Berjuang

1122 Words
Adam menelusuri jalanan kota Bandung, berharap bisa menemukan lowongan pekerjaan. Namun, di kota ini mencari pekerjaan seperti mencari jarum ditumpukkan jerami. Ditambah dengan ijazah yang hanya sampai di sekolah menengah atas. Meskipun ia mengambil jurusan mekanik nyatanya masih susah untuk mencari pekerjaan. "Kemana lagi aku harus mencari pekerjaan?" gumam Adam yang kini sudah mulai putus asa. Matahari sudah semakin meninggi, perutnya yang tadi hanya berisi kopi dan beberapa sendok nasi goreng kini mulai minta diisi kembali. "Jika aku pulang tanpa membawa kabar baik, apakah Ara akan menerimanya? Dia sudah berharap aku pulang mendapatkan pekerjaan, selain itu anakku juga membutuhkan s**u," ucap Adam mendesah berat. Adam berjalan lunglai menyusuri trotoar. Ia berharap disisa tenaga yang ia miliki keajaiban akan datang menghampirinya. Cukup lama Adam berjalan, tetapi semesta seolah ingin mengujinya. Kabar baik itu belum datang. Di sepanjang jalan yang ia lihat hanyalah bangunan tinggi nan megah. Namun, tak ada secuil kertas pun yang menginformasikan kalau perusahaan itu membuka lowongan. Di trotoar jalan, kini Adam memutuskan untuk menghentikan perjalanannya. Ia beristirahat sebentar agar perutnya yang mulai keroncongan bisa mereda. Namun, nyatanya ia salah. Perutnya justru sama sekali tidak bisa diajak kompromi. Adam meringis kecil. Rasa nyeri di perutnya terasa menyiksa. Dirogohnya kantong berharap ada uang yang masih terselip di sana. Bola mata Adam berbinar seakan ia mendapatkan sebuah undian kala tangannya merasakan sebuah lipatan kertas kecil di saku celananya dan benda pipih berbentuk lingkaran. "Alhamdulillah, cukup untuk membeli minuman penunda lapar, dan sisanya bisa aku belikan obat penurun asam lambung," ucap Adam sembari menatap uang yang baru ditemukannya. Nominalnya memang terbilang kecil, hanya berjumlah dua lembar dengan angka dua, dan satu uang koin berwarna perak. Adam bergegas bangkit. Ia langsung mencari warung kecil untuk membeli apa yang ia butuhkan, dan uangnya masih tersisa koin berwarna perak. Seperti semilir angin di padang tandus. Kerongkongan Adam kini terasa segar kembali saat minuman penunda lapar itu masuk ke dalam rongga mulutnya. "Haaaaah." Helaan napas panjang lolos begitu saja dari bibir Adam. Dengan asupan yang tak seberapa itu, ia kembali memaksakan kakinya untuk berkeliling mencari rezeki. Namun, lagi-lagi kesabaran Adam masih diuji. Ia sudah berkeliling jauh dan nyatanya ia tidak mendapatkan apa yang ia cari. Akhirnya Adam memutuskan untuk pergi ke pasar. "Di sana aku bisa menjadi kuli panggul, seperti yang biasa aku lakukan. Setidaknya aku bisa membawa uang untuk membeli beras dan s**u buat Kay," gumam Adam perlahan melangkahkan kakinya menuju pasar. Sesampainya di pasar, tanpa Adam minta, ia justru langsung mendapatkan tawaran. "Adam, kau baru sampai, tolong bantu angkat barang ini ke gudang." Adam dengan senang hati mengangkat tumpukan karung beras yang bisa ditafsir satu karung berisi lima puluh kilogram beras. 'Ternyata rezeki mu ada di sini, Adam,' batin Adam sembari menyunggingkan senyum tipis khas miliknya. Lelah, dan haus sudah pasti Adam rasakan. Namun, saat ia mengingat bayi mungil dan istrinya yang menunggu di rumah Adam menjadi bersemangat lagi. "Pak ini sudah selesai," ucap Adam seraya mengelap keringat di dahinya. "Aku suka dengan pekerjaanmu, Adam." Pria tua yang ditaksir berumur lima puluhan tahun itu menyeringai lebar ketika melihat gudang miliknya telah penuh dengan karung beras. "Ini bayaran untukmu!" Pemilik gudang memberikan Adam uang berjumlah lima puluh ribu untuk memanggul dua puluh karung beras, meskipun tidak sebanding dengan tenang yang ia keluarkan, tapi Adam tetap bersyukur. "Terima kasih, Pak." Adam menganggukkan kepalanya, setelah berbasa-basi sedikit ia langsung pamit undur diri. "Besok kau bisa datang kemari lagi." "Baik, Pak," sahut Adam lantas berlalu pergi. "Alhamdulillah, bisa untuk membeli susu." Senyum bahagia tercetak jelas di wajah Adam. Ia segera bergegas untuk pulang. Namun, takdir seolah mempermainkannya, di ujung jalan ada beberapa anak muda kini menghampiri dirinya dan dapat dipastikan anak muda itu ingin memalaknya. Ekspresi wajah Adam seketika berubah panik. Dengan cepat ia memutar tubuhnya, dengan cepat mencari arah lain untuk jalan pulang. "Hei, tunggu. Jangan lari kau." Adam sama sekali tak mengindahkan teriakan itu. Kakinya malah semakin bergerak kilat menjauh dari gerombolan orang yang ia taksir adalah preman pasar. Napas Adam mulai terengah-engah. Dadanya terasa sesak setelah berlari cukup jauh dan tanpa henti. "Astaga apa yang harus aku lakukan," cetus Adam saat melihat beberapa orang tampak berlari ke arahnya. Pandangan Adam menyapu sekelilingnya, mencari celah untuk bersembunyi. "Cepatlah berpikir, Adam." Pria itu menelan ludahnya gusar. Sejauh apa pun ia berlari, dirinya hanya akan kehabisan tenaga sedangkan orang-orang yang mengejarnya masih segar bugar karena telah terlatih. Preman-preman itu semakin dekat. Adam yang panik hanya berlari ke sembarang arah. Langkahnya kini tertuju pada pasar tempat ia bekerja tadi. Di tengah keramaian pengunjung pasar, Adam dengan cerdik mulai membaur bersama mereka. Tetapi sepertinya lawan yang dihadapi pantang menyerah. Suara makian para preman yang mencarinya masih terdengar jelas. "Tunggu, kau. Awas saja kalau aku bisa mendapatkan dirimu, maka tamatlah riwayatmu." Kepala Adam bergerak kesana-kemari. Meski membaur bersama dengan orang banyak, ternyata mata preman itu sangat jeli sehingga bisa mengenali targetnya. "Ya Tuhan, tolong bantulah hambamu ini," desis Adam sembari terus menyusuri area pasar. Bau keringat yang menyengat, ditambah amisnya ikan tawar tak membuat Adam mundur. "Kau pikir kau bisa lari dariku hah?" teriak salah satu preman. Jarak mereka semakin dekat. Adam yang mulai kehabisan tenaga tak kuat lagi berjalan cepat, sehingga penjahat itu mudah menyusul langkahnya. "Sepertinya takdir mau agar kau melawannya, Dam. Bukan menghindarinya seperti orang pengecut begini," keluh Adam sembari memegangi perutnya yang terasa kram. Adam tampak menimbang sebentar. Mungkinkah ia harus melawan mereka? Sudut matanya dengan cepat menghitung jumlah musuhnya. Mereka semua ada lima orang. "Astaga." Kedua bola mata Adam melebar tak kala mengetahui jumlah mereka. Perbandingan yang sangat berselisih jauh. Adam terseok menuju tempat di mana ia menjadi kuli panggul. Berharap teman-teman seperjuangannya mau membantunya melawan preman itu. "Adam, kenapa kau kembali?" tanya si pemilik gudang mengernyit heran melihat Adam yang telah bersimbah keringat. "Tolong, bantu saya Pak. Saya sedang dikejar-kejar preman pasar yang biasa mangkal di ujung gang," ucap Adam. "Aah, mereka berulah lagi rupanya." "Hahahhha." Suara tawa yang menggema keras membuat Adam sontak membalikkan tubuhnya. Wajahnya pucat pasi melihat pria bertato dengan tubuh kekar itu. "Adam, kau tenang saja. Biar aku yang tangani," ucap pemilik gudang beras itu dengan tersenyum kecut. Baginya, Adam adalah aset yang sangat berharga. Pekerjaannya bagus dan rapi. Ditambah Adam tak pernah mengeluh dengan upah yang yang ia berikan. Jika Adam babak belur, dirinya pun ikut rugi karena tidak bisa memanfaatkan jasanya lagi. Sesuai ucapannya, seseorang yang dipanggil 'Pak' oleh Adam langsung memanggil anak buahnya. Hanya dengan sekali lambaian tangan, segerombol pria dengan jaket jeans langsung datang. "Jangan ikut campur," desis preman gang geram melihat atasan Adam justru mengerahkan anak buahnya untuk melawan kelompoknya. "Adam adalah pekerjaku. Jadi aku bertanggung jawab jika sesuatu terjadi padanya." "Cih. Dasar pahlawan kesiangan." Aura perkelahian tercium pekat. Detik berikutnya dua kubu lalu saling menyerang. Adan tersenyum miris. 'Hanya uang lima puluh ribu, mereka berani mempertaruhkan nyawa.'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD