Tetap Bersamaku

1684 Words
Tubuh Airin menegang. Gadis itu masih berdiri tegak di belakang pintu sambil menatap Raldo yang sudah duduk di meja sambil menatap tajam kepadanya. Pria itu terlihat berantakan, entah kenapa tapi wajah tampan yang biasanya terlihat memesona, hari ini begitu kusut. Kedua tangannya bersedekap di depan d**a dan kedua kaki ia silangkan di atas meja. Airin tidak menyangka jika kekasihnya itu ternyata sudah menunggunya di dalam apartemen, entah sejak kapan? Bagaimana jika pria itu juga melihatnya bersama Bayu ketika mereka berada di kedai tadi? Pikiran Airin dipenuhi banyak pertanyaan dan juga kekawatiran. Raldo berdiri, berjalan perlahan mendekati Airin yang kini malah melangkah mundur hingga tidak sadar jika tubuhnya tertahan pintu dan membuatnya berhenti bergerak. Gadis itu menelan ludahnya dengan kasar, rasa gugup semakin menguasai diri. Hingga akhirnya Raldo sudah berdiri tepat di hadapannya, membuat gadis itu mendongakkan kepala untuk bisa menatap mata kekasihnya. “Dari mana kamu, honey? Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?” desis Raldo, semakin memperkecil jarak diantara mereka berdua. Airin berpikir cepat, tangannya langsung mengangkat kantung belanjaan yang ada di tangan kirinya. “A-aku baru selesai berbelanja. Bahan makanan di kulkas habis, jadi ... aku putuskan untuk keluar sebentar.” Jawab Airin yang tidak sepenuhnya bohong. Dia memang pergi keluar untuk berbelanja, walau harus menyimpan bagian ketika berada di kedai tadi jika tidak ingin kekasihnya itu mengamuk untuk kedua kalinya. “Kamu tidak membohongiku ‘kan, honey?” tekan Raldo penuh curiga. Kedua tangan Raldo terulur ke sisi kanan dan kiri gadis itu. Mengungkung Airin tepat di tengah dan menatap tajam jauh ke dalam manik hitam cantik di hadapannya. Mencari kebohongan yang mungkin tersimpan di dalam sana, dan sayang ia tidak menemukannya sedikit pun. Airin menggeleng pelan, dalam hati sudah pasrah jika ternyata Raldo sudah melihatnya bersama Bayu tadi. Siapa yang tahu bukan apa yang sebenarnya sudah terjadi pada pria tampan yang kali ini terlihat begitu menakutkan itu. “Aku sengaja datang dan membawakanmu makanan sepulang dari kantor tadi, tapi ternyata apartemenmu kosong. Ketika kemarin aku pulang ke apartemen, juga kamu sudah tidak ada di sana. Kenapa tidak mengabariku jika kamu kembali ke sini?” tanya Raldo dengan nada yang mulai melunak, entah mengapa terdengar begitu sedih. “Aku, merasa nyaman berada di sini. Kamu tahukan itu?” “Hmm.” Airin tersentak kaget ketika tiba-tiba saja Raldo sudah menarik tubuhnya dan mendekapnya dengan erat. Memeluk kekasihnya seakan merasa takut kehilangan yang amat sangat. Tentu saja hal itu membuat Airin curiga jika sudah terjadi sesuatu pada prianya. “Sayang, ada apa? Apa sudah terjadi sesuatu?” Airin terdengar begitu khawatir jika Raldo dalam mode silent seperti sekarang. Ini bukan yang pertama, karena pria itu sering melakukannya jika ia merasa sedih maupun kecewa. Dan semua pasti berhubungan dengan orang tuanya yang super otoriter. Airin melepaskan kantung belanjaan yang sejak tadi ia pegang. Menjatuhkannya begitu saja ke atas lantai. Kini jemari lentiknya sudah mengusap lembut punggung sang kekasih yang semakin mengeratkan pelukannya. “Sayang, ceritakan kepadaku, apa yang sudah terjadi? Apa yang mengganggu pikiranmu?” Suara Airin terdengar begitu lembut. Rasa takut dan kawatirnya menghilang seketika. Tidak ada jawaban, hanya embusan nafas Raldo yang terasa begitu hangat menyentuh pundak dan tengkuk gadis mungil itu. Airin memilih membiarkan pria itu memeluknya hingga puas. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres terjadi saat ini. Hampir sepuluh menit mereka terus berdiri berpelukan, hingga akhirnya Raldo mengurai perlahan pelukan mereka. Membebaskan tubuh mungil yang sejak tadi menahan sesak dan sulit bernafas, tapi tetap memilih diam. Airin mendongakkan wajahnya, menatap muka Raldo yang terlihat kusut itu. Telapak tangan Airin meraih tangan Raldo yang besar, menggenggam telapak tangan itu dan menariknya perlahan. “Kemarilah!” ajak Airin sambil menarik Raldo, mengajaknya menuju sofa. Seperti anak kecil pada ibunya, Raldo hanya menurut dan mengikuti Airin yang kini sudah mendudukkan dirinya di atas sofa empuk. Raldo ikut duduk di sampingnya, terus memandang wajah cantik meneduhkan yang kini sedang menatap lembut kepadanya. Airin menangkup wajah tampan kekasihnya dengan kedua telapak tangan. “Katakan padaku, apa yang mengganggumu?” tanyanya pelan. Rasanya Raldo ingin terus bisa menatap wajah lembut itu sepanjang sisa umurnya. Setiap kali membuka mata, maka wajah itu lah yang ingin ia lihat pertama kali. Andai itu bisa terjadi. Mendengar pertanyaan berulang dari mulut sang kekasih, pria itu merasakan dadanya semakin sesak. ‘Bagaimana aku bisa mengatakan semuanya kepadamu? Aku sangat takut kamu pergi dariku. Aku takut kehilanganmu, Honey.’ Batin Raldo lirih. Tidak sanggup bicara banyak, pria itu meraih tengkuk Airin dan mengecup lembut b***r tipis gadisnya. Meluapkan seluruh ketakutan yang kini membayanginya dan membuat dirinya semakin tersiksa. Airin tidak ingin memaksa, ia hanya membiarkan pria itu melakukan apa yang ia inginkan. Hingga c****n mereka terlepas dan Raldo mengusap bibir Airin yang bengkak dengan ibu jarinya. “Honey, berjanjilah kepadaku, apa pun yang terjadi kamu akan tetap berada di sampingku!” pinta Raldo pelan. Membuat kening Airin mengerut. Ini kedua kalinya pria itu terdengar sangat aneh sejak mengetahui jika dirinya akan dijodohkan dengan gadis lain. “Apa yang sebenarnya terjadi, Raldo? Katakan sejujurnya kepadaku!” desak Airin penuh curiga. “Cukup katakan jika kamu tidak akan pernah pergi dariku. Tidak akan pernah meninggalkan aku sendiri, hanya itu Honey, please!” mohon Raldo sambil menyatukan kedua kening mereka. Rasanya tidak sanggup jika ia harus mengatakan apa yang sebenarnya sudah terjadi. Airin semakin curiga, Raldo sudah menyembunyikan sesuatu darinya. Tapi memaksa bertanya hanya akan menyulut api pertengkaran diantara mereka. Hingga gadis itu memutuskan untuk diam saat ini. “Kamu bilang membawakan makanan untukku?” Airin mengalihkan pembicaraan. Raldo mengangguk. “Aku sudah membelikan makanan kesukaanmu. Tadinya berharap jika kita bisa makan siang berdua seperti biasa. Tapi ternyata kamu tidak ada, dan sepertinya makanan itu juga sudah dingin.” Terang Raldo. Airin menjauhkan tubuhnya dan menatap khawatir pada kekasihnya. “Apa tadi kamu belum makan siang?” tanyanya cepat dan benar sekali tebakannya. Pria itu menggeleng lemah. Memang tadi sengaja ingin menikmati makan siang berdua bersama wanita yang ia cintai. Tapi Airin yang tidak ada di apartemen, malah memaksanya menelan pil pahit ditambah rasa lapar yang harus ia tahan sejak tadi. Airin langsung berdiri dari duduknya. Melangkah cepat menuju dapur dan melihat bungkusan makanan yang sengaja Raldo beli untuknya. “Harusnya tadi kamu makan lebih dulu, kenapa malah menungguku?” Airin merasa sangat bersalah saat ini. Ketika menatap makanan yang Raldo beli adalah makanan kesukaannya. Di apartemennya kekasihnya menahan lapar hanya karena ingin makan berdua bersamanya. Sedang tadi ia malah minum es di kedai berdua dengan pria lain. Gadis itu merasa sangat bodoh dan menyesali perbuatannya. Dengan cekatan ia memanaskan makanan yang sudah dingin itu dan kemudian menyusunnya di atas dua piring kosong. Membawa dua piring penuh makanan itu menuju Raldo yang masih duduk di sofa. “Sekarang kita makan, kamu pasti sudah laparkan, Sayang?” Airin memberikan satu piring kepada Raldo sebelum ia ikut duduk di samping pria itu. Raldo tersenyum senang, merasa sangat beruntung mendapatkan perhatian yang hanya bisa ia dapatkan dari wanita kesayangannya itu. Bukan dari orang tua atau yang lainnya. Hanya Airin orang yang selalu menganggap jika Raldo adalah orang yang penting dan pantas untuk diperhatikan. Hanya gadis itu yang mau mendengar pendapat dan segala keluh kesahnya. Hanya dia tempat Raldo berbagi suka duka dan menyayanginya dengan tulus. Lalu bagaimana bisa Raldo membiarkan gadis yang begitu sempurna dimatanya itu untuk lepas dan pergi meninggalkannya? Tidak, Raldo bersumpah tidak akan pernah melepaskan gadis yang hanya akan menjadi miliknya seorang. Raldo menerima piring yang Airin berikan, tersenyum lega karena kini gadisnya sudah bersama dengan dirinya lagi. Menikmati makanan berdua walau sebenarnya rasa laparnya sudah hilang sejak tadi. “Honey, aku sangat merindukanmu. Boleh aku menginap di sini malam ini?” tanya Raldo sambil menatap memohon dengan sangat pada kekasihnya. Wajah Airin memerah seketika, bahkan gadis itu masih saja tersipu malu mendengar ucapan Raldo yang mungkin sudah seribu kali ia dengar. “Hmm, asal kamu janji tidak akan mengganggu tidurku malam ini,” jawabnya sambil pura-pura ketus. “Aku tidak janji, Honey! Bagaimana mungkin kamu memintaku untuk tidur sendiri? Tidak mau! Tidak akan pernah mau berjanji seperti itu. Aku akan mengganggumu, akan selalu mengganggu seumur hidupmu.” Protes Raldo yang tidak setuju dengan syarat yang Airin berikan. *** “Selamat pagi!” sapa Airin yang baru saja masuk ke dalam ruangan meeting setelah dua hari tidak datang. Tentu saja membuat semua orang yang berada di ruangan itu langsung melihat ke arahnya. Tak terkecuali dengan Bayu dan Raldo. Hanya saja kedua pria itu memperlihatkan ekspresi yang sangat jauh berbeda. Bayu tersenyum senang karena Airin memang menepati janjinya untuk kembali bekerja sebagai karyawan di BC Grup, bukan kembali menjadi pelayan restoran. Sedang Raldo menatap murka pada gadis yang sudah menjadi kekasih gelapnya itu selam tiga tahun ini. Padahal semalam mereka baru saja melakukan aktivitas panas berdua, yang membuat Raldo terlihat begitu senang ketika berangkat ke kantor tadi. Tapi kini dirinya malah dibuat terkejut dengan kehadiran Airin yang tidak ia harapkan di ruangan itu. ‘Bukankah aku sudah memintamu untuk mundur, Honey!’ geram Raldo dalam hati, apalagi saat matanya menangkap senyuman di bibir CEO muda saingannya untuk sang pujaan hati. Membuat api cemburu kembali membara dan membakar hatinya. Tangannya menggenggam erat pena yang ada di tangan, bahkan tidak sadar jika ia baru saja mematahkannya jadi dua bagian. Airin duduk di kursi berseberangan dengan Bayu. Bukan berniat, tapi memang hanya kursi itulah yang masih kosong saat ini. Airin tahu jika Raldo pasti sangat marah kepadanya, tapi apa yang Bayu katakan kemarin adalah benar. Semua ini untuk masa depannya sendiri, dan tak mungkin ia terus bergantung pada Raldo meski pria itu mampu menjamin kehidupannya. Airin mencoba bersikap biasa saja dan tidak sedikit pun berani melihat pada kekasihnya yang sedang menatapnya penuh amarah sekarang. Hingga sebuah ketukan pintu memecah kekakuan di ruangan itu. Ketika pintu terbuka, seorang wanita cantik terlihat berjalan masuk ke dalam ruangan. Begitu elegan dan berkelas. Tentu saja mampu menghipnotis semua pasang mata yang berada di dalam ruangan untuk menatapnya tanpa kedip. “Selamat pagi! Maaf bila saya mengganggu, silakan melanjutkan meeting-nya dan anggap saja saya tidak ada. Kedatangan saya hanya untuk menemani seseorang, dan itu adalah calon suami saya!” Seketika tubuh Raldo membeku dan wajahnya terlihat pucat saat matanya menatap wajah cantik yang tengah tersenyum kepadanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD