Bersabar

1033 Words
Tubuh Ara melemas. Kedua bola matanya memanas. Ingin rasanya ia menyerah. Situasi sulit ini sangat menyiksa batinnya dan begitu menguras kesabarannya. Ara menarik napasnya dalam-dalam, mencoba mengatur emosi yang kini tengah menyelimuti batinnya. Lama Ara memutar benaknya agar masalah ini bisa teratasi. Mungkin beras yang tadi ia bawa bisa ia masak terlebih dahulu, untuk telur ia bisa masukan sekaligus ke dalam Magicom. "Semua ada jalan jika berpikir dengan jernih," gumam Ara. Saat semua sudah teratasi, bayi yang sejak tadi tertidur kini mengeluarkan suaranya. Tangis khas terdengar menggema hingga ke gendang telinga Ara. Ia pun bergegas menghampiri Kaylani. "Kay haus ya," ujar Ara hati-hati menggendong bayinya. Ia segera membawa tubuh mungil itu kembali ke dapur. Bermaksud ingin segera membuat s**u untuk sang buah hati. Satu tangan menggendong Kaylani, dan tangan lainnya membuat s**u. "Sayang, tenang ya. Mama sedang membuatkan s**u untukmu," bujuk Ara. Ia terlalu tergesa hingga air termos yang hendak ia masukkan ke dalam botol s**u justru melenceng dan mengenai pahanya. "Awww." Ara menjerit kaget. Lantas meletakkan kembali termos itu. "Shit." Lirih Ara sembari mengibas-ngibas dasternya yang basah. "Abang," teriak Ara dengan nada emosi. Apalagi Kaylani yang kini semakin kencang suara tangisannya. Kesabaran Ara semakin menipis. Adam yang tengah duduk-duduk di depan beranda terperanjat kaget. Ia sontak bangkit dan menuju sumber suara yang sudah mengagetkannya. "Kenapa Ara?" tanya Adam heran melihat wajah Ara yang sudah merah padam. "Ada apa? Apa kau tidak mendengar Kay menangis?" seru Ara dengan gigi terkatup. "Bukannya abang sudah membelikan Kay s**u?" ucap Adam balik bertanya. "Iya. Tapi aku tidak bisa membuatnya dengan posisi seperti ini. Apa kau ingin Kay memakan bubuk s**u?" Adam menghela napas panjang. Kedua tangannya cekatan meneruskan pekerjaan Ara. "Ini." Adam menyerahkan sebotol s**u pada Ara. Dengan kasar Ara menyambarnya. Adam Merasa aneh dengan sosok yang berada di depannya kini. Bukankan tadi istrinya baik-baik saja? Kenapa sekarang berubah menjadi mode singa? "Neng," panggil Adam lirih. "Hmmm." Ara bergumam pendek. Masih enggan membuka mulutnya karena takut keceplosan berbicara kasar. "Abang lapar, Neng?" ujar Adam dengan nada mengiba. Kedua bola mata Ara refleks memolotkan matanya. "Sama Bang. Neng juga lapar, hanya sarapan tadi pagi dengan, Abang," jawab Ara ketus. "Lalu apa yang bisa Abang bantu, Neng. Agar kita sama-sama bisa makan?" "Tidak perlu bantu apa-apa, Bang. Gasnya habis jadi aku memasak dengan magicom," jelas Ara. "Kenapa kau tidak bilang? Kalau tau begitu harusnya kau membeli makanan jadi bukan malah bahan mentah," ujar Adam sedikit kecewa. Cacing dalam perutnya sudah meronta-ronta. "Bang, kita hanya memiliki uang dua belas ribu. Mau beli makan jadi? makan apa Bang? Harusnya Abang bersyukur aku bisa mendapatkan beras dan beberapa biji telur. Itu bisa buat makan kita berdua dua kali," celetuk Ara yang nampak heran dengan ucapan Adam. Adam menelan ludahnya kasar. Benar apa yang diucapkan Ara, hanya uang segitu akan mendapatkan sebungkus nasi warteg, dan besok mereka akan kelaparan lagi. Harusnya ia memuji kepintaran istrinya, dan kini yang harus ia pikirkan bagaimana mendapatkan uang untuk membeli gas. Air termos sudah tumpah dan sisa air sudah ia pakai untuk membuat s**u tadi. Kaylani masih akan membutuhkan air hangat untuk membuat s**u. "Ya kau benar, Neng. Maafkan Abang, lalu bagaimana kita bisa membeli gas," ujar Adam gusar. Ia sama sekali sudah tidak memiliki uang. "Bang, kau pergilah mencari pinjaman uang," titah Ara. Jemarinya masih setia memberikan Kaylani s**u. "Tapi di mana? Tidak mungkin kita meminjam lagi ke pak Basuki." "Kau pergilah ke rumah ibumu," ujar Ara memberi saran. "Tidak mungkin. Kau tau ibu sendiri hanya pas-pasan," keluh Adam. Ara memajukan bibirnya. Tentu saja ia tahu kondisi ekonomi mertuanya. Karena hal itu jugalah, ia sempat tidak direstui oleh orang tuanya untuk menikah dengan Adam. Jika Ara ingat akan nasehat orang tuanya yang mengatakan rumah tangga itu tidak hanya butuh cinta tetapi juga membutuhkan uang. Namun, nasi sudah menjadi bubur, Ara tidak mungkin bisa memutar waktu, cukup hanya waktu yang ia punya sekarang untuk mengembalikan apa yang akan menjadi masa depannya kelak. "Kau pinjamlah pada temanmu, Neng. Mereka kan golongan sosialita. Meminjam barang seratus ribu tentu tidak akan memberatkannya, kan?" ucap Adam. Pikirannya sudah buntu. Orang sekampung sudah tau kemiskinan yang menimpa keluarganya, sehingga mereka selalu menolak meminjamkan uang. Kecuali, pak Basuki. Itu pun dengan bunga yang cukup tinggi, sepuluh persen! "Apa kau mau membuatku malu, Bang," cetus Ara menolak halus usulan Adam. Jika waktu kembali apa yang akan dikatakan temannya jika ia meminjam uang? pikir Ara. Adam menarik rambutnya frustrasi. Kemana lagi ia harus mencari pinjaman? Ara melirik sekilas pada Adam. Hatinya ikut sedih melihat keputusasaan suaminya. Namun, ia juga tak memiliki nyali untuk meminjam uang pada teman-temannya. Mau ditaruh di mana mukanya ini? Sepi. Hanya ada suara deruan angin yang menyelimuti. Adam sibuk memikirkan jalan keluar, sedangkan Ara sibuk bermonolog dalam batinnya. 'Hei, Ara. Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak egois?' Kalimat itu berdengung lagi dalam benak Ara. Membuat wanita itu pelan-pelan luluh dan menurunkan egonya. "Baiklah, Bang. Aku akan pinjam ke Yuanita," ucap Ara memecah bisu di antara keduanya. "Jangan, Neng. Abang ke rumah ibu dulu ya. Siapa tau ibu memiliki uang lebih," sergah Adam. Ia merasa tak enak melibatkan istrinya dalam permasalahannya. Ia adalah kepala keluarga yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga. "Tidak papa. Jangan merepotkan ibu," tutur Ara dengan nada lembut. Ia lekas menuju kamarnya. Mencari gawainya di atas nakas. Ara menguatkan hati, menghembuskan napas panjang, kemudian ia mencari nomor Yuanita yang sudah tersimpan di ponsel. Setelah ketemu ia langsung mendeal nomor itu. Suara bunyi tut mengalun merdu. Hingga beberapa kali panggilan, teleponnya belum juga mendapat sambutan. "Aaah. Dia kan aktris. Tentu saja dia sedang sibuk." Ara langsung memutus panggilan teleponnya. Jemari lentik miliknya langsung mengetikkan pesan yang berisikan kalau ia hendak meminjam uang. "Ya Tuhan, kuatkan aku agar mampu menjalani ujian yang kau berikan. Lapangkan dadaku untuk menerima semua kenyataan yang menyakitkan," desis Ara sembari menitikkan air matanya. Jika dulu ia bebas mengeluarkan unek-uneknya, memaki Adam sesuka hatinya demi melampiaskan kemarahannya, maka ia kini hanya bisa membungkam mulutnya. Menelan amarahnnya bulat-bulat. Isak tangis Ara terdengar pilu, ia berharap tidak terkena penyakit baby blus sehingga bisa kuat dan bisa merawat Kaylani. Ara tidak pernah membayangkan akan sesesak ini saat Sang Halik mengabulkan doanya. "Sabar, Ara. Jika kau mau meneguk manisnya kehidupan, maka kau harus menenggak dulu pahitnya," batin Ara menguatkan dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD