Viral!

1735 Words
"Habis dari mana sih lo?" tanya Lisa saat istirahat sudah selesai. Semua anak masuk ke kelas kembali. Lisa tidak tahu jika aku baru keluar dari ruangan Pak Heri. "Gue habis ngedate sama Pak Heri," jawabku santai. Lalu mencomot makanan yang dibawa Lisa. "Serius lo?" "Iya, masa gue bohong!" Ya, ngedate versi guru dan murid, lanjutku dalam hati. "Wah, jadi pernyataan cinta lo diterima?" "Gue gak menyatakan cinta, dia tahu sendiri." "Dasar bodoh!" Lisa menoyor kepalaku dengan gemas. "Lo kenapa sih? Otak Einstein bisa keganggu kalo lo toyor gitu! Ck, ah lo mah!" "Lo nyatain perasaan lo di kelas tadi dodol!" "Apa?! Yang bener lo?" "Iya, bahkan saat anak-anak lagi sepi-sepinya. Eh, lo malah ngomong sambil ngiler kalo lo jatuh hati tingkat dewa sama Pak Heri." "'Njir! Lo jangan ngarang, Lis!" ucapku kaget. Ah yang bener seperti itu?! "Ngapain gue ngarang? Jelas-jelas lo bilang kayak gitu tadi! Ck, lo udah gak tertolong lagi pokoknya." "Duh, gue malu dong, Lis! Terus anak-anak gimana?" "Ya mereka awalnya mau nyorakin lo lah kayak biasa, heboh kan? Tapi Pak Heri melerainya. Ya udah semua mingkem. Dan lo makin parah!" "Gue? Parah kek gimana?" "Iya, lo bilang lo akan berhenti kagum sama kakak ketua OSIS dan berpindah menyukai Pak Heri saja." "Demi apa coba, Lis? Lihat! Anak-anak lihatin gue!" "Ciee... Put! Lo cinta ya sama Pak Heri? Suit-suit! Pake kebawa ngiler lagi!" ucap Indra yang baru duduk di kursinya. "Diem lo badut!" jawabku dengan kesal. "Eh, gue tahu sekarang, Put. Kenapa lo masih jomblo, ternyata lo penyuka pria yang sudah tua, ahahaha!" "k*****t lo Tika! Gue cuma halusinasi tadi!" "Anjir! Halu lo bikin heboh tahu gak? Gila lo, Put! Gak tanggung-tanggung! Suka sama Pak Guru? Wow! Mengagumkan!" Aku menutup mukaku. "Lis, gimana ini? Malu gue!" Bisikku. Si Lisa malah tertawa dengan kampretnya, "hahaha, halah malu! Biasanya juga lo malu-maluin!" "Assalamualaikum!" Suara salam dari luar membuat kami sepi dan secepat kilat kembali ke kursi masing-masing. Huft, selamat... akhirnya aku berhenti dibully. Duh, apa bener ya tadi aku mimpi sampe kebawa ngigau? Semoga ada gosip lain yang menggantikan kabar viralku ini, huhu. *** "Mama aku pulang!" teriakku sambil melepas sepatu. "Salam kek Put, kamu malah teriak! Adekmu kan jadi bangun!" Mama keluar menyambut uluran tanganku. Ah, iya, aku ini putri dari Mama Yeni dan Papa Ujang. Mama bukan wanita karir, dia ibu rumah tangga sejati. Yang di rumah setiap hari mengurus suami dan anak-anaknya. Sebenarnya sih, Mama itu sarjana juga. Jurusan psikologi. Tapi Papa melarang Mama kerja. Papa bilang, nyari nafkah itu kewajiban suami. Dan papaku juga bukan pengusaha kaya raya. Beliau seorang guru PNS. Pekerjaannya ya ngajar ke sekolah setiap hari. Walau gaji Papa tidak besar, tapi berkat kerjasama yang baik antara Papa yang berusaha cari tambahan dan Mama yang pintar mengatur keuangan, kebutuhan keluarga kami tercukupi. Ah, dan aku punya 2 saudara. Satu kakak lelaki yang menyebalkan bernama Ilham, dan adekku yang masih balita bernama Anggi. Aku anak perempuan satu-satunya. Harusnya sih dimanja yekan? Lah ini? Aku malah tiap hari kena ceramah. Katanya anak perempuan itu harus rajin bersih-bersih. Jangan gagah kayak cowok, harus lembut. Aish, aku yang sehari-hari perang mulut sama Kak Ilham, mana bisa jadi lemah lembut! "Anak perempuan itu harus sopan! Ngomong yang lembut, jangan teriak kayak ada maling gitu!" Tuh kan? Kena omel lagi! "Iya, Mama... kan aku seneng bisa pulang ke rumah. Lagian juga gak kenceng kok teriakanku," ucapku lalu membuka tas gendong dan melemparkannya ke kursi. "Eits! Apa itu? Kok dilempar ke sana? Simpen yang bener, Put!" "Iya, iya," jawabku sedikit cemberut. Lalu mengambil lagi tas yang kulempar tadi. "Ada apa sih, Ma?" Papa datang dari belakang rumah. Habis mancing keknya. Dia bawa ikan banyak sekali. "Ini nih, Si Puput. Datang-datang langsung teriak. Bangun deh jadinya Anggi. Udah gitu, tas pake dilempar segala!" "Iya deh, Ma. Maaf-maaf," ucapku sambil mencium pipi Mama. Lalu beralih ke Papa, "weh, Papa dapat ikan banyak ya?" "Kamu tuh ya, mengalihkan omongan aja!" "Lain kali jangan bikin mamamu kesel dong, Put!" "Iya, aku kan minta maaf, janji deh gak diulangi lagi!" "Ayo! Bantu Papa bersihin ikan!" "Okay!" Seruku, lalu berlari ke kamar untuk mengganti baju. "Pa, kok tumben ngambil ikan banyak gini, mau ada acara ya?" tanyaku yang mulai membersihkan sisik ikan. "Iya, ada reuni kecil-kecilan sama teman SMA." "Di rumah kita?" "Iya, tadinya sih Papa gak setuju. Mamamu kan repot punya balita. Tapi mereka bilang tempat kita paling nyaman." "Oalah, bukannya temen Papa banyak yang kaya raya?" "Iya sih. Tapi mereka suka karena kita punya kolam ikan yang luas. Jadi pengen bakar-bakar di gazebo belakang." "Halah, mereka mau gratisan kali, Pa!" "Ish, jangan ngomong kek gitu! Gak baik! Memuliakan tamu itu gede lho pahalanya!" "Iya deh, iya." "Kasih garam sama merica ya, Put! Papa mau nyuci beras dulu!" "Oke, bosku!" Jawabku lalu melaksanakan apa yang Papa perintahkan. Oh asal tahu ya, Papa tuh suami terrrbaik buat Mama. Meski Papa baru pulang dari sekolah, secapek apapun, lihat Mama repot pasti bantuin. Apalagi kalau Papa mau ngadain acara kek gini. Pasti Papa turun tangan. Hm, aku jadi mikir, nanti suamiku kayak apa ya? Moga aja dapet yang super baik seperti Papa. Ah, jadi ingat Pak Heri. Weh, tuh kan? Mikir Bapak Ganteng itu lagi! Kasmaran emang menyenangkan! "Jangan ngelamun, Put! Bantu Mama potong kangkung!" "Okay! Emang Anggi udah tidur, Ma? Tadi kan rewel!" "Udah. Bukan rewel! Tapi suara kamu tuh yang cempreng, Anggi lagi tidur siang jadi bangun kan?" "Hehe, maaf deh. Eh tamunya udah pada datang ya, Ma?" "Iya, baru sebagian. Nih beras juga jadi Mama yang nyuci. Keburu pada datang. Papa lagi ngajak mereka ngobrol-ngobrol." "Udah tua juga masih reuni ya, Ma?" "Iyalah, apalagi teman SMA itu yang paling berkesan lho, Put! Bahkan udah kayak keluarga." "Hm, coba aku kayak gitu." "Emang kenapa kamu di sekolah? Gak punya teman? Makanya lembut dikit kek, kan teman perempuan kamu jadi takut!" "Punya kok. Aku gak segagah itulah, Ma. Bikin teman perempuanku ketakutan. Mama nih ada-ada saja!" "Put, tolong ajak main anaknya temen Papa ya? Rewel tuh, kasihan!" Papa datang memanggilku. Ck, gini nih, jadi anak perempuan satu-satunya bukan dimanja tapi malah lebih banyak kerjaan. Bibirku agak manyun. Ngurus Anggi aja kadang aku suka kesel, anaknya gak bisa diam. Lah ini? Ngurusin anak orang? Hadeuh! "Jangan menggerutu kalau disuruh orang tua! Ntar pahalanya ilang, Put!" "Iya," ck, nih mulut ngajak berantem keknya. Apa yang dibisikin hati masih aja suka keluar. Kedengaran sama Mama jadi diomelin kan? Aku mencuci tangan dan bergegas ke gazebo belakang rumah. Wih, sudah banyak juga yang kumpul ternyata. "Mana anaknya, Pa?" "Bentar, ya? Papa panggilkan dulu!" Papa bangkit dan berjalan ke samping gazebo. Kayaknya tuh anak lagi diajak lihat kelinci. Papa kan bikin kandang di sana. "Her! Sini! Biar anak saya ajak main!" Weh, Her? Bentar, Her apa nih? Hera, Heru, atau... Heri? Waduh, hatiku mulai cenat-cenut tak keruan. Ah, masa iya Pak Heri, kan dia kelihatan masih muda. Masa umurnya setua Papa sih? Ah kacau! Apa dia dikutuk jadi awet muda ya? Dan muncullah seseorang yang sukses mengundang dangdutan keras di hatiku. Bener gaes! Dia Pak Heri! Anjir! Demi apa! Dia udah punya anak! Sumpah! Berani dijodohin sama dia, aku kaget luar biasa! Tapi kan dia bilang, statusnya masih dalam pencarian? Wah, atau jangan-jangan dia duren! Alah, iya keknya. "Ini Pak, duh maaf jadi merepotkan! Lho, kamu?" tanya Pak Heri padaku. Wushh! Dadaku kek disiram air panas. Kaget, nyut-nyut, sur-ser, deg-degan, dan sebagainya. "Oh, Heri udah kenal putri saya?" "Dia murid saya, Pak!" jawab Pak Heri dengan mengangguk sopan. "Oh gitu! Put! Salam dong sama gurumu! Cium tangan sana!" Anjay! Aku disuruh cium tangan? Mama... help! Tanganku dingin plus keringetan! "Eh, iya, Pa. Apa kabar Pak?" tanyaku dengan kikuk mengulurkan tangan. Dia menyambutnya dan langsung menjedukkan tangan kami yang bersalaman ke keningku. k*****t memang! Lembut dikit kek, biar agak romantis! "Baik, titip Geo ya?" jawabnya sambil menyerahkan anak yang usianya seperti di bawah umur Anggi. Belum bisa jalan pula. Dan Pak Heri kembali bergabung dengan yang lainnya di gazebo. Meski dia tak ikut nimbrung sih. Cuma duduk dan jadi pendengar yang baik. Ya, pendengar yang baik lebih pantaslah, masa iya aku ngatain dia cuma jadi kambing congek. Kan gak sopan! Geo ini anak yang aktif ternyata. Baru saja aku gendong, udah minta turun. Pengen jalan kayaknya. Dan karena belum bisa jalan sendiri, alhasil akulah yang kerepotan pegangin kedua tangannya. Memang aku sudah biasa pegang Anggi. Jadi gak terlalu repot juga sih. "Mungkin keahlianmu mengurus anak ya?" Aku menoleh ke sumber suara. Lah, Pak Heri? "Hehe, bapak bisa aja. Baru tahu ya?" jawabku asal. Bingung harus bilang apa. Gini nih hal yang paling menyebalkan dari diriku. Mati kutu kalau ketemu orang yang kusuka. Kan gak asyik! "Jangan GR kamu! Saya bukan muji kamu, justru saya heran, kok nilai kamu di kelas jelek semua. Gak ada mata pelajaran yang bagus satu pun. Masa kamu berbakat ngasuh anak?" Anjir! Kalau bukan guru dan gak kusukai, udah ku sleding dia! k*****t banget mulutnya! "Siapa bilang? Emang bapak tahu nilai saya di mata pelajaran lain?" "Tahulah. Saya ini suka menyelidiki anak-anak super di kelas. Ya termasuk kamu." "Super gimana, Pak?" Nih Si Geo kagak mau diem ya? Gak tahu apa, kalau aku lagi ngobrol sama pujaan hati. "Kamu perlu perhatian lebih dari guru." Pipiku memerah, duh, benarkah? Pak Heri memperhatikanku? "Benarkah? Wah, berarti Bapak perhatian sama saya, ya?" "Ck, kamu GR-an ya ternyata? Maksud saya, kebiasaan jelek kamu di kelas itu perlu perhatian khusus. Agar cara belajarmu bisa diperbaiki." "Si-Siapa bilang saya GR?" Tuh kan gagap jadinya! "Eh Geo! Sini!" Aku menangkap tangan Geo yang memaksa ingin jalan lagi. Setelah dapat, aku menggendongnya. "Pipi kamu merona!" kata Pak Heri dengan senyuman mengejek. "Ah, tidak kok, Pak. Pipi saya memang begini kalau kepanasan." "O ya? Saya tidak percaya! Apalagi setelah tahu kalau kamu suka sama saya." Anjay! Skak mate. Aku mati gaya. Sumpah! "Pak, saya ke dalam dulu ya? Geo pup kayaknya!" Tanpa menunggu jawaban Pak Heri, aku buru-buru masuk ke dalam. Geo hanya alasan saja sih. Aku terlanjur malu! Kebiasaan bodohku yang sering tidur di kelas mulai membawa petaka ternyata. Tuhan, semoga aku bisa melenyapkan perasaan indah ini! Apalagi Pak Heri kayaknya duren matang tuh! Masa iya aku nikah sama pria seumuran Papa sih? Kan gak lucu! Wew, kalau dia mau nikah sama aku itu juga! Walau aku belum pernah bertanya langsung berapa umurnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD