Beradaptasi

1041 Words
Malam kian matang. Setelah menidurkan bayi mereka, Ara dengan telaten mengobati lebam di wajah Adam. Meskipun masih merasakan sakit di bawah sana bekas lahiran. Namun, Ara sepertinya tak memperdulikannya. Wanita itu sudah pernah merasakan kesakitan yang lebih dari itu, hingga rasanya sangat kebal. "Awww." Adam meringis pelan. Ditahannya tangan Ara yang tengah mengolesi salep di sudut bibirnya. "Maaf, maaf." Ara meringis kecil. Gerakan tangannya kini melambat, dengan hati-hati ia meneruskan mengobati luka Adam. "Makasih ya, Neng," ucap Adam tersenyum manis menatap istrinya yang tengah membereskan obat P3K. "Iya. Abang tidur dulu sana." Ara membalas senyuman Adam tak kalah manis sembari memasukkan kotak obat itu dalam laci nakas. Lantas merebahkan diri di samping bayi yang baru ia lahirkan. "Bang?" panggil Ara. Seraya memiringkan tubuh mungilnya ke arah Adam. "Iya? " Adam menoleh sekilas pada Ara. Menatap penuh makna pada istrinya untuk berbicara. "Abang sudah menyiapkan nama untuk anak kita?" Adam menatap bayi perempuan itu dengan penuh kasih sayang, lalu berkata, "Anak kita sangat cantik, dan terlahir saat kita dalam fase begitu kekurangan, aku ingin anak kita menjadi anak yang kuat dan bisa menyayangi kedua orang tua serta orang sekitar, aku memberikan nama, Kaylani." "Kaylani?" ulang Ara. "Iya, Kaylani Suseno. Kau tidak setuju?" tanya Adam, ia mulai berjaga-jaga jika saja sang istri sudah tidak setuju, Adam begitu tahu sifat sang istri jika menolak sesuatu pasti mengoceh tak ada habisnya. "Tidak, Bang. Aku setuju nama yang cantik," balas Ara dengan menampilkan senyum khas miliknya. "Syukurlah jika kau setuju, aku kira kau tidak menyukainya," ujar Adam menarik napas lega. "Tidak, Bang. Aku setuju kita jaga anak kita bersama-sama, ya." "Pastinya, sudah larut malam, mari kita tidur." Adam membenarkan selimut Kaylani. Mengecupnya singkat sebelum memejamkan matanya. Ara menatap haru kedua sosok di depannya. "Kalian adalah hartaku yang paling berharga. Aku berjanji akan menjaga kalian sepenuh hatiku." Cukup lama Ara menatap keduanya secara bergantian. Saat mendengar deru napas Adam yang teratur, dirinya baru mulai menutup kelopak matanya. Tak butuh banyak waktu lama, Ara dengan cepat terlelap dalam tidurnya. *** Suara khas tangis bayi terdengar menggema di rumah minimalis itu. Membuat Ara sontak terjaga dari tidurnya. "Aaah brisik sekali," gumam Ara dengan mata menyipit melihat ke arah Kaylani. Ia mengguncang tubuh Adam pelan, berusaha membangunkan suaminya. "Abang, bangun," pekik Ara mengguncang tubuh Adam lebih kencang. Rasa kantung begitu hebat menyerangnya hingga kelopak matanya terasa lengket dan sulit terbuka sempurna. Adam menggeliat pelan. Dirinya berusaha keras untuk membuka matanya lebar. "Abang, Kaylani nangis," ucap Ara lagi. Ia masih tak bergeming pada posisinya. Masih setia menutup rapat matanya, hanya saja mulutnya yang terbuka. "Neng kau ibunya, seharusnya kau diamkan dia," jawab Adam menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Ara. Lenggang. Ara menutup rapat mulutnya. Malas menanggapi Adam. Setelah yakin jika Adam telah terbangun, Ara kembali ke alam bawah sadarnya. "Ara, mungkin dia haus. Kau susui dia dulu ya?" bujuk Adam. Ia sendiri bingung bagaimana cara menenangkan sang anak. Ini baru pertama kalinya ia memiliki anak, tentu saja ia sangat kewalahan. Lenggang, tak ada jawaban dari Ara. Hanya terdengar dengkuran hasil dari mulutnya. "Astaga, Neng. Ini Kay, terus menangis. Bangun." Adam mengguncang-guncang tubuh Ara. Merasa tidurnya terganggu, Ara sedikit membuka matanya lalu membalas ucapan Adam dengan nada acuh tak acuh, "Ara juga nggak tau, Bang. Coba Abang bawa keluar saja. Mungkin ia kepanasan, suara tangisannya mengganggu tidurku." Adam menggelengkan kepalanya saat mendengar ucapan Ara. Namun, ia sadar mungkin saja ia kelelahan setelah melahirkan. Adam pun mengikuti ucapan Ara, membawa sang bayi keluar rumah untuk mencari udara segar. "Sayang, tenang ya. Ayah di sini," ucap Adam lembut. Namun, bukannya terdiam, kaylani justru menangis kencang. Adam mulai resah, ia kembali masuk ke dalam, membujuk Ara kembali. "Neng, ayo bangun. Kay masih terus menangis, Abang bingung untuk mendiamkan." Nihil, Ara masih tidak merubah posisinya. Suara tangisan yang nyaring membuat Adam kini lebih fokus pada sang anak. "Hei Ara. Bukankah kau sudah berjanji mau memperbaiki kesalahanmu?" Kalimat yang entah dari mana asalnya berdengung keras di telinga Ara. Kalimat itu terdengar nyaring sangat nyaring, membuat Ara refleks bangun. "Astaga. Apa yang baru saja aku katakan? " Ara mengusap wajahnya gusar. Ternyata tak mudah untuk berubah. Ia butuh beradaptasi. "Kau tidak boleh egois ra," gumam Ara pada dirinya sendiri. Ia terduduk sejenak. Mencoba melawan kantuk nya. Ia masih ingat saja kalau dulu di saat seperti ini, dirinya akan menyerahkan semua tugas menenangkan sang bayi pada Adam. Sedangkan dia akan bersantai merebahkan dirinya dan menuju alam mimpi. "Tidak. Kau tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama." Ara meneguhkan diri. Lantas membuka suara memanggil Adam yang terlihat sedang berusaha menenangkan Kaylani. "Abang," panggil Ara dengan suara serak. Beruntung suara tangisan Kaylani masih terdengar, sehingga ia bisa menebus kesalahannya. Mendengar suara Ara, Adam lantas membalikkan tubuhnya menatap Ara yang kini sudah setengah duduk memandang ke arahnya. "Ada apa?" jawab Adam ketus. "Sini, biarkan aku yang mendiamkan Kay." Ara mengulurkan tangannya, bersiap untuk menerima Kaylani yang kini masih terus menangis di gendongan Adam. Binar mata Adam berubah cerah. Ia dengan senang hati memberikan Kay pada Ara. Tidak peduli dengan kejanggalan Ara yang mendadak berubah. Ara merengkuh Kaylani erat. Dengan tulus berbagi kehangatan dengan bayi mungilnya. "Cup ... Cup ... Cup. Sayang tidur lagi ya." Ara menepuk-nepup p****t Kaylani dengan lembut. Berusaha meneng kan bayinya. Sebelum itu, ia memeriksa sang bayi. Apakah ia sedang buang air kecil atau mungkin sedang buang air besar hingga membuat ia tidak nyaman. Namun, keduanya tidak terjadi. "Sayang haus ya?" ujar Ara lagi. Sorot matanya berubah sendu. Pasalnya, ASI nya sejak tadi belum juga keluar. Bidan sudah memberi tahu jika bayinya masih bisa bertahan kurang lebih 3 hari, tanpa ada asupan. Tetapi dirinya harus terus berusaha agar sang bayi belajar mengisap miliknya, agar ASI nya keluar. "Kenapa ya, Neng. Kay terus menangis?" tanya Adam yang ikut penasaran. "Mungkin dia haus, Bang. Tapi ASI ku belum keluar," jawab Ara dengan nada sendu. "Bagaimana sih, kenapa bisa begitu. Coba kau usahakan agar ASI mu segera keluar. Kasian itu bayi, dari tadi gak mau diam. Malu juga dengan tetangga!" Ara nampak berpikir dengan menautkan alisnya, kenapa Adam bisa berbicara seperti itu. Bukankah suaminya itu lemah lembut, apa yang terjadi? Saat dirinya mulai berubah baik, kenapa sifat suaminya buruk. Ara ingat betul saat dulu seperti ini, dia menyuruh sang suami pagi-pagi buta untuk mencari uang lalu membeli s**u untuk anaknya. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD