Kamar tidur lama Isabella tidak berubah sedikit pun. Seprai sutra yang mewah, jendela tinggi yang menghadap ke lanskap kota Manhattan yang berkilauan, dan kamar mandi marmer yang luas. Itu adalah penjara yang disamarkan sebagai surga.
Isabella berdiri di depan cermin, melepas pakaian kerjanya yang kini terasa seperti kostum orang mati. Ia mengambil napas dalam-dalam. Anak-anak, kedekatan mereka adalah satu-satunya pelindung. Sal tidak akan pernah menunjukkan sifat kejamnya di depan mereka.
Ia membersihkan diri dengan tergesa-gesa dan mengenakan dress yang ia temukan di lemari peninggalan dari kehidupan yang ia coba kubur.
Saat ia memasuki ruang makan, ia disambut oleh suasana yang tenang dan hangat. Sal duduk di ujung meja, dikelilingi oleh kedua putranya, Marco dan Lucio. Bau saus pasta buatan koki pribadi Sal yang kaya mengisi udara.
"Ah, Bella! Di sini," kata Sal, suaranya kembali lembut, menunjuk ke kursi kosong di sebelahnya. "Anak-anak ingin tahu kenapa kau tidak menjawab surat mereka."
Isabella duduk, mencoba untuk mengabaikan kedekatan Sal dan tatapan menusuknya. "Tante sedang sibuk pindah, Marco," jawabnya, memberikan senyum palsu kepada anak-anak.
Makan malam berjalan dalam ketenangan yang tegang. Sal memainkan peran ayah yang sempurna bertanya tentang sekolah anak-anak, mengkritik tim Yankees, dan memastikan piring mereka penuh.
Namun, di balik tampilan yang rapi itu, tangan Sal bergerak. Di bawah meja, tanpa terdeteksi oleh anak-anak, Sal meletakkan tangannya di lutut Isabella.
"Tangan Sal yang berada di lutut naik perlahan, menarik Dress yang dikenakan Bella di bawah meja. Di sana, jemari Sal mulai menjelajah, menelusuri batas daratan dan air, lalu menemukan gerbang rahasia Bella. Sentuhan itu menjadi api yang menjalar dari bawah, memaksa Bella mencengkeram tangkai sendok hingga buku jarinya memutih, menahan badai pertama yang baru saja Sal ciptakan di antara tulang-tulang pinggulnya."
Isabella menegang, wajahnya tetap diam. Dia menatap Sal, berharap tatapannya yang penuh kemarahan bisa membakar kulit pria itu.
Sal membalas tatapannya. Matanya yang dingin kini memiliki kilatan puas, seperti seorang pemburu yang berhasil menjebak mangsanya. Ini adalah pengingat dan permainan sudah di mulai.
Setelah hidangan penutup selesai, Sal meminta pengasuh membawa anak-anak tidur. Suara langkah kaki mereka menghilang, dan kehangatan rumah tangga itu ikut lenyap. Hanya ada keheningan dingin yang tersisa.
Sal bangkit dan berjalan ke bar kecil di sudut ruangan. "Anggur?" tanyanya, tanpa berbalik.
"Tidak, terima kasih," jawab Isabella, suaranya datar.
Sal menuangkan dua jari wiski gelap untuk dirinya sendiri, lalu berbalik dan menyandarkan tubuhnya di konter marmer. Memberikan jarak di antara mereka.
"Sekarang," kata Sal. "Mari kita bicara tentang perjanjianmu."
Isabella berdiri, meletakkan tangan di meja untuk menopang diri. "Aku tidak menyetujui apa pun. Kau memaksaku, Sal."
"Aku tidak perlu persetujuan mu, Bella," koreksi Sal pelan. "Aku menetapkan syaratnya. Utang Marcus lunas. Harga untuk kebebasan bisnisnya adalah kebebasanmu." Dia meneguk minumannya. "Besok, aku akan membuat pengumuman resmi. Kau akan kembali sebagai istriku."
Isabella terperangah. "Apa? Tidak! Kita sudah bercerai! Itu tidak mungkin."
"Di mata hukum, iya. Tapi di mata lingkungan kita, di mata teman-teman bisnisku, kau hanya mengambil cuti panjang dan sekarang kembali. Kau akan mendampingiku di acara-acara. Kau akan memainkan peran Nyonya Giordano yang sempurna, anggun, diam, dan patuh."
Dia berjalan mendekat, setiap langkahnya mengikis udara di antara mereka. Isabella tidak mundur.
"Dan sebagai imbalannya, aku akan melayani nafsu mu yang kau bicarakan," sahut Isabella, suaranya bergetar.
Sal tersenyum. Senyuman predator yang melihat mangsa menyerah. Dia berhenti beberapa inci darinya, aura wiski dan kekuasaan menyelimutinya.
"Tepat sekali," bisik Sal. "Hanya ada satu aturan, Bella. Kau bisa membenciku, kau bisa mencoba lari. Tapi saat aku membutuhkanmu, kau harus ada. Tidak ada kata tidak."
Sal menjatuhkan gelasnya yang kosong ke meja. Bunyinya seperti guntur di dalam ruangan. Tatapannya menuntut, panas, dan dingin dalam waktu bersamaan.
"Malam ini, kau tidur di kamarku. Kau akan melayani Tuanmu, Bella."
***
Keheningan yang mencekik memenuhi kamar tidur utama, yang dulunya adalah kamar khusus melayani Sal selama dua tahun dan kini terasa asing dan mengancam. Ruangan itu didominasi oleh tempat tidur king-size yang dilapisi sutra gelap, di mana Sal berdiri di sampingnya, melepaskan kemejanya dengan gerakan lambat dan berirama.
Isabella berdiri kaku di tengah ruangan. Jantungnya berdebar kencang. Dia menatap wajah Sal, mencari jejak keraguan atau belas kasihan, tetapi tidak menemukan apa-apa selain kekosongan yang dingin.
"Lepaskan pakaianmu," perintah Sal, suaranya rendah dan serak, menghilangkan sisa-sisa Ayah yang Penyayang yang ia tunjukkan di hadapan anak-anaknya.
Isabella mengepalkan tangannya. "Aku bukan barang dagangan, Sal. Aku mantan istrimu."
Sal berhenti sejenak, melepas kemejanya dan melemparkannya ke kursi beludru. Dia berjalan mendekat, tatapannya menyusuri tubuh Isabella dengan pandangan yang membuat kulitnya merinding.
"Mantan? Kau benar. Tapi malam ini, kau adalah jaminan," koreksi Sal, suaranya dipenuhi otoritas yang tidak bisa dibantah. "Dan jaminan adalah milikku, untuk digunakan sesuai keinginanku. Utang Marcus lunas, Bella. Sekarang, saatnya kau bayar harganya."
Isabella tahu melawan secara fisik tidak ada gunanya. Dia mengenal kekuatan Sal, kekejamannya yang tersembunyi.
Perlahan, dengan tangan bergetar, Isabella mengangkat tangannya ke samping melepaskan kancing Dress nya. Pakaian itu meluncur ke lantai, meninggalkan Isabella hanya dalam balutan pakaian dalam.
Sal tidak bergerak, tetapi matanya mata berkilauan. Ada kehausan di sana, hasrat yang telah lama terkunci, bercampur dengan kebanggaan yang mengerikan.
"Mendekat lah," pintanya.
Isabella mengambil langkah maju yang enggan, memasuki lingkaran cahaya yang mengelilingi Sal.
"Dua tahun," bisik Sal, suaranya kini hampir seperti desisan. "Aku membuang mu, Bella. Aku melepaskan mu. Tapi setiap kali aku menyentuh wanita lain, aku hanya teringat pada sumpahku dan betapa dinginnya rumah ini tanpamu."
Dia mengangkat tangan dan menyentuh pipi Isabella, sentuhan yang luar biasa lembut kontras yang membuat Isabella semakin takut. Kelembutan ini hanya dimiliki oleh Monster.
"Malam ini, kau kembali. Dan kau akan mengingat kau tidak bisa pergi dariku," kata Sal.
Isabella menutup matanya, bersiap menerima nasibnya, tetapi pada saat yang sama, tekad kuat muncul di hatinya. Dia mungkin adalah jaminan, tetapi dia tidak akan pernah menjadi b***k. Dia akan menanggungnya, dan dia akan mencari jalan keluar.
Saat Sal mendekatkan bibirnya, hasrat gelap menguasai mereka, Isabella berpegangan pada satu pikiran. Aku akan bertahan. Aku akan menghancurkan mu dari dalam.
Dalam keheningan malam
Bibir Sal menyentuh permukaan kulit leher Bella, mengikuti lekuk tulang selangkanya yang halus. Tangannya melepaskan kaitan bra, lalu memegang dua gundukan Bella, meremasnya dengan sangat lembut.
Bibir Sal kemudian mengecup dan menghisap pucuk mahkota yang memerah, seolah menyesap tetesan kehangatan yang baru ditemukan.
Sal mengangkat tubuh Bella ke kasur, meletakkannya dengan hati-hati. Sal menunduk, menemukan area paling sensitif Bella. Ujung rasanya mulai mengolah area itu, mengundang cairan yang memanas dan meluap, membuat Bella melengkungkan tubuhnya karena kenikmatan yang memuncak.
Sal menanggalkan pakaiannya, memperlihatkan kekuatan tubuhnya yang tegang. Sal meluncur perlahan ke dalam kehangatan Bella. Mereka mulai bergerak dalam irama yang lembut namun memabukkan, menguasai setiap sudut keintiman mereka.
Tubuh Bella menyerah, melepaskan nektar yang luar biasa deras, sebuah pelepasan hebat yang tiba-tiba.
Sal menekankan tubuhnya, mengubah irama menjadi hentakan yang kuat dan dominan, menguasai arus gairah di dalam tubuh Bella hingga napasnya habis.