8. Kualifikasi Terburuk

1349 Words
“Kenapa jadi Mama yang malah keluarin unek-unek Mama? Mama kan telepon mau dengerin kamu, Clair. Mau denger kamu yang cerita.” Keluh ibunya tak lama kemudian. Atmosfer dalam percakapan beda benua itu kini terdengar lebih ringan, kembali seperti awal Clair menerima telepon dari ibunya tadi, tidak seberat beberapa menit sebelumnya. “Ayo bilang sama Mama, apa yang buat kamu merasa buruk, hm? Kenapa dia? Kayak apa memang orangnya? Bau kaki? Bau mulut?” “Mama pikir Papa bakal cariin aku calon suami yang kayak gitu?” Clair meringis, membayangkan apa yang dikatakan ibunya. “Ya makanya, kamu ini. Dari tadi Mama tanya tapi kamu malah bikin Mama ngomong muter-muter.” Clair tersenyum tipis, menggaruk dahinya bingung. Apa iya dirinya akan menceritakan mengenai Daren yang sudah memiliki wanita lain yang pria itu cintai? Dan Clair menawarkan sebuah kebebasan untuk Daren mengejar wanita itu jika bersedia menikah dengannya? Clair pasti dikatai ibunya gila, dia yakin itu. Tapi memang salahnya sendiri sih, karena terlalu mumet pikirannya, begitu ditanyai oleh sosok yang paling bisa mendengarkannya, Clair dengan lepas saja mengatakan isi hatinya. Pada akhirnya Clair yang bimbang sendiri, apa harus menceritakan kebenarannya atau tidak. “Clair, Mama masih nunggu…” “Ah itu, Ma. Maksud Clair, ya buruk karena sikapnya dingin banget. Sama kayak Papa, makanya Clair bilang begitu. Refleks inget Papa.” Ucap wanita itu akhirnya, separuh berbohong dan separuh tidak, meski ucapannya berakhir seperti menjelek-jelekan papanya sendiri. Well, walaupun itu benar. “Kayak Papa? Beneran kayak Papa kamu banget? Mama beneran telepon Papa untuk cari yang lain aja apa? Mama kok ngeri—” “Ma, jangan mulai lagi. Itu kan cuma first impression aku ketemu dia, belum tentu dia beneran kayak gitu juga, kan? Siapa tahu dia cuma jaim, nanti pas kenal mungkin orangnya lebih asik. Kami baru ketemu sekali, Ma. Sekali… Jadi ya Clair masih bisa maklumin.” Untuk beberapa saat Clair tidak mendengar tanggapan dari ibunya, dugaan Clair sih, wanita di seberang sana tengah mencerna ucapannya, tapi kalau sudah diam seperti ini sebenarnya ibunya itu biasanya setuju dengan ucapannya. “Kamu yakin?” “Hm.” “Nggak lagi bohong sama Mama cuma buat bikin Mama nggak khawatir, kan?” “Memang aku pernah diem-diem bikin Mama khawatir?” Pernah, pasti pernah. Makanya ibunya di seberang sana tidak menjawab pertanyaan Clair itu. Alih-alih menjawab, beliau malah mengalihkan Clair dengan pernyataan lain. “Pokoknya kalau ada apa-apa sama orang itu, kamu harus bilang sama Mama. Biar Mama yang bicara sama Papa kamu kalau memang kamu nggak ngerasa cocok sama pilihan Papa kamu itu, Clair. Mama mau kamu menikah untuk pertama dan terakhir, Mama mau kamu bahagia kayak nenek dan buyut-buyut kita meski dalam sebuah pernikahan perjodohan. Mama mau—” “Iya… Clair tahu, Ma. Clair ngerti. Kita udahin aja ngomongin soal cowok itu, ya? Ngomong-ngomong, badan Clair udah gatel nih, mau mandi dulu abis itu tidur. Nggak apa-apa kalau Clair matiin teleponnya.” Luna yang melihat jam dinding di rumahnya seketika sadar bahwa waktu yang ada di tempat putrinya sudah menunjukan larut malam, dan yah, seperti yang Clair bilang, ia butuh istirahat. Maka dari itu Luna langsung menyetujui ucapan putrinya itu, mengucapkan selamat malam dan selamat istirahat sebelum sambungan telepon mereka benar-benar terputus. Begitu telinganya menyambut keheningan, Clair melepaskan earphone yang terpasang di sana dan meletakannya begitu saja di mana telapak tangannya mendarat di atas ranjang itu. Wanita itu memandang datar langit-langit kamarnya, menarik napasnya panjang sebelum dihembuskan berat. Mengingat lagi hal-hal buruk yang ibunya katakan mengenai kualifikasi seorang calon suami, Clair pikir sebagian mungkin ada pada Daren dan sebagiannya lagi tidak. Dingin seperti ayahnya memang bisa dibilang buruk, tapi setidaknya yang Clair tahu mengenai papanya adalah—beliau mencintai ibunya bagaimanapun hubungan mereka sekarang. Hm, Wirandi Soedibjo mencintai Laluna Irawan. Itu satu hal pasti yang Clair tahu. Sementara Daren? Pria itu mencintai wanita lain, terlihat sangat mencintainya hingga Clair sendiri tidak yakin bisa mengubah arah hati pria itu meskipun mereka menikah. Walaupun Clair menawarkan sebuah kesepakatan yang bisa dibilang menguntungkan keduanya, tapi apa ada yang lebih buruk dibanding menikahi seorang pria yang mencintai wanita lain? Apa ada yang lebih buruk dari itu? Clair rasa meskipun ada, pria yang sudah memberikan hatinya pada wanita lain tetap masuk dalam kategori kualifikasi calon suami terburuk yang ia tahu. Sebab tidak ada yang tahu hari esok, tidak ada yang tahu bagaimana hatinya bergerak untuk pria itu. Hanya saja biasanya dalam hal ini, perasaan perempuanlah yang lebih banyak dirugikan. Clair mungkin bisa dengan lantang mengatakan bahwa dirinya tidak masalah dengan perasaan yang Daren miliki untuk orang lain? Malah memanfaatkan perasaan pria itu untuk membuatnya bebas dari tuntutan sang Ayah mengenai sebuah pernikahan. Memanfaatkannya agar pria itu bersedia menikah dengannya. Tapi nanti? Clair bahkan tidak ingin membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Wanita itu tidak berani membayangkannya karena ia tidak ingin hidup di waktu yang belum ia tahu apakah masih ada dirinya di sana atau tidak. *** “Mas Daren? M-Mas Daren dateng sendiri? Nggak sama Mas Alfa atau Mas Melvin?” Bartender di tempat yang biasa Daren datangi menyambut kedatangan pria itu dengan berbagai pertanyaan. Pertanyaan yang sebenarnya bisa dibilang tidak sopan, tapi karena mereka memang sudah kenal lama jadi Daren tidak bisa mengkritik pemuda itu. Daren tahu mengapa Bastian bertanya macam itu, Daren tahu itu tak lebih dari kekhawatiran Vino padanya. “Saya nggak berencana mabuk hari ini, Tian. Jadi kamu tenang aja. Cuma minum sedikit, hilangin mumet karena habis ketemu cewek aneh dan nggak waras.” Ucap Daren sambil mengisyaratkan pada bartender itu untuk memberinya minuman dengan kadar alkohol yang rendah malam itu. Sebenarnya, Daren memang bukan kategori pria yang suka mabuk-mabukan. Pria itu memang sering datang ke bar itu, untuk minum tentu saja, tapi hanya sekadar melepas penat, tidak sampai mabuk atau sangat mabuk. Kalaupun ada kejadian seperti beberapa waktu lalu saat dirinya membuat sedikit kekacauan di sana, itu ya karena pikirannya sedang dalam batas krisisnya saja—krisis karena cintanya bertahun-tahun pada seorang wanita ditolak dengan alasan yang menurutnya tidak bisa Daren terima. “Cewek aneh? Nggak waras?” Bastian sedikit memancing, mencoba mencari tahu jika pelanggannya itu tengah membicarakan wanita yang sama seperti yang digalaukannya kemarin atau orang lain. “Hm, cewek aneh dan nggak waras yang bikin saya sakit kepala karena buang waktu dengerin semua omongannya.” Daren mengambil gelas bir yang Bastian sodorkan padanya, menatap gelas dengan cairan berbusa di atasnya itu sebelum meneguknya separuh. “Uum… rekan kerja Mas Daren di kantor?” Kulik Bastian lebih jauh. “Bukan, ini sama sekali nggak ada hubungannya sama kerjaan—oh, apa ada? Soalnya dia jelas-jelas objek yang bisa bikin bisnis keluarga saya makin besar.” Dahi Bastian berkerut mendengar penjabaran Daren. Pria itu memang tidak bisa mengerti apa yang orang-orang kaya macam Daren, Al, Melvin, dan Rafael jalani dalam hidupnya. Tapi dari ucapan Daren itu, Bastian bisa menyimpulkan, kalau wanita yang Daren bicarakan bukan wanita yang sama dengan sosok yang membuat Daren mabuk berat beberapa waktu lalu. “Jangan sampe deh, jangan sampe kamu ketemu sama perempuan macam dia, Tian. Saya jamin kamu juga bakal dibuat pusing dengan logika dan semua omongannya.” “Hm?” “Perempuan itu, dia bener-bener bakal bikin kamu speechless kalau denger apa yang dia omongin sama saya beberapa jam lalu. Jangan sampai kamu terlibat sama perempuan macam itu.” Bastian tersenyum tipis mendengar pria di hadapannya telihat begitu kesal namun di saat yang bersamaan masih membayangkan bahkan mengingat apa yang dialaminya bersama wanita yang sedang ia bicarakan kini. “Seenggaknya menurut saya wanita yang Mas Daren bicarain itu kedengaran punya kepribadian yang menarik.” Daren menelan bir yang masuk ke tenggorokannya buru-buru, menyambar ucapan Bastian yang tidak bisa ia terima. “Hah? Menarik dari mananya? Saya kan udah bilang kalau dia itu cuma bikin pusing dengan—” “Buktinya Mas Daren masih mikirin wanita itu, ngeluhin wanita itu padahal udah beberapa jam berlalu sejak kalian ketemu, bukannya itu artinya Mas—” “Tolong bir-nya satu!” Kalimat Bastian terpaksa terputus, karena ada pengunjung lain yang membutuhkan pelayanannya. Bastian langsung menaruh perhatiannya untuk memenuhi pesanan pelanggan itu, meninggalkan Daren yang terdiam karena ucapan tak tuntas Bastian padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD