Kembali ke Masa Lalu

1259 Words
Bandung, 2008 Suasana malam di desa Mekarjaya, Bandung, terlihat begitu sunyi. Rumah minimalis yang hanya diberi penerangan lampu bohlam berwarna kuning memperlihatkan seorang bidan yang sedang memberikan instruksi. "Ayo, Bu, dorong terus jangan ditahan." Wanita muda itu terlihat bercucuran keringat dan air mata, saat mengikuti instruksi sang bidan. "Bu, saya sudah tidak kuat. Saya mau menyerah saja," keluhnya. Dirinya seperti tak kuat menahan sakit yang luar bisa menyerangnya. Kelopak mata itu terpejam, berharap dengan begitu rasa sakit ditubuhnya bisa berkurang. "Bu, jangan memejamkan mata. Ayo, Bu, tarik napas lalu dorong," perintah bidan itu lagi. Namun, titah itu tak dihiraukan oleh wanita yang terlihat sudah tak berdaya itu. Rembulan malam yang begitu besar menampakkan cahaya putih. Rembulan itu begitu dekat dengan bumi, cahayanya yang lembut membuat bumi yang tersorot menjadi terang. Namun, tanpa ada yang sadar, rembulan itu memperlihatkan sekilat cahaya yang nampak berbeda. Sedetik kemudian, waktu seakan berhenti, listrik menjadi padam. Cahaya rembulan itu seolah merambat menuju bumi, berhenti tepat pada tubuh wanita yang tengah berjuang untuk melahirkan seorang anak, wanita itu tak lain adalah Maharani. Suasana begitu tegang, sehingga kejadian 'istimewa' itu luput dari pengawasan. Saat listrik kembali berarus, rembulan yang tadi bercahaya aneh kini kembali normal. Semua berjalan normal sebagaimana mestinya. "Bu, buka mata, Ibu. Lihatlah anak ibu sudah terlihat rambutnya." Suara penolong persalinan itu menyadarkan Maharani, ia belum sepenuhnya mengerti apa yang telah terjadi. Namun, rasa mulas yang ia rasakan serta sesuatu yang ingin keluar dari bawah sana, membuat ia mengikuti instruksi itu. Ara, itulah nama panggilan wanita yang sebentar lagi menyandang gelar sebagai ibu. Ia mengejan sekuat tenaga, berusaha mengeluarkan jabang bayi dari perutnya. Oekk ... Oekk ... Oekk .... Suara tangisan itu terdengar begitu syahdu di telinga Ara. Suara itu membuatnya tertegun sejenak. 'Aku pernah mendengar suara ini, tapi kapan?' batin Ara linglung. Ia memfokuskan ingatannya, mengumpulkan puing-puing masa lalu. "Suara itu ...." Ara terkesiap, tersadar akan kejadian pada masa tiga belas tahun silam. Masa di mana ia melahirkan Kaylani. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, 'Apakah doanya untuk memperbaiki semua kesalahannya terkabul? Atau ini hanya mimpi?' Maharani juga mengingat jika dalam situasi ini Adam Suseno tidak mendampingi dirinya, suaminya justru pergi entah kemana. Jika ini benar terjadi, berarti ini semua bukan mimpi. Jikalau ia kembali ke masa tiga belas tahun silam, maka ia harus merubah sikapnya dari sekarang. Karena dari sinilah masalah itu bermula. "Suami saya di mana, Bu?" tanya Maharani pada seorang bidan yang sudah menolongnya. Ekpresi wajahnya tampak serius, berharap jawaban sang bidan sama seperti dulu. "Suami ibu sedang tidak ada. Setelah menjemput saya tadi dia langsung pergi." Bibir tipis Ara mengulum senyum. Binar matanya tampak bahagia. "Terima kasih," jawab Maharani. "Bayi Ibu perempuan, dia sangat cantik." Bu bidan segera memberikan bayi Maharani setelah dibedong dan bersihkan. Tangan Maharani terulur ke depan untuk menyambut bayi mungil di depannya. Senyum di bibirnya semakin lebar, sorot mata itu tak lepas dari bayi cantik yang kini berada dalam gendongannya. "Cantik," gumam Ara. Jemarinya mengelus lembut pada pipi bayi berwarna merah. Kemudian mengecup pipi yang terasa lembut seperti sutra sembari berucap, "Aku akan menjadi Mamah terbaik untuk mu." Dari arah luar, derap langkah terdengar begitu nyaring di telinga Maharani membuat wanita itu mengarahkan pandangannya menuju pintu yang tertutup. "Mas Adam," lirih Ara. Tidak salah lagi, suara itu pasti berasal dari langkah kaki suaminya. Iramanya sama persis. Memori benaknya memutar kenangan pada malam itu. Dengan emosi yang meluap, ia menghampiri Adam sembari mengeluarkan bom caci maki. Ara menghela napas panjang. Kali ini ia menyunggingkan senyuman termanis miliknya. Bersiap menyambut kedatangan sang suami. "Ini langkah awalmu, Ara. Ayo perbaiki sikapmu, agar tidak menjadi masalah ke depannya." Ara menyakinkan dirinya untuk bisa menghadapi masalah yang membuat dirinya begitu egois. Diletakkanya bayinya hati-hati di atas ranjang. Perlahan ia turun dari ranjangnya, rasa nyeri setelah melahirkan tak ia hiraukan. Ia ingin bertanya pada sang suami apa yang sebenarnya terjadi, persis seperti dulu. "Abang, apa yang terjadi?" tanya Maharani dengan nada cemas. Adam menyentuh dagunya yang terasa nyeri, sudut bibirnya yang telah robek membuat lelaki itu sulit mengeluarkan suaranya. Ia menatap sang istri dengan raut wajah penuh penyesalan, mengisyaratkan pada Ara kalau hal buruk telah terjadi padanya. "Abang? Jawab Ara, Bang." Ara mengguncang pundak Adam pelan. Rasa khawatir hinggap di hati Ara, dulu ia terlalu terbakar amarah hingga tidak peduli dengan keadaan sang suami yang terluka. Namun, sekarang luka itu terlihat jelas. Membuat hatinya memanas. Dengan luka lebam di bibir, Ara menebak jika suamimya habis dipukuli. "Neng, maafin Abang yang tak bisa menemani Neng saat melahirkan. Tadi Abang pergi untuk meminjam uang dari pak basuki untuk biaya persalinan, tapi di tengah jalan para pemuda yang mabuk mengambil uang Abang," jelas Adam lirih. Tubuhnya terasa lemas, ia berlutut di depan Maharani. Diraihnya kedua tangan Ara, tatapannya penuh mengiba. "Maaf, tapi Abang janji akan mendapatkan uang pengganti secepatnya." Ara menarik tangannya yang bertautan dengan tangan Adam, dirinya lalu berkata, "Tidak apa-apa, Bang. Asal Abang selamat, Neng sudah bersyukur. Untuk masalah biaya persalinan Neng, kita pakai uang yang ada dulu Bang." Tubuh Adam mengikuti irama tarikan tangan Ara, perlahan ia bangkit berdiri. "Tapi itu untuk bayar sewa rumah bulan depan," balas Adam dengan wajah tertekuk. "Kita pikirlan itu nanti, Bang. Untuk sekarang biaya persalinanku lebih penting. Ayo, Bang, dibayar dulu itu, tidak enak membuat bu bidan menunggu." Ara membali tubuhnya, hendak kembali ke ranjang tidur. Namun, tangannya lebih dulu ditahan oleh Adam. "Apa itu anak kita?" tanya Adam yang baru sadar dengan sosok yang berada di atas ranjang mereka. Ketakutannya telah sirna, sehingga ia bisa kembali berpikir jernih. "Iya. Cantikkan?" Ara mengangkat bayi mungil itu lalu menyerahkan pada Adam. Membiarkan sang suami menggendong sekaligus mengadzaninya. "Jadi, sekarang aku seorang Ayah?" ujar Adam sedikit tak percaya. Rasanya seperti mimpi jika kini ia telah menimang seorang bayi. Dekapan adam semakin erat, dadanya membuncah bahagia saat bayi itu menangis. "Ini bukan mimpi. Abang yang sudah merawatku dan calon anak kita selama sembilan bulan, kenapa sekarang Abang berucap demikian?" ucap Ara menyakinkan Adam. "Iya, Neng. Maaf Abang begitu bahagia." Dalam hatinya Adam tak putus mengucap syukur. Kini Adam mengalihkan pandangannya ke arah Bu bidan lalu berucap, " Terima kasih, Bu. Atas pertolongannya. Maaf sikap saya tadi yang langsung pergi setelah menjemput ibu." "Tidak apa-apa. Saya bisa memakluminya." Bidan itu tersenyum tipis. Indra pendengaranya sejak tadi tidak sengaja menangkap semua percakapan Ara dan Adam. Sehingga ia tak perlu repot-repot meminta penjelasan. "Ini biaya untuk persalinan istri saya, maaf saya hanya memiliki uang segini, Bu," ungkap Adam jujur. "Ini lebih dari cukup, Pak Adam, Bu Ara." "Sekali lagi terima kasih," balas Adam. "Tidak perlu sungkan, Pak. Sudah kewajiban saya untuk membantu." Bidan itu lantas mengemasi barang-barangnya. Walau sebenarnya uang diberikan Adam kurang, tetapi setelah mendengar bagaimana kondisi keuangan keluarga yang baru saja melahirkan hanya pas-pasan, hatinya menjadi luluh. Ia paham betul dengan hal seperti ini. Hidup serba kekurangan dan memiliki seorang bayi pasti akan membuat keluarga itu kesulitan. Dirinya tak mau mengusik kebahagiaan mereka. Seusainya berkemas, ia langsung menghampiri Adam dan Ara. "Saya pamit pulang dulu, dan uang ini untuk bayi Bapak saja. Saya hanya mengambil seratus ribu untuk obat biaya obatnya," ujar sang bidan berubah pikiran. "Jangan begitu, Bu. Uang ini sudah menjadi hak Ibu," tolak Adam halus. Ditempatnya, bibir Ara sedikit ternganga. 'Bukankah dulu bidan itu pergi dengan wajah kesal karena tidak mendapatkan bayaran? Tapi mengapa sekarang ia justru memberikan pertolongan pada keluarganya secara cuma-cuma? ' "Mungkinkah ini buah dari keikhlasan? " tanya Ara di tengah kebisuannya. Perasaan hangat mendadak muncul. Ia semakin bersemangat untuk merubah kepribadian menjadi lebih baik lagi. Ia yakin, semakin banyak hal baik yang ia tanam, maka semakin banyak pula kebaikan lainya yang akan ia tuai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD