6. Segelintir Rencana

1070 Words
“Kita udah ada di sini lebih dari setengah jam, dan lo belum ngomong apa-apa. Lo yang ngajak pergi dan lo yang terus diem aja?” Daren mendengus setelah melirik jam di pergelangan tangannya, melemparkan pandangannya ke depan di mana yangterlihat di sana hanya jalanan kosong dan lengang. Daren sendiri sebenarnya tidak tahu mereka kini ada di mana. Mengendari mobilnya pergi dari restoran dengan wanita asing yang duduk di sampingnya, Daren hanya melajukan mobilnya kemanapun tanpa arah, dan wanita di sampingnya pun tidak mengatakan apa-apa soal itu, seperti yang Daren katakan, ia hanya diam tanpa mengarahkan Daren harus pergi kemana. Hingga setengah jam berlalu, Daren akhirnya menepikan mobilnya yang sekali lagi entah ada di mana itu untuk bicara dengan wanita asing yang menyebabkan mereka ada dalam situasi ini. “Lo juga kan diem aja, makanya gue diem.” Mendengar jawaban ringan tanpa merasa bersalah dari wanita itu membuat Daren menolehkan kepalanya untuk menatap langsung objek yang bersangkutan. Dan apa? Apa yang baru saja wanita itu katakan? “Lo-gue” Well, itu berbeda sekali dengan kesan yang wanita itu ciptakan di depan para orang tua tadi. Saat ini, dari nada bicaranya saja Daren bisa merasakan tidak ada nada hormat, basa-basi, atau anggun sebagaimana yang diperlihatkannya beberapa jam lalu. Well, itu bukan urusannya memang. Hanya saja bukankah perbedaannya terlalu besar? Terlalu kontras? Seperti inikah caranya untuk membangun citra dan nama baik? Di balik kepribadian aslinya yang menurut Daren cukup mengesankan—tentu saja itu dalam bentuk sarkasme berdasarkan apa yang ini ada di hadapannya. “Sebenernya apa tujuan lo nyeret gue keluar dari sana? Lo nggak tahu kalau tadi gue hampir aja—” “Hampir ngebatalin rencana perjodohan karena lo udah punya wanita pilihan lo sendiri?” Wajah Daren dibuat benar-benar terkejut mendapati Clair yang mengetahui rencananya dengan pasti. Bukan hanya keinginan pembatalan mengenai perjodohan itu—yang mungkin memang bisa ditebak dengan mudah karena kalau bisa Clair juga ingin melakukannya, tapi juga mengenai ada wanita lain yang mendasari hal itu. Ah, apa kondisi semacam itu juga umum dalam situasi mereka? Hingga dalam hal ini Clair juga bisa memperkirakannya? “Kenapa? Kaget kenapa gue bisa tahu?” Daren masih diam, pria itu tahu Clair tidak membutuhkan jawabannya untuk melanjutkan penjelasan yang sudah dimiliki wanita itu sendiri. “Gue lihat lo di bar malam itu. Waktu lo mabok dan koar-koar soal pernyataan lo yang ditolak cewek idaman lo.” Mata Clair menyipit, ekspresinya seolah memperlihatkan betapa buruknya kelakuan Daren malam itu di matanya. “Ckckck, lo nggak tahu betapa memalukan dan merepotkannya lo waktu itu? Gue kasihan sama temen-temen lo yang harus ngurus dan nyeret lo pulang dari sana.” A-apa? Inikah kepribadian asli wanita yang memberikan kesan anggun saat Daren pertama kali melihatnya tadi? Preman? Urakan? Apa benar wanita ini putri tunggal dari seorang Wira Soedibjo? Pemilik Soedimara Grup yang membawahi banyak cabang anak bisnis itu? “Hah…” Menghembuskan napasnya kasar, Daren mencoba sabar meski dirinya sudah dibicarakan buruk oleh wanita ini. Tidak. Bertengkar dengan wanita jelas bukan hal yang Daren inginkan saat ini. “Gue tanya sekali lagi. Apa sebenernya yang lo mau? Kalau lo udah tahu gue nggak berminat sama perjodohan ini karena gue udah punya perempuan yang gue cinta dan gue pilih, terus kenapa lo berhentiin gue buat bilang di depan Papa dan Om Wira kalau gue nggak bisa lanjutin apapun rencana yang mereka mau.” Clair menatap Daren heran, tidak menyangka kalau pria di sampingnya itu bisa senaif ini. “Dan lo pikir itu bakal berhasil? Mereka akan setuju gitu aja dengan lo bilang kalau lo nggak mau?” Daren masih mendengarkan, meski tidak menanggapi. “Gue nggak percaya lo senaif itu.” Clair menggeleng-geleng mengalihkan pandangannya pada Daren yang sejak tadi bertemu. “Gue tanya mau lo apa?” “Lo pikir kalau lo batalain, baik itu Papa lo atau Papa gue bakal berhenti? Lo yakin mereka nggak akan mulai dengan rencana lain atau cari kandidat lain yang menurut mereka pantes jadi pasangan kita? Bikin rencana lagi, adain pertemuan lagi dan gitu terus sampai kita setuju dengan kemauan mereka.” Clair menarik napasnya, kemudian melanjutkan. “Itu salah satu peraturan wajib yang ada di keluarga macam kita, kan? Dan lo pikir kita bisa lolos dari peraturan itu?” Membasahi bibirnya, Darens sebenarnya sudah tidak tahan dengan penjelasan Clair yang menurutnya berputar-putar itu, meski sebenarnya Clair bukan bermaksud untuk memutar percakapan mereka, melainkan mencoba untuk membuat pria itu mengerti terlebih dulu hingga lebih mudah untuk Clair mengungkapkan penawaran yang ada di kepalanya saat ini. “Lo mau—” “Ayo nikah.” Dahi Daren berkerut tajam. Apa maksud wanita ini dengan mengajaknya menikah? Bukankah dirinya sudah tahu kalau Daren memiliki wanita lain yang dicintai dan ingin dinikahi? Itu alasan Daren ingin menolak perjodohan mereka, bukan? Tapi apa? Apa yang baru saja didengarnya? Clair Soedibjo, wanita urakan dan berkepribadian preman yang sama sekali tidak menunjukan bahwa dirinya keturunan konglomerat itu justru mengajaknya menikah? Apa Clair sudah gila? Itu kenapa ia bisa mengambil keputusan dengan logika terbalik macam ini. “Aya kita nikah. Lo sama gue. Kita setujuin perjodohan ini.” Ucap Clair memperjelas kalimatnya agar Daren tidak mengira dirinya salah menangkap apa yang baru saja Clair katakan. “Lo nggak waras? Atau udah gila?” Seru Daren tidak habis pikir. “Hah?” Kali ini giliran Clair yang mengerutkan keningnya, sedikit risih dengan julukan yang diberikan Daren padanya. “Bagian mana dari kalimat gue yang nggak lo ngerti? Gue mau nolak perjodohan kita, karena gue punya wanita pilihan gue sendiri yang gue cinta dan akan gue perjuangin gimana dan apapun caranya.” “Iya, gue tahu. Makanya ayo nikah.” Daren mendongakan kepalanya dengan mata terpejam, mencoba untuk membuat rileks otot lehernya yang terasa tegang karena mendengar kalimat-kalimat yang memusingkan dari lawan bicaranya ini. “Nggak waras. Hm, pasti lo memang nggak waras dan udah gila makanya bisa ngomong kayak gini.” Gumam Daren entah mengapa merasa lelah meski belum lama menghabiskan waktu untuk bicara dengan wanita yang bersamanya itu. “Ayo nikah dan dengan begitu lo bisa bebas ngejar cewek yang lo cinta itu tanpa lagi diawasin Om Victor, dan gue nggak perlu lagi capek-capek ngikutin kemauan bokap gue dengan ngehadirin pertemuan-pertemuan lain dari perjodohan yang beliau rencanain. Menarik, kan?” Raut wajah Daren yang terlihat kelelahan sebelumnya itu seketika berubah. Bukan menjadi lebih baik, atau bahkan lebih buruk. Tapi pria itu memperlihatkan ekspresi datarnya sambil perlahan kembali menatap wanita yang duduk di sampingnya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD