Cahaya temaram dari lampu gantung kristal di kantor Salvatore Giordano hanya mampu memantul dari perabotan gelap dan mahal. Dan dari keringat dingin yang membasahi dahi Marcus, bos perusahaan konsultan keuangan itu. Marcus duduk tegak, tangannya terkepal di atas lutut.
Di sofa tunggal di seberang meja mahoni, duduklah Isabella. Dia mengenakan pakaian kerja rapi, tetapi ketenangan profesional mulai terusik. Dia belum pernah sedekat ini dengan Sal sejak hari perceraian dan aura kekuatan Bos mafia itu terasa seperti tekanan.
Sal, mengakhiri pembicaraan bisnis yang panjang dengan suara baritonnya yang dingin, menusuk hingga ke tulang.
"Jadi, Marcus," kata Sal, memiringkan kepala sedikit. "Aku tak tertarik dengan perusahaan bangkrut mu dan aku benci merepotkan pengacaraku untuk menyita aset murahanmu. Utangmu... aku anggap lunas."
Raut wajah Marcus seketika berubah cerah. "Oh. terima kasih, Tuan Giordano! Saya tidak tahu harus ber..."
"Tunggu," potong Sal tajam suaranya membuat Marcus terdiam di tengah kalimat. Sal mengalihkan pandangannya dari Marcus, tatapannya yang menusuk sanubari kini terkunci pada Isabella.
"Aku hanya menginginkan satu hal sebagai ganti."
Isabela merasakan perutnya bergejolak. Ia tahu ini akan terjadi. Ini adalah jebakan.
"Untuk jaminannya," lanjut Sal, meluncurkan kata-kata itu seolah panah pemburu," adalah Nona Devito. Isabella."
Marcus menoleh cepat ke arah Isabella, ekspresinya antara kaget, lega, dan putus asa. "Isabella? Jaminan? Maksud Anda, dia harus bekerja untuk Anda, Tuan Giordano?"
Sal tersenyum tipis senyuman yang tak pernah mencapai mata. "Kerja?' Sal mengulangi, menertawakan gagasan itu. Ia meletakkan sepasang kunci perak di atas meja seolah sedang melempar tulang. "Aku sudah punya ratusan asisten dan sekretaris, Marcus."
Dia bangkit perlahan dari kursinya, berjalan mengelilingi meja dan berhenti tepat di depan Isabella. Tubuhnya yang tinggi dan berwibawa memblokir cahaya, membuat bayangan gelap menimpanya.
Sal membungkuk sedikit, suaranya kini pelan dan berbahaya, hanya untuk didengar oleh Isabella.
"Isabella, dua tahun tanpa seorang istri di rumah... itu lama sekali. Kau tahu apa yang hilang dariku, bukan? Kau tahu apa yang tak pernah bisa ku beli dengan uangku."
Dia mengangkat tangan dan menyentuh dagu Isabella, memaksa wanita itu untuk menatap matanya.
"Tugasmu bukan di meja kantor. Tugasmu kembali ke rumah. Kau akan melayani nafsu yang kau tinggalkan dan aku akan melupakan utang temanmu."
Isabella menarik napas dalam, merasakan semua emosi, kemarahan, rasa malu, dan keputusasaan bertarung di dadanya. "Kau... kau tak bisa melakukan ini," bisiknya, suaranya bergetar.
"Aku? Aku bisa melakukan apa saja, Bella," Sal berbisik kembali menggunakan nama panggilan intim dari masa lalu mereka. Ia melepaskan dagu Isabella dan berdiri tegak, kembali ke statusnya sebagai Sang Bos.
"Pilih, Marcus. Perusahaanmu bangkrut besok pagi, atau Nona Devito ikut bersamaku malam ini. Ini adalah tawar-menawar terakhir Sang Banker."
***
Isabella tidak bisa mengingat bagaimana dia keluar dari kantor Sal. Kakinya berjalan otomatis di atas karpet Persia tebal, melewati dua penjaga pintu yang diam, dan akhirnya mencapai lobi yang mewah dan berangin dingin.
Marcus, bos sekaligus temannya yang kini tidak punya pilihan, menyusulnya dengan langkah tergesa-gesa.
"Isabella, dengarkan aku," bisik Marcus, putus asa. "Ini hanya sementara. Aku akan menyelesaikan utang ini, aku janji! Kau hanya perlu bertahan sebentar..."
Isabella berhenti, berbalik, dan menatap Marcus. Matanya, biasanya hangat dan penuh semangat, kini terasa dingin dan tajam seperti belati.
"Tidak, Marcus," katanya, suaranya pelan tapi menusuk. "Kau tidak akan menyelesaikan utang itu. Kau baru saja menjual ku dan kau tahu itu. Itu harga untuk kebebasan perusahaanmu yang hancur."
Marcus menunduk sedih, wajahnya yang pucat dipenuhi rasa bersalah. "Apa yang harus kulakukan? Dia seorang Giudice! Dia akan menghancurkan ku, keluargaku..."
"Aku tahu," potong Isabella. "Aku sudah pernah menikah dengannya."
Isabella membalikkan punggungnya sebelum Marcus sempat membalas. Tepat di depannya, sebuah mobil sedan hitam berkaca gelap meluncur tanpa suara ke tepi jalan. Pintu belakang terbuka, memperlihatkan kursi belakang kulit yang mewah.
Seorang pria besar berjas hitam, dengan tatapan tanpa ekspresi yang Isabella kenal baik pengawal pribadi Sal menatapnya.
"Nyonya Devito," katanya, dengan nada datar. "Tuan Giordano menunggu."
Nyonya Devito. Gelar yang dibuangnya dua tahun lalu, kini dilekatkan kembali padanya seperti rantai.
Isabella tidak melawan. Dia hanya masuk ke mobil. Pengawal itu menutup pintu, dan mobil itu melaju ke malam Manhattan, meninggalkan Marcus berdiri sendiri di bawah lampu lobi.
Di dalam mobil, Isabella menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Ia meremas benda yang ada di telapak tangannya. Itu adalah kunci perak yang dilemparkan Sal ke meja, kunci yang dulu membuka pintu apartemen mewah yang ia tempati.
Melayani nafsu yang kau tinggalkan. Kata-kata Sal terngiang, membakar telinganya.
Dua tahun. Dua tahun ia berjuang untuk membangun hidupnya kembali, jauh dari bayangan nama Giordano. Ia telah menghapus nomor telepon lama, pindah ke lingkungan yang tenang, dan fokus pada kariernya. Ia ingin membuktikan bahwa ia lebih dari sekedar istri kedua yang dicampakkan.
Namun, dalam dua puluh menit, Sal telah merobohkan segalanya. Dia tidak menggunakan senjata, tidak ada ancaman berteriak, hanya kekuatan mutlak dari Giudice.
Mobil berhenti di depan sebuah penthouse yang menjulang tinggi, di mana ia pernah hidup sebagai Isabella Giordano. Tempat itu terasa seperti jebakan emas.
Pengawal itu membukakan pintu untuknya. "Selamat datang kembali, Nyonya Devito."
Isabella mengabaikannya dan berjalan langsung ke pintu utama. Ia memasukkan kunci perak itu ke lubang. Kunci itu berputar dengan bunyi klik yang menyakitkan.
Saat pintu terbuka, dia disambut bukan oleh kemewahan dingin, melainkan oleh kehangatan dan suara tawa riang yang sangat dikenalnya.
Di ruang tamu, Sal sedang duduk di sofa dengan pakaian kasual, tampak lembut dan tenang, dikelilingi oleh dua anak laki-lakinya yang masih kecil. Anak-anak itu bukan darah daging Isabella, tetapi ia pernah menjadi ibu tiri mereka.
"Lihat siapa yang datang!" seru Sal dengan suara lembut yang khusus ia gunakan hanya untuk anak-anaknya. "Tante Bella datang! Katakan hai."
Anak laki-laki yang lebih tua berlari ke arahnya. "Tante Bella! Kenapa Tante menghilang? Paman Nico bilang Tante pergi ke bulan!"
Isabella berlutut, memeluk anak itu erat-erat. Air matanya, yang ia tahan selama di hadapan Sal dan Marcus, kini tumpah karena campuran kesedihan dan kasih sayang.
Ia ingat Sal adalah monster, tetapi ia adalah ayah dari dua malaikat ini. Dan dia baru saja menukar kebebasannya untuk masuk kembali ke dalam neraka yang dingin ini.
Saat ia berdiri, matanya bertemu dengan mata Sal. Sal tidak tersenyum. Tatapannya kembali menjadi Giudice tanpa belas kasihan, berkuasa, dan menuntut.
"Kamar lamamu masih ada, Isabella," kata Sal pelan, berdiri. "Besok, kita mulai bicara tentang pelayanan mu."
Isabella menatap tajam Sal yang tersenyum seperti iblis tentu ia tahu apa maksud ucapan pria itu.