Sedang di dalam kamar mandi, Airin sengaja mengunci pintu kamar mandi dari dalam. Ia tidak ingin ada orang yang memergoki dirinya sedang menangis saat ini.
Air mata gadis itu kembali mengalir sangat deras. Rasanya d**a Airin begitu sesak, tidak pernah ter bayangkan sebelumnya kalau pria yang sangat ia cinta dan tiga tahun ini mengisi hari-harinya penuh cinta akan bertunangan dengan wanita lain dan bukan dengan dirinya.
Dan yang paling bodoh adalah dirinya sendiri yang menyusun konsep acara pertunangan untuk kekasihnya itu. Kalau tahu pesta itu ternyata pesta untuk Raldo dan wanita yang dijodohkan dengannya, mungkin Airin akan langsung menolaknya sejak awal.
Airin tidak menyangka kalau semua akan terjadi secepat ini. Baru beberapa menit yang lalu Gunawan dan Sinta pergi dari kantor anaknya, sekarang rencana pertunangan sudah mulai dipersiapkan.
Tubuh Airin luruh ke lantai, bersandar di belakang pintu kamar mandi yang terkunci. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil menangis tersedu-sedu. Hatinya hancur dan remuk tak berbentuk lagi, entah bagaimana caranya ia bisa menjalani harinya nanti.
“Tega sekali! Kenapa kamu tega menerima semua ini, Raldo! Tidak bisakah sekali saja kamu menolak kemauan mereka! Kamu pria b******k! Kamu sudah menghancurkan hidupku, impianku, masa depanku!” Airin menangis sejadi-jadinya.
Ia tak mampu lagi membendung rasa sakit di dalam d**a. Rasanya sesak dan membuatnya sulit bernafas. Airin merasa dunianya sudah hancur. Ia mengutuki dirinya sendiri yang terlalu bodoh hingga begitu mudah termakan rayuan yang Raldo ucapkan kepadanya.
Merasa tak kuat lagi, Airin memutuskan untuk izin pulang ke apartemennya. Ia tidak ingin teman-temannya semakin merasa curiga bila melihat matanya yang sembab dan wajahnya yang kacau. Beruntung mas Ardi tidak keberatan dan langsung mengizinkannya pulang karena mengira Airin sedang sakit sekarang.
Gadis itu bergegas pulang, sebelum memancing banyak pertanyaan dari teman-teman rekan kerjanya. Tak seperti biasa, pulang dan pergi naik bus, kali ini Airin langsung menghentikan sebuah taksi yang sedang lewat.
Ia hanya ingin langsung pulang ke apartemennya saat ini, agar bisa menangis sepuasnya di sana. Airin menutup wajahnya dengan masker dan juga kacamata. Membuatnya terlihat sangat aneh.
***
Raldo merasa tidak tenang sekarang. Ia cemas karena Airin tidak dapat ia hubungi sejak tamu investornya pergi tadi. Sudah belasan kali Raldo mencoba menghubungi nomor ponsel gadis itu, tapi hanya operator saja yang menjawab panggilannya.
Puluhan pesan chat yang ia kirim juga hanya centang satu, tanda ponsel gadis itu tidak aktif. Tidak kuat lagi, ia langsung keluar dari ruang kerjanya dan segera turun ke lantai bawah. Pria itu berjalan tergesa menuju ruang karyawan.
Beberapa karyawan dan pelayan di restorannya langsung mengangguk hormat ketika melihat atasannya itu berada di sana. Raldo mengacuhkan pandangan sekeliling, yang saat ini sepertinya semua mata tertuju kepadanya yang tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan pekerja.
Raldo mengedarkan pandangannya, menyapu sekeliling ruangan. Namun tidak menemukan orang yang sedang ia cari keberadaannya. Semua itu membuat Raldo merasa semakin cemas. Mas Ardi yang juga masih berada di ruangan itu langsung berdiri dan menghampiri atasannya itu.
“Tuan Raldo, tumben sekali Anda datang ke sini? Apa ada yang bisa saya bantu?” tanya Mas Ardi dengan sopan.
Raldo langsung menjatuhkan pandangannya pada pria yang sedang berdiri di depannya itu. “Mana Airin?” tanya Radlo terus terang.
Ia sudah tidak tahan bila harus berbasa basi lagi. Tidak bisa menemukan Airin saja sudah membuat jantungnya berpacu kencang, takut terjadi sesuatu dengan gadis itu. Apalagi kalau sampai Airin akhirnya memutuskan hubungan mereka, bisa-bisa jantung Raldo langsung berhenti berdetak. Ia lebih baik mati dari pada kehilangan gadis yang ia cinta.
“Airin, Tuan?” tanya Mas Ardi heran, kenapa bos besarnya itu mencari Airin yang karyawan biasa.
“Airin baru saja izin pulang, Tuan! Sepertinya sedang tidak enak badan!” jawab Mas Ardi kemudian.
“Airin sakit?” ulang Raldo sambil mengerutkan keningnya.
“Tapi tadi saat di ruanganku sepertinya dia baik-baik saja, bagaimana mungkin bisa langsung sakit secepat ini? Atau jangan-jangan ...,” pikiran Raldo semakin tidak karuan saja.
“Tuan? Kalau Tuan butuh sesuatu, masih banyak karyawan yang lain yang bisa menggantikan Airin!” kata Mas Ardi, membuat Raldo tersadar dari lamunannya.
Tanpa mengucap satu kata pun, Raldo langsung berbalik dan keluar dari ruangan itu. Membuat Mas Ardi bertanya-tanya, kenapa Raldo mencari Airin dan langsung pergi ketika mendengar gadis itu sudah pulang?
“Jangan-jangan Airin sudah berbuat salah sampai Tuan Raldo sendiri langsung turun dan mencarinya!” gumam Mas Ardi merasa cemas.
Raldo tak memperdulikan pandangan sekeliling. Ia langsung keluar dari restoran menuju mobilnya yang terparkir di tempat parkir. Pikirannya sangat kacau dan ia merasa resah sekarang.
Begitu mesin mobil menyala, Raldo langsung menginjak pedal gasnya sangat dalam, membuat mobil yang ia kendarai melaju kencang membelah jalanan kota siang hari yang tidak terlalu ramai hari ini.
Yang terlintas di pikiran Raldo saat ini, hanya ingin secepatnya bertemu dan melihat keadaan Airin. Masalah perjodohan itu, akan ia pikirkan lagi nanti. Sekarang Airin lebih penting dibanding segalanya.
Dua puluh menit berlalu, akhirnya mobil yang Raldo kendarai sampai juga di halaman apartemen yang Airin tempati. Gadis itu dulunya menyewa sebuah kamar kost yang terletak tidak jauh dari restoran tempatnya bekerja.
Namun sejak menjalin hubungan dengan Raldo, pria itu membelikan sebuah kamar apartemen untuk dirinya tinggal. Bukan hanya agar Airin bisa tinggal di tempat yang lebih nyaman, tapi juga Raldo bisa lebih bebas bila ingin datang dan melepaskan rindu pada kekasihnya itu.
Dulu ketika Airin masih tinggal di tempat kost, Raldo tidak bisa menemui gadis itu sesuka hatinya. Jangankan untuk bertamu lama-lama, masuk ke dalam kamarnya saja Raldo dilarang keras.
Walaupun sebenarnya pria itu mampu membelikan apartemen yang mewah untuknya, tapi Airin lebih memilih apartemen sederhana tapi terasa begitu nyaman untuk ia tempati seorang diri. Apalagi saat kekasihnya itu datang berkunjung, Airin akan merasa sangat bahagia bila bisa menghabiskan malam panjang berdua bersamanya.
Raldo segera memarkirkan kendaraannya. Pria itu terlihat sangat tergesa turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam lobi apartemen. tak ingin membuang banyak waktu, Raldo langsung menuju pintu lift yang terbuka, padahal saat itu resepsionis yang bertugas sedang menyapanya ramah. Ditekan tombol angka dimana kamar Airin berada, dia sangat hafal dengan tempat itu saking seringnya datang berkunjung.
Akhirnya sampai di lantai yang ia tuju, setengah berlari Raldo langsung menuju kamar tempat Airin berada. Tidak perlu susah menunggu pintu dibuka, Raldo yang hafal berapa nomor pin untuk membuka pintu itu segera menekan tombol-tombol angka yang ada di sebelah handel pintu. Pintu pun terbuka, pria itu langsung berhambur masuk tanpa permisi pada si pemilik ruangan.
“Airin! Airin!” Seperti orang kesetanan, Raldo berteriak-teriak di dalam ruangan apartemen memanggil nama kekasihnya sambil kepalanya mencari di mana keberadaan gadis itu.
Nihil, ruang tengah dan juga ruang makan kosong, tidak ada orang di sana. Hanya ada satu tempat lagi yang belum ia periksa, kamar tidur yang biasanya menjadi tempat favoritnya ketika datang berkunjung.
Raldo berjalan tergesa mendekat ke pintu kamar yang tertutup rapat. Ia mencoba memutar gagang pintu beberapa kali, tapi tetap saja tidak mau terbuka. Sepertinya benar gadis itu berada di dalam ruangan itu dan sedang mengunci dirinya dari dalam.
Raldo menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, berusaha menenangkan dirinya sendiri sebelum tangannya mengetuk pintu kamar.
“Airin, buka pintunya sayang! Ini aku, Raldo! Aku ingin bertemu denganmu!” bujuk Raldo dengan suara yang lembut.
Hampir tiga kali ia mengetuk pintu itu sambil tetap memanggil nama Airin, agar gadis itu mau membukakan pintu kamar untuknya. Tapi bukannya pintu yang terbuka, malah teriakan serta makian yang ia dengar dari dalam kamar itu.
“Pergi! Dasar kamu pria b******K, untuk apa kamu datang ke sini lagi! Pergi saja pada wanita yang akan segera bertunangan denganmu! Jangan temui aku lagi!” teriak Airin, gadis itu terdengar sangat marah dan juga sedang menangis.
Tubuh Raldo langsung menegang ketika mendengar perkataan yang Airin teriakan barusan. Bukan karena gadis itu berteriak, tapi karena ketakutannya tadi menjadi kenyataan. Gadis itu sangat marah mengetahui kalau dirinya akan segera bertunangan. Bagaimana kalau Airin memilih untuk pergi darinya nanti?
“Airin, dengarkan aku dulu! Aku bisa jelaskan semuanya kepadamu! Tapi aku mohon, tolong buka dulu pintunya, setelah itu kita bisa bicara baik-baik!” rayu Raldo agar Airin mau membukakan pintu kamarnya.
“Tidak mau, kamu pembohong! Pergilah! Pergi ke tempat tunanganmu berada! Jangan mencariku lagi! Hubungan kita sudah berakhir!” suara teriakan Airin terdengar putus asa.
Lagi-lagi kata ‘berakhir’, padahal sudah berulang kali Raldo melarangnya untuk jangan pernah mengatakan kata-kata yang paling ia benci itu. Tapi sepertinya Airin mengulangi lagi dan lagi, membuat emosi Raldo langsung memuncak. Ia benci bila harus berpisah dengan gadis itu.
“BUKA PINTUNYA SEKARANG, ATAU AKU DOBRAK KALAU KAMU MASIH BERSIKERAS MENGUNCINYA!" teriak Raldo dengan nafas yang sudah naik turun sambil menggedor pintu kamar dengan kepalan tangannya.
Bahkan kini wajahnya terlihat sangat merah menahan rasa marah dalam d**a.