semua sama lo, kan? Lo nggak usah mikirin hal itu. Lo cukup datang pas acara makrab aja, oke?” Brian menghela napas panjang. “Soal Kak Alfar... apa lo... serius?”             Jantung Elang berpacu cepat kala mendengar nama Alfar disebut. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang akan terjadi. Sesuatu yang mungkin akan membuatnya semakin sakit. Untuk apa Brian dan Amira membicarakan Alfar? Apa yang akan dilakukan oleh Amira terhadap Alfar?             Dilihatnya Amira menunduk kemudian mendesah panjang. Cewek itu memijat pelipisnya kemudian mengerang pelan. Elang jadi tidak tega dan ingin sekali menghambur ke arah cewek itu untuk memeluknya.             Apa... ini karena dia anak mamanya? Karena itulah, gen beliau turun kepadanya saat ini dan akan melakukan kesalahan yang sama, seperti yang dilakukan oleh wanita itu kepada ayahnya?             Dulu, keluarganya adalah keluarga yang sangat harmonis dan bahagia. Ayahnya seorang pengusaha dan mamanya hanyalah ibu rumah tangga biasa. Elang selalu diperhatikan dan disayang. Sampai akhirnya, ketika Elang berumur sepuluh tahun, kejadian itu terjadi.             Ayahnya bangkrut lalu jatuh sakit. Mamanya tidak bisa menerima hal tersebut dan pergi meninggalkan mereka berdua untuk memulai keluarga yang baru bersama pria lain. Elang saat itu hanya bisa menangis, memanggil mamanya dan berlari mengejar wanita itu. Namun, sang mama sudah masuk ke dalam mobil dan berlalu dari hadapannya. Wanita itu bahkan tidak mau menoleh ke arahnya.             Di halaman, Elang jatuh terduduk. Cowok itu menatap rumput di depannya dengan tatapan kosong. Untuk ukuran anak berumur sepuluh tahun, semuanya terlalu menyakitkan baginya. Tapi, cowok itu berusaha untuk tetap kuat. Demi ayahnya yang sedang sakit.             Elang mendongak saat melihat seorang anak seusia dengannya sedang memeluk boneka. Cewek cantik berkepang dua. Cewek itu tersenyum di depan pagar rumah Elang dan melambaikan tangan. Namun, Elang sama sekali tidak menghiraukan cewek berkepang itu. Dia bangkit, masuk ke dalam rumah dan... ayahnya sudah tergeletak di atas lantai dengan mata terpejam.             Sekeras apa pun Elang memanggil ayahnya, sekuat apa pun dia mengguncang tubuh pria itu, ayahnya tidak akan pernah bangun lagi. Dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, Elang kehilangan semuanya. Mama yang pergi meninggalkannya dan ayah yang juga pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.             “Lo ngapain di sini?”             Pertanyaan bernada dingin itu mengusir semua kenangan pahit Elang. Cowok itu menoleh dan bertemu mata dengan Brian. Sahabat Amira itu menatapnya tajam, namun Elang tidak peduli. Dia justru melayangkan tatapannya pada Amira yang sudah berdiri tepat di belakang Brian.             Cewek itu menatapnya datar. Tidak ada ekspresi apa pun yang bisa Elang lihat di sana.             “Cuma nggak sengaja lewat,” jawab Elang sama dinginnya setelah jeda beberapa saat. “Ternyata, Tuan Putri ada di sini. Sudah selesai acara senang-senangnya? Hmm? Yang gue dengar tadi, elo lagi sakit. Tapi, sepertinya lo sehat bugar.”             “Bukan urusan lo.” Nada suara Amira terdengar sangat jauh dari kata bersahabat. Hanya Tuhan dan cewek itu sendiri yang tahu betapa sulitnya dia melakukan hal itu di depan Elang. “Gue sakit atau mati, itu semua sama sekali bukan urusan lo, Elang Mahendra.”             Elang bungkam. Cewek di depannya itu adalah alasan Elang mampu membuka diri untuk kaum cewek setelah sebelas tahun lamanya, dia berusaha menutup diri dan menjauh dari mereka hanya karena ulah sang mama. Elang takut. Dia takut kalau nantinya dia akan ditinggalkan, seperti mama yang meninggalkan ayah. Tasya bahkan sudah mencoba menyadarkannya, bahwa tidak semua cewek akan bersikap sama seperti mama. Tapi, yang berhasil menyadarkannya justru Amira.             “Kenapa diam?” tanya Amira. “Nggak bisa membalas ucapan gue? Bagus! Karena gue juga malas berurusan sama lo lagi! Urusan kita selesai waktu itu, Lang! Gue harap, lo nggak lupa dengan semua perkataan lo waktu itu.”             Sial!             “Dan setelah pementasan drama nanti berakhir,” lanjut Amira seraya mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya. Dia berusaha kuat, meskipun sudah sangat ingin menangis. “Gue akan menganggap lo nggak ada. Dan gue harap, lo juga begitu.”             Amira pergi meninggalkan Elang, setelah sebelumnya menabrakkan pundaknya ke pundak cowok itu. Cewek itu sama sekali tidak menoleh, meskipun Brian menyerukan namanya. Ketika sosok Amira menghilang dari pandangan, barulah Brian menatap Elang.             Dan... cowok itu tertegun ketika mendengar kalimat Elang.             “Gue jatuh cinta sama sahabat lo.” Elang tertawa datar dan meninju dinding di samping pintu. “Gue cowok b******k yang mencintai cewek lain, di saat gue sendiri udah memiliki pacar!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD