Kabar Buruk

1458 Words
Gunawan membuka pintu ruangan kerja Raldo tanpa mengetuk terlebih dahulu. Membuat anak laki-lakinya itu begitu terkejut melihat kedatangan kedua orang tuanya. Tentu saja kedatangan mereka yang begitu tiba-tiba membuat tak hanya Raldo, tapi juga Airin merasa sangat panik sekarang. Bagaimana kalau hubungan mereka nanti ketahuan? “Ternyata yang Airin katakan tadi benar, sekarang bagaimana? Untung tadi dia langsung masuk kembali ke dalam toilet! Semoga saja Airin mendengar teriakanku, dan tetap bersembunyi di dalam kamar mandi sampai Papa dan Mama pergi!” harap cemas Raldo dalam hati. Sungguh, kali ini ia tidak bisa merasa tenang sedikit pun, takut kedua orang tuanya mengetahui kalau saat ini ada seorang wanita yang sedang bersembunyi di dalam toilet ruang kerjanya. “Tidak kasih kabar katamu? Lihat saja ponselmu itu, berapa kali Papa menghubungimu saat masih di jalan!” bentak Gunawan sambil mendudukkan dirinya di sofa. Ia sempat merasa heran ketika melihat keadaan sofa dengan bantal kursi yang berantakan saat mereka baru datang tadi. Tapi tak ingin berpikir macam-macam, Gunawan tidak terlalu memedulikannya, dan berusaha membuat dirinya merasa nyaman. Sedang Sinta sudah duduk sambil menyilangkan kaki di sebelahnya. Mereka tidak tahu saja, apa yang baru saja putranya lakukan di tempat yang mereka duduki sekarang. Raldo hanya mengulum senyum sambil melirik sofa yang berantakan itu, mengingat kembali apa yang baru saja terjadi di sana antara dirinya dan Airin. Sedang Airin yang masih berada di dalam kamar mandi segera mengunci pintu toilet dari dalam karena takut bila mendadak ada yang masuk. Gadis itu langsung bersandar di pintu kamar mandi sambil menempelkan telinganya di daun pintu. Mencoba mencuri dengar siapa tahu kedua orang tua Raldo itu sudah pergi dari ruang kerja anaknya. Raldo melihat benda pipih miliknya, dan benar saja, ada banyak panggilan tak terjawab dari sang ayah yang masuk ke ponselnya. “Kenapa kamu tidak menjawab telepon dari Papa tadi?” tanya Sinta ingin tahu. Raldo langsung memutar otak, berusaha memikirkan alasan yang paling masuk akal agar kedua orang tuanya tidak merasa curiga. “Emm, itu, tadi Raldo sedang mengadakan meeting dengan klien penting! Ya, meeting, makanya nggak dengar saat ponsel Raldo berdering!” jawab Raldo sambil berusaha tetap tenang. Gunawan menautkan kedua alisnya, menatap putranya dengan penuh curiga. “Meeting? Kenapa tadi Papa tidak berpapasan dengan staf kantormu saat berada di luar?” tanya Gunawan penasaran. Raldo tak kehabisan akal, dengan cepat ia memikirkan alasan yang tepat agar Gunawan tidak lagi bertanya macam-macam kepadanya, atau semua akan terbongkar. “Maksudku meeting secara virtual, Pa! Bukan meeting di ruangan!” jawab Raldo cepat. Gunawan hanya mengangguk-anggukan kepala ketika mendengar penjelasan Raldo. Dan kini pria itu bisa bernafas lega, karena sang ayah tidak lagi curiga. Raldo berdiri dari duduknya, lalu bergabung dengan kedua orang tuanya duduk di sofa. “Kenapa tiba-tiba Papa dan Mama kemari? Apa ada hal penting yang ingin Papa dan Mama katakan kepadaku? Bukankah kalian bisa memanggilku untuk datang ke rumah nanti malam,” tanya Raldo, penasaran dengan kunjungan mendadak orang tuanya. Sinta langsung melihat wajah putranya dengan serius. “Benar, ada hal penting yang harus segera kami katakan kepadamu! Raldo, kamu tahukan kalau usiamu itu sudah tidak muda lagi, 27 tahun adalah usia yang matang untuk berumah tangga! Jadi Papa dan Mama memutuskan untuk menikahkan dirimu dengan putri relasi bisnis Papa!” terang Sinta. Perkataan sang Ibu membuat Raldo tersentak kaget. “Bagaimana bisa mereka berpikir untuk menikahkan aku! Itu tidak mungkin terjadi, aku hanya mau menikah dengan Airin saja!” dengus Raldo dalam hati. Tak hanya Raldo yang merasa kaget dengan ucapan sang ibu, Airin yang berada di dalam kamar mandi juga tak kalah terkejut mendengar rencana ibu kekasihnya itu. Rasanya bagai petir yang menyambar dirinya, Airin merasa sangat hancur ketika mengetahui kalau kekasihnya itu akan dijodohkan. Air mata meleleh turun tak lagi bisa dibendung. Rasanya ingin berteriak saja, tapi tidak mampu. Gadis itu luruh ke lantai, bersandar ke pintu kamar mandi, sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. Berusaha sebisa mungkin agar tidak bersuara, atau semua akan semakin hancur berantakan. “Tidak bisa Ma! Raldo bukan anak kecil lagi, aku ini sudah dewasa, Ma! Bagaimana mungkin Mama dan Papa terpikir untuk menjodohkan aku! Aku masih bisa mencari calon istriku sendiri!” tolak Raldo terang-terangan. Gunawan yang mendengar penolakan putranya hanya tersenyum meremehkan, lalu ia memperbaiki posisi duduknya. “Jadi itu artinya kamu akan menolak perintah kami? Sudah siap jatuh miskin rupanya!” ancam sang ayah. Selalu saja seperti ini, tiap Raldo menolak keinginan orang tuanya, maka mereka akan mengancam untuk menarik semua saham yang mereka miliki di semua restoran yang Raldo punya. Bahkan lebih parahnya lagi, mereka juga pernah mengancam akan mencoret nama Raldo dari daftar warisan. Dan itu membuat keteguhan hatinya selalu goyah. Raldo masih belum siap untuk jatuh miskin. “Tapi bagaimana mungkin Raldo akan menikah dengan wanita yang sama sekali tidak Raldo kenal, apalagi Raldo tidak mencintainya!” Raldo bersikukuh dalam pendiriannya. “Halah, p******n itu cinta! Lihatlah Papa dan Mamamu ini, dulu kami juga dijodohkan, tidak saling kenal, apalagi saling cinta. Tapi lihat, kami bisa bahagia sampai sekarang!” Gunawan mencemooh alasan yang Raldo berikan. “Mama memilih calon menantu yang kami rasa pantas untukmu! Namanya Maura, lihat cantik bukan!” Sinta menyodorkan selembar foto ke hadapan putranya. Raldo tidak menyentuh foto itu sedikit pun, ia memang tidak tertarik dengan rencana perjodohan ini. Tidak mau ambil pusing melihat reaksi yang Raldo tunjukan, Sinta mulai menceritakan bagaimana gadis yang akan mereka jodohkan dengan putra semata wayangnya itu. “Maura gadis yang cantik, pandai, mandiri, dan yang paling penting, mereka berasal dari keluarga terpandang dan kaya raya! Sebanding dengan derajat keluarga kita! Ia memiliki beberapa butik yang terkenal di beberapa kota! Dan ayahnya juga merupakan relasi bisnis Papamu! Coba bayangkan apa yang bisa kita dapatkan bila kamu setuju dengan pernikahan ini,” terang Sinta menggebu-gebu. “Sebuah kerja sama bisnis akan langsung kita tanda tangani dengan perusahaan mereka. Dan tidak menutup kemungkinan juga, mereka akan menyerahkan perusahaan milik mereka kepadamu, sebagai menantu di rumah mereka!” imbuh Gunawan. Raldo langsung paham dengan maksud mereka memaksanya menikah dengan wanita bernama Maura itu. “Jadi, pernikahan ini hanya perjanjian bisnis?” geram Raldo dalam hati. Tangannya meremas pakaiannya sendiri. Merasa sangat kesal dengan rencana kedua orang tuanya yang sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaan sang anak. Sejak kecil sampai dewasa, mereka selalu memaksa Raldo untuk mengikuti semua keinginan mereka berdua. Tidak pernah satu kali pun mereka memberi kebebasan Raldo untuk memutuskan sendiri apa yang ia inginkan. “Maura adalah gadis yang sempurna! Papa dan Mama ingin dia menjadi menantu di keluarga kita! Karena hanya kamu satu-satunya anak yang kami punya, itu artinya kamu yang harus menikah dengan dia! Dan itu HARUS, TIDAK BOLEH MENOLAK!” tegas Sinta sambil menatap Raldo tajam. Ia tahu kalau anaknya itu merasa tidak setuju dengan rencana yang sudah mereka siapkan untuk masa depannya. Tapi mau bagaimana lagi, sifat tamak keduanya sepertinya sudah mendarah daging. Keinginan untuk menikahkan Raldo dengan putri semata wayang rekan bisnisnya begitu besar. Hingga tidak akan membiarkan putranya itu menggagalkan rencana mereka. Baik Gunawan maupun Sinta ingin kekayaan dan kehormatan keluarga mereka nantinya meningkat setelah pernikahan itu terjadi. “Pikirkan dulu, sebelum bicara! Lagi pula kamu tidak perlu khawatir, kami tidak akan salah dalam memilih calon menantu! Atau mungkin kamu sudah memiliki pilihan sendiri hingga berani menolak perjodohan ini! Jangan sampai wanita pilihanmu itu tidak sesuai dengan derajat keluarga kita!” gertak Gunawan yang membuat nyali Raldo kembali ciut. Raldo ingin sekali berteriak sekeras mungkin di hadapan kedua orang tuanya kalau ia sudah memiliki Airin, gadis yang sangat ingin ia nikahi dan mereka juga saling mencintai. Bahkan kini gadis itu mungkin sedang mendengarkan pembicaraan mereka bertiga dari balik kamar mandi. Andai saja ada keberanian itu dalam diri Raldo. Namun sayang, ketakutan Raldo bila harus kehilangan segalanya terlalu kuat, hingga akhirnya pria itu mengangguk, tanda setuju. Raldo menghela nafas, “Baiklah, tapi hanya kali ini saja!” jawabnya pasrah. Gunawan dan Sinta saling pandang, dan mereka berdua tersenyum. Mereka merasa sangat senang karena akhirnya Raldo mau menerima perjodohan ini. Setelah puas mendengar jawaban yang Raldo berikan, kedua suami istri itu segera pergi dari restoran itu. Mereka ingin memberitahu kabar gembira itu kepada calon besannya. Kini tinggal Raldo duduk sendiri di ruang kerjanya. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Bagaimana mungkin tadi dirinya mengiyakannya saja, bagaimana Airin bila ia jadi menikah dengan gadis bernama Maura itu. Pria itu merasa bodoh sekali karena tidak pernah bisa menolak kemauan orang tuanya, tapi mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi sekarang. Raldo merasa frustasi. Ia sedang berpikir bagaimana caranya ia memberitahu Airin tentang kabar ini, yang bodohnya Airin sendiri pasti sudah mendengarnya secara langsung tadi. Pria itu merasa tidak bisa hidup tanpa Airin, tapi bagaimana caranya agar wanita itu mau menerima dirinya walau sudah menikah dengan gadis yang dijodohkan dengan dirinya itu. Raldo tidak mau kehilangan Airin, tidak akan pernah bisa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD