9. Wanita Teraneh

1300 Words
Daren melempar tubuhnya ke ranjang. Sedikit sempoyongan karena pengaruh alkohol yang diminumnya malam ini, tapi setidaknya ia tidak semabuk terakhir kali yang harus diseret kedua sahabatnya karena membuat keributan di bar langganannya itu. Pria itu menarik napasnya banyak-banyak, menghembuskannya kasar sambil mengusak wajah dan rambutnya gamang. Terlalu banyak yang ada dipikirannya belakangan ini, hingga Daren tidak tahu mana yang harus ia utamakan dari semuanya. Tentang Lily, tentang restu ayahnya, tentang perjodohan, dan kini ditambah lagi dengan adanya wanita aneh yang digadang-gadang akan menjadi calon istrinya. “Calon istri? Papa pasti udah gila milihin gue calon istri macem cewek itu.” Dengus Daren benar-benar tidak habis pikir dengan penilaian papanya terhadap seorang wanita. Well, sebenarnya itu bisa dimaklumi, karena sepertinya papanya tidak tahu kalau wanita itu memiliki kepribadian dan cara pikir yang aneh. Bisa dilihat sikapnya di depan para tetua yang seolah mengedepankan image baik sebagaimana wanita berpendidikan dan berstatus tinggi pada umumnya. Tapi dibalik semua itu? “Gue rasa tuh cewek punya dua kepribadian. Bisa-bisanya dia dengan entengnya bikin penawaran kayak gitu?” Daren menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatap langit-langit kamar. Untuk kesekian kali masih tidak percaya kalau dirinya bertemu dengan seorang wanita yang sepertinya terlalu banyak menonton drama. *** “Me—apa? Menarik lo bilang?” Daren tidak bisa menyembunyikan keheranannya pada pilihan kata yang Cliar keluarkan. “Hm, menarik. Dengan gitu kita selesaiin masalah masing-masing. Lo dengan urusan lo sama cewek yang lo idam-idamkan, gue selesai dengan desakkan Papa untuk nikah dengan manusia pilihannya.” Lihat, betapa randomnya wanita di sampingnya ini. Tadi Clair menggunakan kata “menarik” untuk mengambarkan hubungan sakral berlandaskan penikahan, lalu sekarang alih-alih menggunakan kata “laki-laki” atau “pria” yang lebih spesifik, wanita itu malah menggunakan “manusia” sebagai kata pilihannya? Daren berusaha mengendalikan emosinya, merenggakan saraf-saraf lehernya yang tegang dengan menggerakan kepalanya agar aliran darah tidak serta-merta membeku atau mungkin bahkan meluap di sana. “Lo pikir pernikahan macam game yang bisa lo mainin dengan goals masing-masing? Lo sadar nggak sih arti dari pernikahan sendiri itu apa?” “Tahu. Tentu gue tahu. Tapi pernikahan orang lain dan yang bakal kita jalanin jelas-jelas dasarnya aja udah beda, kan? Orang lain nikah karena mereka cinta satu sama lain, sementara kita? Dari awal juga alasannya udah beda, karena bisnis, karena tuntutan orang tua, karena kewajiban dan peraturan konyol dalam keluarga macam kita yang mengharuskan dan ngatur hal-hal macam ini. Jadi, kenapa kita harus terpaku sama goals yang sama dengan dasar pernikahan orang pada umumnya?” Yah, itu memang benar. Kenyataan. Tapi tetap saja, yang wanita ini katakan itu terlalu… “Nggak ada peraturannya juga yang bilang dalam pernikahan kita harus punya goals yang sama. Apa salahnya manfaatin keadaan? Dan itu yang coba gue lakuin, dari pada perjodohan yang udah pasti terjadi dalam hidup kita ini di bawa stress dan pusing, kenapa nggak dicari manfaatnya aja?” Luar biasa. Sangat luar biasa. Haruskah Daren bertepuk tangan karena statement super positif yang baru saja didengarnya itu? Sepertinya Daren bisa menobatkan Clair sebagai sosok yang memiliki pikiran paling positif yang pernah ditemuinya abad ini. “Kayaknya di mata lo semua kelihatan sesepele dan segampang itu, ya? Apa lo nggak pernah ngadapin situasi di mana lo pusing mikirinnya setengah mati? Lo nggak pernah ngadepin situasi di mana lo nggak bisa mikir positif sedikitpun?” Clair mengerjap beberapa kali membalas tatapan tajam Daren padanya, tidak langsung menjawab memang, tapi detik berikutnya wanita itu dengan ringan mengatakan. “Hm, kayaknya nggak pernah.” Daren melemparkan pandangannya dari Clair lagi. Pria itu nampaknya benar-benar kehilangan kata-kata menghadapi wanita di sampingnya itu. “Dan lo pikir gue bakal setuju dengan tawaran lo ini?” “Kenapa nggak? Toh kita sama-sama diuntungin, kan?” Kedua bahu Clair terangkat acuh tak acuh. “Jangan kebanyakan nonton drama. Lo pikir rencana lo itu bakalan berjalan mulus dan sesuai sama apa yang lo bilang tadi? Siapa perempuan yang mau dikejar sama laki-laki yang udah nikah? Terutama Lily, dia jelas malah bakal makin menghindar dari gue. Lily perempuan baik-baik, sangat baik bahkan sampai nggak akan ngerusak nama baik siapapun atau nyakitin siapapun meski dia nggak kenal orang itu. Jadi—” “Siapa yang merasa nama baiknya bakal dirusak? Dan siapa yang menurut lo tersakiti di saat kita sama-sama sepakat soal ini? Oh, soal status. Lo bisa bilang ke cewek lo itu—siapa namanya? Ah, Lily! Lo bisa bilang ke Lily kalau pernikahan kita cuma sebatas status supaya kita bisa bebas dari tuntutan keluarga kita masing-masing, gue nggak masalah, selama si Lily itu nggak bocorin sama siapapun dan bisa jaga rahasia kita berdua.” Kedua mata Daren menyipit, kontras dengan saraf-saraf wajahnya yang lain terlihat kehilangan fungsinya untuk membentuk sebuah ekspresi. “Cewek gila.” Gumam pria itu tanpa berniat sama sekali menyembunyikan umpatannya. “Huh?” “Lo gila. Lo pasti udah gila, kan? Coba lo periksa otak lo dulu sana, apa masih ada sisa-sisa kewarasan yang bisa bikin lo berpikir lebih wajar dibanding apa yang gue denger lebih dari 10 menit terakhir ini.” “Kenapa? Bagian mana dari omongan gue yang nggak kedengaran masuk akal? Justru apa yang gue bilang dari tadi itu bentuk dari realitas berpikir, kan?” Daren mengangguk kecil, meski anggukkannya itu jelas bukan bentuk dari persetujuan atas kalimat yang Clair utarakan. Tidak. Anggukkan Daren sama sekali bukan dalam bentuk itu, melainkan sindiran sarkas dengan sebuah reaksi tubuh yang bisa ia berikan. “Realitas berpikir? Realitas berpikir yang luar biasa. Itu yang lo mau? Pujian itu yang mau lo denger?” “Gue nggak—” “Sayangnya gue nggak berpikir hal yang sama. Sorry, buat gue semua omongan lo itu kedengaran kayak omong kosong yang cuma lo bisa jadiin kenyataan di dunia khayalan lo sendiri. So, silakan lo cari partner drama lo yang lain, jangan bikin gue terlibat sama hal konyol kayak gini.” Bukannya merasa terintimidasi dengan penolakan Daren itu, Clair justru tetap terlihat biasa saja. Masih tampak santai bahkan sempat mengangkat kedua bahunya acuh. “Lo yakin? Nggak akan nyesel nolak—” “Nggak.” “Nggak akan dateng ke gue dan tiba-tiba narik omongan lo terus—” “Nggak akan.” “So, lo bakal bilang ke bokap lo kalau lo nolak—” “Hm, gue bakal bilang sama Papa kalau gue nolak perjodohan sama lo. Kalau perlu gue yang datengin Om Wira langsung dan bilang baik-baik sama beliau.” Clair tersenyum tipis, mengangguk-angguk kecil. “Yah, kalau lo sepercaya diri itu bisa ngelakuinnya… silakan.” Hah… rasanya Daren sudah menghabiskan waktunya sia-sia hanya untuk membicarakan hal konyol macam ini dengan wanita di sampingnya itu. “So? Nggak ada lagi yang mau lo omongin, kan? Lo bisa keluar dari mobil gue dan cari taksi sendiri buat pulang ke rumah?” “Hm. Tentu gue bisa.” Tanpa protes atau merengek seperti wanita umumnya yang biasa digambarkan jika dalam situasi macam ini, Clair justru dengan ringan dan tanpa beban menyetujui ucapan Daren itu segera. Bahkan tanpa menunggu diperintah lagi, Clair benar-benar sudah membuka pintu mobil Daren dan turun dari kendaran pria itu. Cliar tidak mengucapkan salam perpisahan, maaf atau terima kasih yang mungkin dibutuhkan. Tidak. Wanita itu sama sekali tidak mengatakannya. Clair benar-benar keluar begitu saja setelah dirinya mengatakan bahwa ia bisa melakukan apa yang Daren katakan, dan setelahnya? Daren memandangi sosok wanita itu dari kaca spionnya. Bagaimana Clair memberhentikan taksi yang melintas dan menaiki taksi yang berhenti setelahnya, lalu taksi itu meninggalkan mobil Daren yang masih terparkir di sana entah dengan alasan apa. Bukan. Daren yakinkan dirinya masih di sana bukan karena khawatir atau apa pada wanita itu. Bukan juga untuk memastikan wanita itu pulang dengan aman sampai menemukan taksi yang melintas. Daren yakin bukan karena itu. Dirinya mungkin hanya heran, masih heran bahwa bisa menemukan wanita aneh macam Clair Soedibjo yang beberapa menit lalu masih duduk di sampingnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD