“Hallo?”
“Hai, sayangnya Mama! How are you?”
Clair menarik napas panjang mendengar suara ibunya itu. Perasaan bebas dan lega setiap kali Clair bisa mendengar atau bersamannya. Wanita itu melempar tubuhnya ke ranjang, masih dengan earphone yang menempel di telinga sementara ponselnya sudah tergeletak tak berdaya tak jauh dari tangannya yang terbuka lebar di sana.
“Awful.” Timpal Clair seadanya.
“Eh? Kenapa? Bukannya hari ini kamu katanya ketemu sama calon suami kamu itu?” Respons sang ibu dari seberang sambungan, terdengar terkejut juga heran di saat yang sama.
“Iya, memang ketemu.”
“Terus? Kenapa memangnya? Calon suami pilihan Papa kamu jelek? Nggak menarik? Sifatnya buruk? Nyebelin?” Sang Ibu mulai mengoceh, anehnya, Clair selalu menyukai ocehan ibunya itu. Tidak seperti anak lain, Clair selalu merindukan saat-saat sang ibu menghubunginya, karena Clair tahu kesempatannya untuk bertemu dengan sang Ibu tidak bisa lebih banyak sejak bertahun-tahun lalu.
“Nggak. Bukan begitu, Ma. Ada beberapa dari yang Mama bilang itu bener sih, cuma bukan buruk dalam segi itu.”
“Hng? Apa maksud kamu, Sayang? Mama kok nggak ngerti. Ah, apa Mama perlu hubungin Papa kamu dan bilang cari calon yang lain aja?”
Terdengar aneh saat ibunya mewanti-wanti Clair terlebih dulu saat akan menghubungi ayahnya, kan? Padahal, kalau beliau mau beliau jelas bisa menghubungi pria itu sesukanya—kalau beliau mau. Hanya saja, dalam hal ini situasi ibu dan ayahnya tidak sesederhana itu. Mereka dalam waktu yang lama bisa dibilang sudah tidak menghubungi satu sama lain jika bukan karena sesuatu yang sangat, sangat, sangat penting. Selebihnya? Kedua orang tua Clair itu seperti orang asing, benar-benar semacam tidak memiliki hubungan sama sekali.
Hhm… bagaimana Clair mengatakannya? Mereka tidak bercerai, tapi seperti orang yang memang bercerai. Keduanya memilih untuk hidup terpisah sejak Clair menginjak usia 20 tahun, usia Clair yang menurut Papa dan Mama-nya cukup dewasa untuk menerima perpisahan kedua orangtuanya.
Secara status Luna—nama Ibu dari satu orang putri, Clair Soedibjo—bisa dibilang masih menjadi bagian dari keluarga besar Soedibjo, tapi secara fisik maupun hati, wanita paruh baya itu sudah tidak lagi menganggapnya begitu, dan itu disepakati oleh pria yang menjadi pasangannya lebih dari 20 tahun, yang mana tidak lain adalah Papa Clair, Wirandi Soedibjo.
Rumit? Memang? Maka dari itu Clair juga tidak ingin memikirkan bagaimana rumitnya hubungan Papa dan Mama-nya itu. Clair hanya perlu menerima, bahwa ibunya ingin hidup bebas dan mengejar mimpinya untuk menjadi salah satu photographer lepas di Eropa. Jalan hidup yang harus dikorbankannya ketika menikah dengan Papa Clair dan menjadi ibu rumah tangga sebagaimana yang keluarga Soedibjo harapkan hingga di usia pertengahan 40-annya.
Mengejar mimpi di usia 40 tahun lebih? Terdengar menggelikan, tidak masuk akal, dan sedikit menyedihkan memang, tapi yang Clair salut dari sang ibu adalah—bahwa beliau tidak pernah malu, tidak ragu, juga tidak takut dengan apa yang orang lain katakan mengenai apa yang ditekuninya sekarang. Selama hal itu tidak membuatnya mati dalam penyesalan, Luna sama sekali tidak merasa salah dengan jalan yang ia ambil.
“Clair? Sayang? Kamu masih di sana?” Panggilan sang ibu yang masih memenuhi telinga menyadarkan Clair dari lamunannya mengenai hubungan kedua orangtuanya yang tidak pernah habis jika dipikirkan. Clair menggelengkan kepalanya, mengembalikan kesadarannya kembali.
“Hm, aku masih di sini.”
“Ya Tuhan, Mama pikir Mama ditinggal tidur lagi sama kamu.”
“Nggak kok, aku belum ngantuk. Maaf, tadi ada email dari kantor jadi aku baca dulu. Mama bilang apa sebelumnya?” Sedikit kebohongan kecil, agar ibunya tidak khawatir mendengar putrinya masih menyayangkan hubungan kedua orangtuanya yang rumit di usia Clair yang bisa dibilang sudah sangat cukup dewasa untuk menerimanya.
Dua puluh delapan tahun, dengan perpisahan orangtuanya yang sudah berjalan lebih dari delapan tahun. Waktu yang sebenarnya sangat panjang untuk menerima kenyataan itu dan tidak seharusnya memikirkan mengenai itu lagi. Tapi nyatanya bagi Clair, waktu tidak pernah bisa membuatnya sangat bahagia dengan perpisahan kedua orangtuanya. Tapi Clair tahu itu akan membuat orangtuanya sulit jika mereka mengetahui bahwa dirinya merasa demikian, terutama sang ibu. Maka dari itu, Clair hanya berusaha untuk menerima dan memahami dari sudut pandang kedua orangtuanya, membiarkan mereka yang bahagia.
“Eeeiii… kamu ini apa nggak terlalu banyak kerja, Clair? Mungkin seharusnya Mama ngelahirin satu anak laki-laki biar bisa bagi beban yang Papa kamu kasih ke kamu sekarang?”
Clair mendengus, memutar bola matanya malas. Ibunya ini, kadang memang suka sekali mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal.
“Ya udah, Mama pulang aja, bikin adek baru buat aku sekarang, biar bebanku nggak sebanyak ini.”
Suara tawa terdengar dari seberang sambungan, tawa renyah yang juga Clair rindu untuk bisa melihatnya secara langsung.
“Hahaha, kamu pikir Mama masih bisa hamil? Udah menopause gini masih disuruh ngelahirin? Ada juga giliran kamu yang hamil dan ngelahirin. Kasih keturunan buat keluarga Soedibjo, makanya Papa kamu desak kamu buat nikah cepet-cepet, kan?”
Yah, mamanya benar. Clair tidak bisa membantah soal itu.
Untuk sesaat sambungan telepon itu diisi dengan keheningan, setelah kekehan yang keluar dari mulut kedua wanita berbeda waktu dan tempat itu. Hingga…
“Clair, Mama beneran akan bilang sama Papa kalau kamu memang belum siap buat semuanya. Mama nggak ada secara fisik di sana sama kamu beberapa tahun ini, itu memang benar, tapi kamu tahu pikiran dan hati Mama selalu sama kamu, kan? Kamu selalu ada dalam doa-doa Mama, dan Mama mau yang terbaik buat kamu. Jadi apapun, kalau memang Mama bisa, Mama akan bantu semampu Mama untuk ringankan beban kamu, Sayang. Jadi bilang aja sama Mama apa yang kamu mau dan apa yang bisa Mama bantu.”
Clair tersenyum, senyum terima kasih yang sayangnya tidak bisa ia perlihatkan pada ibunya saat ini. Tidak, kalau Clair melakukan video call dengan sang ibu, Clair takut dirinya justru akan menangis tanpa alasan yang benar-benar pasti. Atau dengan kata lain, tangis yang Clair sendiri tidak tahu apa penyebab pastinya.
“It’s okay, Mam. Aku bukannya menentang soal perjodohan ini kok, toh Mama juga ngalamin hal yang sama begitu pun sama nenek dan buyut-buyut di atas kita. Aku sama sekali nggak masalah, malah kalau bukan karena dijodohin aku nggak yakin kalau aku akan nikah dengan siapapun. Jadi ya…”
“Terus kenapa, Sayang? Kenapa tadi kamu bilang buruk? Sangat buruk bahkan. Mama khawatir lho kalau kamu bikah bukan dengan pria yang benar-benar tepat buat kamu. Maksud Mama, jangan sampai kamu ngalamin hal yang sama kayak Mama dan Papa, Clair… Makanya—”
“Ma, waktu Mama nikah sama Papa memang Mama tahu kalau Mama sama Papa bakalan kayak sekarang? Jelas nggak, kan? Pelarian Mama bukan sesuatu yang Mama rencanain dari awal, kan? Jadi kenapa Mama harus bilang kayak gitu? Aku pikir Mama nggak nyesel dengan pilihan Mama, bukannya itu yang Mama bilang sama orang-orang? Selama yang Mama lakuin nggak ngerugiin orang lain, selama Mama nggak berandai-andai soal mimpi Mama di usia senja Mama, Mama bilang bukan masalah, kan? Bukan sesuatu yang harus Mama sesali.”
Benar, Luna memang mengatakan itu pada semua orang. Sebagai dirinya, sebagai seorang pribadi, individu—tapi kalau boleh jujur, sebagai seorang Ibu, pasti ada sesuatu yang Luna sesalkan. Ada sesuatu yang Luna sesali karena tidak bisa menjadi seorang ibu yang sempurna untuk Clair. Penyesalan tidak bisa menjadikan Clair hidup dengan dua orang tua yang utuh bersama-sama. Penyesalan terbesar karena tidak bisa menemani putrinya di sisi wanita itu di waktu-waktu terburuk. Penyesalan yang selalu Luna simpan jauh di dalam lubuk hatinya.
“Maka dari itu, Mama jangan bilang kayak gitu lagi. Clair bahagia kalau Mama bahagia, bahkan kalau bisa dibilang Clair bangga punya Mama yang nggak lepasin mimpi Mama itu dengan mudah. Maka dari itu Clair juga mau kayak Mama, yang teguh pendiriannya.”
Di tempatnya Luna tersenyum. Terenyuh dan tersentuh. Mata wanita itu berkaca-kaca, betapa dirinya beruntung memiliki putri sepengertian dan begitu penyayang seperti Clair. Andai saja mereka bisa lebih sering bertemu, mereka bisa sebenarnya, hanya saja Luna tahu kalau hidup Clair sudah sibuk dengan berbagai kewajibannya, maka dari itu Luna tidak ingin menuntut Clair sering-sering mengunjunginya di daratan Eropa.