Nostalgia

1056 Words
Banyak yang berkata jika dalam berkeluarga harus ada air dan harus ada api. Ara berpikir apakah sekarang ia yang harus menjadi air agar memadamkan api di hati Adam? "Tapi ...." Ara menelan salivanya lamat-lamat. Hatinya ingin memberontak, dan meneriaki Adam. Namun, bukankah ia sudah berjanji untuk berubah? 'Sabar, Ara. Mungkin ini ujian untukmu,' batin Ara dengan helaan napas yang terdengar berat. Adam mengusap wajahnya, merasa bersalah karena telah keceplosan menggunakan nada tinggi. "Neng maafin Abang, ya. Abang tadi panik karena bayi kita sejak tadi tidak mau diam." Mendengar ucapan Adam yang melembut membuat Ara lega. Ia pikir semuanya akan berubah. Dirinya yang menjadi tokoh protagonis, sedangkan Adam menjalani peran antagonis. Melihat Ara yang masih tak bergeming, Adam lalu merengkuh Ara seraya berujar, "Neng, Abang beneran tidak sengaja tadi, tolong jangan dimasukkan ke dalam hati." Ara tersenyum tipis. Ia mengingat beberapa kata ucapan tetangga sewaktu dulu. 'Setiap orang tua akan berubah menjadi bunglon jika sudah berurusan dengan anak, apalagi kalau anak menangis, sakit, bahkan saat anak tidak ingin makan.' Maharani berpikir mungkin ini yang terjadi pada Adam sekarang. Lagi pula, ia tahu persis watak suaminya yang lemah lembut serta penyayang. Akan tetapi, manusia juga pasti memiliki puncak kesabarannya sendiri kan? "Tidak apa-apa, Bang. Anak kita sepertinya masih butuh beradaptasi, waktu dia di dalam perutku ia begitu nyaman, setelah keluar ia ingin mencari kenyamanan itu," jelas Ara. "Tapi apa ini bukan hal yang serius? Aku takut terjadi sesuatu padanya," tanya Adam sembari mengelus tubuh Kaylani yang kini terbungkus rapi dengan kain. "Tidak apa-apa, biar aku gendong." Ara menimang bayi mereka selayaknya ibu-ibu pada umumnya. Ia menepuk-nepuk lembut tubuh mungil itu, berharap sentuhannya bisa menenangkannya. Adam menatap Ara haru. Ia tak menyangka dengan perubahan istrinya. Ketika sebelum melahirkan, Ara adalah tipikal orang pemarah. Tapi sekarang, dia kini bak malaikat! Pandangan Adam terfokus pada wajah cantik Ara. Angin yang berhembus menerpa wajahnya membuatnya semakin bersemangat. "Abang janji besok Abang akan lebih keras mencari pekerjaan agar bisa membeli s**u untuk putri kita. Doakan ya," ujar Adam sungguh-sungguh. "Tidak perlu merasa bersalah begitu, Bang. Bukankah menyusui itu tugasku? Aku yang seharusnya berterima kasih." Adam membelai lembut puncak kepala Ara. "Abang sudah bersyukur kau telah mengandung dan melahirkan anak Abang. Sekarang giliran Abang untuk bertanggung jawab atasnya." Ara tersenyum pahit mendengar ucapan Adam. Ia merasa sangat menyesal hingga membuat dadanya sesak. 'Lihatlah Ara, tatapan itu penuh akan cinta, dan ucapannya penuh dengan kasih sayang. Bagaimana bisa selama ini kau justru menyia-nyiakannya?' "Kenapa menatapku seperti, Neng? Apa Abang salah berucap?" Adam menangkup kedua pipi Ara. Berusaha menebak hal gerangan apa yang membuat istrinya selalu tersenyum kala menatapnya. "Tidak ada apa-apa. Abang tidurlah, besok mau mencari kerjakan?" ucap Ara mengalihkan topik pembicaraan. "Abang tidak lagi mengantuk." Adam mengambil duduk di samping Ara. Merasa tidak enak kalau ia memejamkan mata lebih dulu sedangkan Ara begadang untuk menjaga putri mereka. "Kay mungkin sebentar lagi juga tertidur. Abang tidur saja." Adam melirik sekilas pada bayi mereka. Gadis kecilnya memang tidak lagi menangis. "Dia hanya perlu digendong lebih lama lagi," ujar Ara menyakinkan Adam. "Ya sudah. Kalau dia masih belum tertidur hingga lama, bangunkan Abang saja." Adam merebahkan dirinya bersiap tidur. "Iya, Abang." Adam menatap Ara sekali lagi. Mendapat anggukan penuh keyakinan dari istrinya, ia pun perlahan menutupkan kelopak matanya. Ara masih setia mendekap Kaylani. "Sayang, tidur ya," pinta Ara sembari berusaha keras menahan kantuknya. Ekor matanya mengarah pada Adam, wajah tampan suaminya cukup membuat dirinya agar terus terjaga. "Tampan," lirih Ara tanpa sadar dengan bibir melengkungkan senyuman. Wajah itu pula yang sudah menghipnotisnya beberapa tahun lalu. Benaknya kini memutar kenangan saat pertama kali bertemu dengan Adam beberapa tahun yang lalu. *** Seorang lelaki bertahan tanpa lelah sembari memacu keringatnya yang bercucuran membasahi tubuhnya. Napasnya mulai terengah-engah sejalan dengan waktu. Lelaki itu adalah Adam, yang sedang bertanding sepak bola dengan tim lawan kampung sebelah. Saat itu, Ara baru saja diajak sahabatnya untuk menonton bola. Mata Ara seperti dimanjakan oleh pesona Adam. "Dia siapa?" tanya Ara pada sang sahabat sembari menunjuk ke arah tengah lapangan menggunakan dagunya. "Yang mana?" "Nomor punggung tujuh belas," jawab Ara malu-malu. "Dia Adam. Kau lihat di sana." Sang sahabat menunjuk ke arah para penonton. Ara pun mengikuti telunjuk sahabat. Banyak orang yang ingin memberinya seteguk air, tapi Adam menghiraukannya. Ia justru melanjutkan kegiatannya memainkan bola untuk pemanasan. Matahari sekarang sedang tidak bersahabat, sang surya memancarkan cahaya terik yang menyengat. Namun, angin segar memberinya kenikmatan yang tak terbatas. "Itu artinya kau masih ada kesempatan." Ara menatap bingung pada sahabatnya. "Maksudnya?" "Astaga, Ara. Meski kau pintar secara akademik, tapi kau masih polos masalah pria," canda sahabat Ara dengan tertawa kecil. Ara memajukan bibirnya. Memang benar yang dikatakan sahabatnya. Ini baru pertama kalinya ia jatuh cinta, dan ia berharap bisa memilikinya untuk selamanya. "Baiklah. Akan aku jelaskan." Deheman kecil merasuk ke dalam gendang telinga Ara, membuat gadis itu semakin kesal. "Itu artinya, Adam tidak tertarik dengan mereka. Jadi kau bisa bersaing untuk mendapatkan hatinya. Siapa tau kaulah wanita yang Adam cari." Ara mendengar serius ucapan sahabatnya. Bola matanya berputar menatap sekitar. Gemuruh-gemuruh riuh dengan nada manja, yang tengah menyemangati Adam justru terkesan hanya formalitas untuk ingin mendapat perhatian darinya. Namun, tak satu pun Adam menatap fokus salah satu dari mereka. Laki-laki itu hanya merespon dengan senyuman setipis mungkin. Penampilannya yang profesional inilah yang membuatnya menjadi juara. 'Ia hanya terfokus pada satu titik tujuan, dan tidak gampang tergoda.' Karena sikap Adam ini jugalah yang menjadikanya idola bagi kaum hawa. 'Jika dia bisa menjaga pandangannya, dia juga pasti bisa menjaga hati wanitanya.' "Kenapa dengan para penonton?" tanya Ara yang pura-pura tidak paham. "Mereka semua penggemar Adam! Meskipun dia bukan dari golongan orang punya, tapi dia menjadi rebutan para wanita," jelasnya. Dari ucapan sang sahabat, Ara bertekad untuk mendapatkan Adam, dan benar saja, memang ialah wanita yang dicari, tak lama seusai pertandingan sepak bola, takdir tidak sengaja mempertemukan mereka. Lalu di usia yang terbilang sangat muda keduanya mengikat janji suci pernikahan. Ara menyudahi lamunannya. Kali ini ia tak lagi kuat menahan kantuknya. Tak lupa ia mengucapkan rasa syukur ketika melihat Kaylani sudah tertidur pulas di pangkuannya. Hati-hati Ara meletakan bayinya di samping Adam sembari melirik jam yang bertengger di dinding. "Sebenar lagi, waktu subuh," ucap Ara. Ia menarik napas panjang. Lagi-lagi ia harus mengabaikan keinginannya untuk tertidur kembali. Meskipun rasa sakit bekas persalinan masih terasa, Ara menguatkan dirinya berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya, dan berniat untuk membuatkan Adam sarapan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD