5. Penilaian yang Salah

1236 Words
Iya. Sekarang Clair sudah mengingatnya, mengingat jelas baik nama itu maupun wajah yang sudah dilihatnya lumayan teliti di bar malam itu. Jadi ini pria yang akan Clair nikahi? Pria yang sudah mencintai orang lain dan tergila-gila pada orang itu? Pria yang sudah menjatuhkan hatinya pada wanita lain? Yang benar saja… “Clair.” Ucap wanita itu saat gilirannya menjabat tangan sosok yang bersangkutan. Setelahnya keempat orang itu duduk melingkari meja, berhadapan satu sama lain lantas mulai berbincang panjang, meski yang aktif berbicara di sana tak lain dan tak bukan hanya dua pria paruh baya itu, yang tidak jauh-jauh membicarakan mengenai bisnis mereka. Sesekali Daren dan Clair di ajak bicara, tentu yang juga berkaitan dengan pekerjaan hingga akhirnya… “Kalian mungkin udah dengar apa tujuan kita bertemu di sini, jadi gimana kalau kita bicara soal itu dan mulai merencanakan soal pernikahan kalian.” Gelas teh yang dihidangkan setelah makanan full course selesai—tertahan di udara, itu milik Daren, tepat setelah Tuan Hardiwidjaja—sang ayah mengungkapkan apa yang ada di kepala beliau sekarang. “Hm… sejak tadi kita terus-terusan bicara soal kerjaan, sampai lupa tujuan yang sebenarnya.” Timpal Tuan Soedibjo dengan senyum formal yang sejak mereka duduk di sana terpasang tanpa lelah. Daren meletakan cangkir teh-nya kembali ke atas meja, tidak jadi menyeruput setelah merasa harus ada yang dirinya katakan setelah sejak tadi menahan diri. Mumpung mereka mengangkat topik itu, bukankah Daren harus mengatakan apa yang ada di kepalanya sejak tadi?—tidak, sejak rencana pernikahan itu diungkap oleh sang ayah lebih tepatnya. “Soal itu, ada yang mau saya sampaikan.” “Hm? Silakan Daren, kamu punya rencana khusus soal pernikahan kalian?” Tentu saja, yang bertanya ramah seperti itu bisa ditebak adalah ayah Clair, sebab ayahnya tidak akan mengatakan hal semacam itu di saat beliau tahu dan paham keadaan putranya. “Daren.” Benar saja, Tuan Hardiwidjaja mencoba untuk memperingatkan dengan nada dinginnya. Daren tidak peduli, jika memang harus dipukuli oleh sang ayah, Daren kira dirinya tidak masalah mendapatkannya. Hanya saja, untuk yang satu ini—untuk kali ini saja, Daren ingin melepaskan diri dari pilihan ayahnya, Daren ingin memperjuangankan pilihannya sendiri, meski pilihan itu sudah melepaskan dan mempersilakannya untuk pergi. “Saya minta maaf karena Om Wira harus dengar ini, tapi saya—” “Darendra.” Suara peringatan ayahnya terdengar lagi, tapi itu tentu tidak menghentikan Daren untuk mengatakannya, pun meski raut bertanya-tanya kini tampak di wajah pria di seberang meja. “Saya nggak berminat untuk—” “Ah!” Seruan suara satu-satunya perempuan yang ada di sana yang akhirnya menghentikan ucapan Daren. Suara yang cukup keras dan lantang, setelah sejak tadi dari yang bersangkutan hanya terdengar suara lembut yang pelan. Bahkan sepanjang mereka berada di sana, bisa dikatakan wanita itu lebih banyak diam, hanya mengatakan sepatah-dua patah kata sebagai tanggapan, selebihnya? Wanita itu pasif, memilih untuk lebih banyak mendengarkan, juga mengamati. Benar, itu Clair, yang berhasil menarik perhatian tiga orang lainnya yang berada di sana. Tiga orang yang kini menaruh fokusnya penuh pada wanita itu. Clair tersenyum lebar, menunjukannya senyumnya itu pada satu persatu sosok yang ada di sana dengan pasti. Seketika, kepribadian wanita itu seolah berubah, benar-benar berbeda sekali dengan apa yang ditunjukannya sejak datang hingga beberapa saat lalu. Semuanya seolah berputar 180 drajat, menghancurkan presepsi yang diciptakannya sendiri mengenai sosoknya yang terlihat anggun dan pendiam. Hanya dengan satu kata, hanya dengan raut wajahnya yang berubah. “Hhm… Saya boleh ajak Daren jalan-jalan dulu setelah ini?” “Eh?” Itu reaksi ayah Daren, yang bisa dibilang masih cukup terkejut dengan kesannya pada Clair yang seketika berubah. “Clair.” Dan tentu saja ini sang Ayah, papanya yang khawatir jika putrinya itu akan menghancurkan seluruh rencana yang sudah dibuatnya. Clair menatap papanya terlebih dulu, memberikan isyarat pada pria itu agar tidak perlu mencemaskan apapun. “Bolehkan Om Victor?” Tanya Clair beralih pada pria yang duduk di seberang papanya. “Hm? Oh, itu…” “Gimanapun ngomongin langsung soal rencana pernikahan di pertemuan pertama bukannya agak canggung? Saya juga belum tahu apa-apa soal Daren, apa makanan yang Daren suka, pesta macam apa yang Daren mau di acara pernikahan nanti, mau berapa tamu yang diundang, soal ini, itu dan masih banyak lagi yang saya rasa harus saya rundingin berdua sama Daren. Maka dari itu, bukannya lebih baik kalau saya ngobrol lebih banyak dulu berdua aja dengan Daren? Jadi… nggak ngabisin waktu Papa dan Om untuk dengerin hal-hal yang memang bisa kami bicarakan berdua? Gimana? Hm?” Clair mencodongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Daren, setelah sejak tadi duduk sangat tengap sebagaimana manner yang diajarkan padanya sejak kecil. Wanita itu juga menaruh kedua tangannya di atas meja, menyilangkan jari-jarinya satu sama lain sambil melempar pandangannya pada pria yang tepat ada di seberang—ah, tak lupa dengan senyum tipis yang terbit di bibirnya. Yang jelas, itu bukan senyum formal seperti yang sejak tadi Daren lihat, senyum yang ditunjukan wanita itu kali ini lebih… bagaimana Daren menjelaskannya? “Bukan begitu, Mas Daren?” Ugh, mendengar embel-embel panggilan di depan namanya entah mengapa membuat Daren merinding. Bukan karena tidak suka dengan tambahan di depan namanya itu, toh bukan hanya wanita di hadapannya itu yang memanggilnya begitu. Banyak di luar sana, entah di tempat umum atau di kantornya sendiri yang kadang menyertakan panggilan itu selain sebutan “Pak” yang sudah pasti ia terima. Hanya saja, mendengar itu dari Clair, dengan nada yang digunakannya membuat Daren merassa begitu—merasa kalau wanita itu sedang mengejeknya. “Uhm, itu terdengar masuk akal. Kita para orang tua ini memang kadang nggak mengerti apa yang disukai anak muda jaman sekarang. Makanya mungkin terdengar tergesa-gesa di mata kamu kan, Clair?” Syukurnya, ayah Daren terlihat lebih ramah dibanding putranya yang kini menatap Clair dengan tatapan cukup tajam. Clair mengangguk semangat dengan senyum lebih lebarnya. “Kalian yakin akan baik-baik aja? Bicara berdua?” Lain halnya dengan reaksi ayah Daren, papanya justru terlihat masih khawatir Clair akan menghancurkan hubungan yang sudah hampir terjalin ini. Dan tentu saja Clair bisa membaca itu dari raut wajah, nada bicara, juga pertanyaan papanya. “Eiii… Papa nggak percaya sama aku? Anak Papa yang udah mau 30 tahun ini?” Lihat, bahkan cara bicaranya dengan ayahnya saja benar-benar berbeda, tidak terdengar dan terlihat sebagimana Clair yang biasanya. Bagaimana Tuan Wira Soedibjo tidak khawatir? Kalau tingkah Clair sudah seperti ini dan terlihat tengah merencanakan sesuatu. “Haha, Clair benar, Wira. Sebaiknya kita beri waktu buat Clair dan Daren bicara lebih banyak tanpa kita lebih dulu. Mereka pasti bisa bicara dari hati ke hati tanpa kita yang menganggu.” “Tapi—” “Oke, kalau gitu udah diputuskan. So, kita pergi sekarang, Mas Daren?” Ajak Clair menatap pria di seberang meja penuh arti, mengangkat kedua alisnya mengirimkan isyarat pada pria itu yang Clair harap dapat Daren mengerti. Isyarat agar mereka pergi segera, secepatnya dari sana. Clair berdiri lebih dulu, meski tidak langsung beranjak dan menunggu Daren merespons ajakannya. Clair tidak bisa pergi dari sana—tentu, tanpa Daren yang menyetujui ajakannya itu. Melempar tatapan ke arah lain dengan napas yang berhembus lelah, Daren menatap Clair sekali lagi dengan sorot dingin sebelum ikut beranjak dan pamit pada kedua orang tua mereka sebelum berlalu dari ruangan itu. Daren berjalan lebih dulu, meninggalkan Clair yang juga berpamitan pada Papa dan ayah Daren sebelum pergi dari tempat itu. Sebelum keduanya bicara dengan mengeluarkan isi kepala mereka dan apa yang mereka pikirkan mengenai perjodohan di antara mereka itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD