Keluarga Bahagia

1026 Words
Wanginya aroma seduhan kopi menyeruak hingga ke pangkal hidung bagi penikmatnya. Tak terkecuali Adam, meskipun memejamkan matanya Adam bisa mencium aroma kopi itu. Perlahan-lahan Adam membuka matanya, menoleh ke sisi kanan, hanya ada sang putri yang masih tertidur pulas. Ia pun bergegas mencari Ara yang bisa ia tebak jika sang istri berada di dapur. "Kau membuat kopi?" tanya Adam yang kini berada di belakang Ara. "Iya, Bang. Biar Abang semangat, semalaman Abang tidur tidak nyenyak," ujar Ara sembari mengaduk kopi hitam yang ia buat dengan racikannya sendiri. "Terima kasih, Neng." Adam memeluk tubuh Ara. Meskipun kehidupan rumah tangganya serba kekurangan ia berniat tidak akan membiarkan Ara kekurangan kasih sayang. Adam percaya dengan kata pak ustad, bahagia istrimu adalah kunci rezeki mu. Hal itu terbukti, sekarang Adam mendapatkan rezeki di titipkan seorang bayi yang manis dan keluarganya sehat. Adam mensyukuri hal itu, karena rezeki bukan saja tentang materi. "Sama-sama, Bang." Ara tersenyum menunjukkan gigi putihnya yang tertata rapi, meskipun bibirnya pucat tapi tidak sedikit pun mengurangi kecantikannya. "Bang, Neng sudah membuat sarapan. Tapi hanya nasi goreng saja, karena di dapur hanya ada nasi," imbuh Ara. "Tidak apa-apa, kita makan seadanya." Adam melepaskan pelukannya, ia segera duduk di lantai menunggu Ara menghidangkan makanan, karena memang mereka sama sekali tidak memiliki meja makan. Bahkan ruang tamu hanya ada tikar lantai saja. Ara langsung menghidangkan sepiring nasi goreng dan secangkir kopi hitam di hadapan Adam. Adam menautkan alisnya, lalu berkata, "Kenapa hanya satu piring, Neng. Kau tidak sarapan?" "Sarapan, Bang. Tapi tunggu Abang kenyang." "Apa nasi gorengnya hanya ada ini saja?" tanya Adam yang penasaran, dan Ara hanya mengangguk tanpa bersuara. Dulu mungkin Ara akan bersikap egois, ia lebih mementingkan perutnya sendiri tanpa memikirkan Adam. Tapi kini ia berusaha menahan laparnya menunggu sisa makanan Adam. Kalau pun tidak ada sisa ia bisa meminum air putih sebagai pengganjal perutnya yang kosong. "Neng, harusnya kau yang banyak makan bukan Abang. Kau ini baru lahiran, perlu banyak asupan gizi," ucap Adam sembari menyerahkan piring yang berisi nasi goreng pada Ara. "Tidak Bang. Setelah ini Abang akan mencari pekerjaan, Abang juga butuh tenaga yang banyak." Saat ini perut Adam memang sedang keroncongan, ia tidak mungkin menolak lagi, tapi istrinya juga pasti kelaparan. "Ayo, cepat makan, Bang. Nanti keburu dingin," titah Ara. Adam menyuapkan satu sendok nasi goreng ke mulutnya, lalu satu sendok ke depan mulut Ara. "Tidak, Bang. Nasi goreng itu hanya cukup untuk satu orang. Abang habiskan saja." Ara memalingkan wajahnya. Tangannya terulur untuk menampik suapan Adam. "Kalau Abang makan, kau juga harus makan," ujar Adam saat tangannya masih setia mengudara. Ara menggelengkan kepalanya. Aktivitas Adam cukup berat. Suaminya harus kesana-kemari mencari pekerjaan, dan itu pun harus jalan kaki. "Ayolah, Neng. Kau juga harus makan. Kau harus menyusui Kay kan? Kalau kau kelaparan, bagimana ASImu akan keluar?" Ara tampak menimbang sebentar. Diliriknya sekali lagi nasi goreng buatannya. "Buka mulutmu." Adam mendekatkan lagi sesuap nasi ke mulut Ara. Perlahan Ara membuka mulutnya. Dalam hatinya ia berharap agar Adam cepat memperoleh pekerjaan sehingga ia bisa membeli makan. Adam pun berkata, "Romantis kan Neng. Biar kita sama-sama makan, Abang memang lapar, tapi Abang tidak mungkin egois membiarkan istri Abang kelaparan." "Abang bisa saja," ucap Ara tersipu malu. 'Aaah ke mana saja kau dulu Ara, bagaimana bisa kau buta akan kasih sayang Adam. Lihatlah, dia pria yang bertanggung jawab. Hanya keadaannya saja yang memaksanya belum bisa membahagiakanmu.' Ara membatin. Helaan napas Ara terdengar berat. Seolah penyesalannya yang menumpuk pun ikut terhempas. "Oh salah, bukannya dia yang tidak membahagiakanmu, tetapi kau sendiri yang tidak bisa bersyukur," ucap Ara meralat ucapan dalam benaknya. Tanpa sadar kedua mata Ara kini berkaca-kaca. "Kau kenapa?" Adam menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyuapi Ara lagi. Ditangkupnya wajah istrinya. Lalu ditatapnya dengan iba. "Maaf, ya. Abang belum bisa membahagiakanmu," cetus Adam merasa bersalah. Diusapnya kedua sudut mata Ara. Ara terkekeh pelan. Ia menepis tangan Adam, lantas membersihkan sisa air matanya sendiri. "Kau terlalu berpikiran negatif," balas Ara. Dengan cepat ia menarik bibirnya ke atas, membentuk senyuman manis khasnya. "Aku menangis bahagia. Aku beruntung memiliki suami yang pengertian serta penyayang sepertimu." "Kalau begitu, aku juga beruntung telah memiliki istri yang begitu mengerti akan diriku, dan mau menerimaku." Keduanya tertawa bersama. Dinginnya udara pagi kini telah menguap, yang tersisa hanyalah kehangatan keluarga kecil nan bahagia. "Ayo, makan lagi." Adam menyodorkan suapan kecil. Sedangkan Ara kini dengan cepat melahapnya. Keduanya asyik menghabiskan sarapan bersama dengan diselingi canda tawa. Namun, momen itu tak berlangsung lama karena Kaylani sepertinya tidak ingin membuat kedua orang tuanya bermesraan sendirian ia pun harus ikut. Bayi yang baru beberapa jam itu sepertinya sangat protektif pada ke dua orang tuanya. Oek ... oek ...oek. Suara tangisan Kay terdengar lantang. Ara tergopoh bangkit berdiri. "Biar aku saja." Adam mencegah Ara yang hendak berlari menuju ranjang mereka. "Kau jalan pelan-pelan," titah Adam sebelum pergi menemui Kaylani. Ara meringis kecil. Gerakannya yang cukup brutal saat bangkit membuat tubuh bagian bawahnya berdenyut nyeri. Hati-hati Ara menyusul Adam. Baru sampai separuh perjalanan, Adam sudah hendak kembali ke ruang makan dengan menggendong Kaylani. "Sepertinya ia ingin bergabung dengan kita," ucap Adam karena tangisan Kaylani begitu cepat reda. Ia hanya perlu mendiamkannya sebentar. "Waaah. Apa anak Mama cemburu karena tidak diajak?" goda Ara sembari menarik Kaylani ke pelukannya. "Neng, kau lanjutkan sarapannya ya. Abang mau membersihkan diri dulu." "Iya, Bang." Ara kembali meneruskan langkahnya. Namun, ia justru menuju ke beranda rumah. Ia ingin mengajak Kaylani untuk menghirup udara segar. Ia mengambil tempat duduk di salah satu kursi beranda. Tangannya masih setia menimang Kaylani. "Bagiamana, apa kau suka?" tanya Ara pada Kaylani. Ia mengecup singkat pipi Kay. Bila dulu ia kesal untuk bersama Kay, kali ini ia justru nyaman bersamanya. Cukup lama Ara menimang Kay, hingga akhirnya bayi mungil itu tertidur kembali. Huuft. Ara menghela napas panjang. Beruntung Kay tidak rewel pagi ini. Namun, itu tidak akan bertahan lama kan? Cepat atau lambat ia juga butuh ASI. Ara menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Memikirkan hal itu sukses membuatnya sendu. "Neng, Abang mau berangkat dulu," ucap Adam tiba-tiba. Suara bariton suaminya berhasil menarik Ara kembali ke dunia nyata. "Iya, Bang. Hati-hati." Ara mengambil tangan Adam, menciumnya khidmat. "Doakan Abang agar cepat mendapat pekerjaan yang layak." "Tentu, Neng selalu mendoakan yang terbaik untuk Abang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD