Cobaan

1019 Words
Pertarungan kian memanas. Tampakmya kekuatan kubu saling seimbang. Adam tampak gusar. Matahari sudah hampir condong ke barat, tetapi ia belum bisa pulang. "Tak perlu khawatir Adam, anak buahku pasti menang," ujar si pemilik gudang mencoba menenangkan kegelisahan Adam. Adam tersenyum simpul. Bukan itu yang ia khawatirkan, melainkan Ara. Jam makan siang sudah terlewat. Ia takut Ara akan sakit karena telat makan. "Terima kasih, Pak. Tapi saya merasa tidak enak sudah mengorbankan banyak orang," sahut Adam. Ia meneliti ke area perkelahian, beberapa orang yang terlibat sudah mengalami cidera meski tidak serius. "Tidak papa. Berkelahi sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka." Adam menghela napas panjang. Menunggu pertandingan jual beli pukulan itu usai. Beberapa menit berselang. Sekutu Adam berhasil memenangkan pertandingan. "Pergilah dan jangan berani mengusiknya lagi," seru si pemilik gudang dengan tegas. "Ba ... baik, Pak." Preman gang itu langsung lari tunggang langgang. Mereka memilih pergi sebelum malaikat maut datang menjemput akibat pukulan dari anak buah bos beras. "Lihat, Adam. Benar kan apa kataku?" "Kalian hebat sekali. Aku berhutang budi pada kalian," ujar Adam sembari menepuk-nepuk pundak salah satu anggota preman itu. "Tidak perlu sungkan. Sudah sewajarnya kami membantu teman kami yang kesusahan." "Kalau begitu, aku pamit pulang dulu. Istriku pasti cemas menunggu kedatanganku," ucap Adam sopan. "Hati-hati di jalan." Adam menganggukan kepalanya. Dengan sedikit berlari ia menuju mini market terdekat. Lebih baik ia membelanjakan uangnya untuk membeli s**u formula. Dengan begitu ia berharap tidak ada pemalak yang mengganggunya karena melihat dirinya sudah berbelanja menggunakan uang hasil kerjanya. Mata Adam awas mencari merk s**u dengan harga sesuai budget yang dimilikinya. Setelah mengitari semua rak s**u, akhirnya Adam berhasil menemukannya. Adam keluar dari mini market dengan raut wajah kusut. Uang yang dimilikinya hanya tersisa beberapa ribu. "Bagaimana aku akan membeli beras?" Kepala Adam berdenyut pelan. Bukan hanya kelaparan, tetapi ia juga mengalami dehidrasi. Sudah beberapa jam kerongkongannya tidak dibasahi air minum. Adam terseok pelan menuju rumahnya. Kakinya yang terasa pegal tak ia hiraukan. Dirinya ingin cepat-cepat sampai di rumah. Setelah beberapa menit perjalanan. Adam kini telah sampai di beranda rumahnya. Tubuhnya yang letih langsung ia dudukkan di kursi rotan depan rumahnya. "Neng," teriak Adam dengan suara parau. Suara Adam membuat Ara terperanjat dari tidurnya. Ia mengucek sebentar matanya sebelum bangkit dari ranjang. "Abang. Sudah pulang?" Panggil Ara yang kini berdiri di samping suaminya. "Tolong ambilkan abang air minum. Abang haus." "Baik, Bang." Ara kembali masuk ke dalam rumah. Lantas kembali dengan segelas air putih. "Ini, Bang." Adam langsung menyaut gelas yang diberikan Ara. Menenggaknya hingga tandas. Arah pandangan Ara tertuju pada kantong kresek yang Adam bawa. Hatinya berharap cemas Adam akan membawakan makanan untuknya. "Maaf, Neng. Abang belum bisa membelikan makanan untukmu. Uang Abang hanya cukup untuk membeli s**u Kay," jelas Adam memberitahu sebelum Ara bertanya. Mimik wajah Ara tampak kecewa. Wajahnya merah padam menahan emosi. 'Sabar, Ara,' desisnya dalam hati. "Maaf, Neng. Tapi ini masih ada uang kembalian. Meski tak cukup untuk membeli beras tetapi kau bisa membelikan beberapa bungkus mie instan." Adam mengeluarkan uang kembalian dari saku celananya. Bibir Ara memaksakan lengkungan manis. Sekuat tenaga menahan mulutnya agar tidak mengumpat. "Baik, Bang. Neng ke warung dulu," pamit Ara yang mendapatkan anggukan dari Adam. Sembari berjalan Ara hanya bisa mengumpat dalam batinnya, wajar saja dulu ia menjadi egois. Ia baru saja lahiran sedangkan tadi Adam bisa membeli s**u, bukankah ia juga bisa membeli mie instan. 'Dasar lelaki, katanya berpikir dengan logika. Tapi kenapa dia gak?' Langkah Ara terseok-seok menuju warung, entah berapa lama ia bisa sampai di warung yang menjual sembako. Tetapi karena ngedumel dalam hati menjadi tidak terasa, dan kini tubuhnya telah sampai di tempat yang dituju. "Loh, Bu Ara sudah lahiran ya?" tanya penjaga warung yang kenal dengannya. Kalau dipikir-pikir bagaimana tidak kenal, mungkin nama dia sudah terbecklis dari daftar penambah hutang di warung itu. "Sudah, Bu. Alhamdulillah," ucap Ara. "Wah, selamat ya. Jadi bulan depan bisa ya bayar hutang?" Dalam batin Ara ia berkata, 'Awalnya manis tapi berujung dengan penagihan. Kalau pun ada uang tanpa ditagih bakalan aku bayar. ' Ara tersenyum simpul berusaha untuk tidak bersikap ketus seperti yang dulu ia lakukan, cukup dalam hati saja ia berucap. Tidak masalah jika ada yang bilang, beda di mulut beda di hati. "Iya, Bu. Maaf jika bayarnya lama, bang Adam juga sedang mencari pekerjaan. Jika nanti sudah dapat pasti saya bayar," tutur Ara dengan lembut. "Setelah lahiran sepertinya ada yang berubah ya, Bu. Jadi lebih lembut apa ini bawaan bayi ya," ucap pemilik warung memuji sekaligus menyindir Ara. "Iya, Bu. Bawaan bayi, saya kan harus bisa mengontrol emosi juga, takutnya nanti semua kembali ke anak saya." "Benar itu, syukurlah Bu Ara sudah sadar. Jadi ini mau beli atau mau ngutang, Bu?" tanya pemilik warung entah apa maksud dari ucapan itu mau mengusir atau emang mau menyindir kembali. "Mau beli, Bu. Kebetulan tadi bang Adam ngasih uang. Kalau mie instan dua dan telur dua harganya berapa ya Bu?" tanya Ara. Pemilik warung nampak menghitung, detik kemudian ia menjawab, "Semua sepuluh ribu." "Kalau beras setengah liter dan telur dua berapa, Bu?" "Bu Ara mau beli atau interogasi ini?" ketus pemilik warung yang nampak tidak suka. "Saya mau beli, Bu. Hanya untuk menimbang saja," jawab Ara jujur. "Memang uangnya ada berapa?" "Hanya ada dua belas ribu, Bu." Ara menyerahkan semua uang miliknya yang langsung diambil pemilik warung. Pemilik warung nampak memperhatikan Ara, yang kini bersikap merendah tidak seperti biasanya yang arogan. Lalu ia langsung mengambil beras dan telur untuk Ara. "Ini dapat satu liter beras, meskipun kualitas nomor tiga tapi pulen dan ini telurnya dapat empat biji," jelas pemilik warung. "Uang saya hanya dua belas ribu, tapi dapat banyak, Bu?" ucap Ara yang nampak tidak percaya, ia merasa bersalah sudah mengumpat dalam hatinya. "Iya, segera bawa pulang. Takut anakmu nangis. Jangan lupa bayar hutang juga!" Meskipun pemilik warung nampak jutek saat berucap Ara langsung mengucapkan terima kasih. Lagi pula wajar jika pemilik warung bersikap demikian, karena sebagian untung jualnya ada pada Ara. Ara langsung membawa belanjaannya dan bersiap untuk memasak. Namun, sesampainya di rumah dia harus menelan lagi pil pahit, sebab sekarang yang jadi masalah adalah gas untuk menyalakan kompor habis. "Apakah seberat ini, ujian yang harus aku hadapi dalam mengembalikan keluargaku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD